6.03.2020

Jenderal-Jenderal Orde Baru yang Pernah Dicap PKI.

Jenderal-Jenderal Orde Baru yang Pernah Dicap PKI.


Suatu kali, staf dari seorang jenderal mengajukan usulan untuk menyusun
tulisan tentang Peristiwa Tiga Daerah 1946. Tapi staf itu malah kena marah.
Sang jenderal bilang pada stafnya, "Mau apa? Mau diskreditkan saya?"

Jenderal yang marah itu, menurut cerita yang dihimpun Jenderal Soemitro
dalam Soemitro dan Peristiwa 15 Januari' 74 (1998: 279), tak lain adalah
Ali Moertopo.

"Ali Moertopo marah karena menilai pembahasan dalam buku itu terlalu
mendalam sehingga terbongkar semua belang komunis," aku Soemitro.

Bukan itu saja cerita miring soal Ali Moertopo yang sampai ke Soemitro.
Kata Kasman Singodimedjo, seperti diakui Soemitro, Ali pernah jadi agen
Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS) yang nyaris
dibunuh Hizbullah. Tapi tak jadi karena hendak dijadikan agen ganda (hlm. 278).

Sementara itu, Adam Malik menuduh Ali Moertopo sebagai salah satu pendiri
Angkatan Komunis Moeda (Akoma), partai komunis yang berseberangan dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca juga: Jalan Karier Ali Moertopo: Spymaster Daripada Soeharto
Meski dikenal sebagai rival dari Letnan Jenderal Ali Moertopo, Soemitro
membantah jika Ali pendiri Akoma. "Menurut saya versi Adam Malik ini agak
gegabah dan kurang dapat dipercaya," kata Soemitro.

Menurut Soemitro, Ali punya hubungan dengan Kolonel Marsudi, yang dicap
PKI, dan menjadi salah seorang direktur Opsus dan mantan perwira intel
Soeharto di masa Revolusi. Marsudi juga disebut-sebut sebagai pendiri organ
mahasiswa kiri, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).

Di Indonesia, meski bukan anggota PKI, selama dia anggota organisasi yang
dekat dengan PKI atau kerap berhubungan dengan orang-orang yang dianggap
PKI, maka orang itu sudah dicap PKI.

Dituduh PKI karena Ikut Pesindo
Benar-tidaknya jika Ali itu komunis, dia bukan satu-satunya orang (bahkan
jenderal) yang dituduh komunis atau PKI. Letnan Jenderal Sudharmono, yang
pernah jadi Wakil Presiden Indonesia era Soeharto, juga kena tuduhan
semacam itu. Ini terjadi sebelum Sudharmono diangkat sebagai wakil presiden.

Menjelang penentuan wapres pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
(SU MPR) 1988, kalangan sipil di Golongan Karya (Golkar) lebih menyukai
Sudharmono untuk dijadikan pendamping daripada Soeharto. Kala itu,
Sudharmono adalah Ketua Umum Golkar.

Sementara itu, kelompok militer lebih menyukai Try Sutrisno. Pendukung
utama Try Sutrisno adalah kawan lamanya yang jadi Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (Pangab), yakni Leonardus Benjamin Moerdani
alias Benny Moerdani.

"Mereka yang menolak Sudharmono (jadi Wakil Presiden) menuduh bahwa
Sudharmono pernah terlibat PKI," tulis Retnowati Abdulgani Knapp dalam
Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President (2007:184).

Lebih lanjut Retnowati menyebut bahwa tuduhan Sudharmono adalah PKI tak
pernah terbukti.

"Sudharmono adalah anggota organisasi pemuda yang berhubungan dengan PKI
semasa Peristiwa Madiun (1948)," tulis Leo Suryadinata dalam Golkar dan
Militer: Studi Tentang Budaya Politik (1992: 131).

Sementara dalam buku R. Soekardi, Tentara Demokrat (2000) yang disusun
Patmono S.K. menyebut, "Sudharmono sebagai anggota Pesindo (Pemuda Sosialis
Indonesia) yang merupakan organisasi massa pemuda yang terlibat dalam
peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948. Pendek kata Sudharmono dituduh
PKI! Melalui kesaksian orang-orang militer ketika peristiwa tahun 1948,
kelompok yang ingin menjatuhkan Sudharmono menyebarkan tuduhan itu" (hlm. 167).

Sejarah Pesindo terkait dengan Pemuda Rakyat, yang dekat dengan PKI pada
1965. Meski begitu, terlalu dangkal untuk menuduh semua simpatisan Pesindo
adalah komunis. Keterlibatan seseorang dalam sebuah laskar di masa Revolusi
tak melulu karena alasan ideologis. Lebih banyak karena persamaan musuh,
yakni militer Belanda. Pemimpin Permesta Sulawesi Utara, J.F. Warouw, juga
pernah bergabung dengan Pesindo di masa revolusi. Permesta adalah gerakan
yang dicap dan mencap diri anti-komunis.

Tentang Sudharmono sendiri, dia termasuk orang yang berjasa dalam
pembubaran PKI pada 1966. Bersama stafnya, Letnan Moerdiono, Kolonel
Sudharmono adalah orang yang berpikir keras untuk mencari landasan hukum
bagi pembubaran PKI.

"Saya dan Saudara Moerdiono berdebat agak mendalam. Saya menunjuk pada
Penpres tentang Kepartaian yang berlaku dan organisasi Kopkamtib sebagai
dasar hukumnya. Di lain pihak, kedua hal ini dianggap oleh Saudara
Moerdiono masih kurang kuat, karena justru Presiden Soekarno secara politis
tidak menghendaki pembubaran PKI," aku Sudharmono di buku Diantara Para
Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (1991: 6).

Perdebatan berhenti setelah mereka melihat naskah Surat Perintah 11 Maret
1966 (Supersemar). Maka lengkaplah sudah landasan hukum pembubaran PKI.
Sebelumnya, hanya dengan Penetapan Presiden Nomor 7/1959 tentang pembubaran
partai politik yang terlibat pemberontakan, mereka berdua kurang mantap.

Itulah jasa besar Sudharmono dan Moerdiono dalam pembubaran PKI. Keduanya
lalu jadi jenderal yang dekat dengan Soeharto. Karier dan pangkat mereka
juga terus melesat, walau bukan dikenal sebagai jago tempur.

Nyatanya, terbukti atau tidak soal keterkaitan Sudharmono dengan PKI, dia
diangkat juga jadi wakil presiden.

"Tahun 1988, ketika saya [Sudharmono] terpilih dan diangkat oleh MPR
menjadi menjadi Wakil Presiden. Presiden [Soeharto] membentuk cabinet
pembangunan V dan mengangkat Pak Moerdiono sebagai Menteri Sekretaris
Negara menggantikan saya," tuturnya dalam Sudharmono SH: Pengalaman Dalam
Masa Pengabdian (1997: 306).

Soeharto Bahkan Kena Tuduh
Selain Sudharmono dan Ali Moertopo, tokoh Golkar dan pendiri Musyawarah
Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Raden Haji Soegandhi Kartosoebroto, juga
pernah kena tuduh ikutan kelompok kiri. Orang yang menuduh Soegandhi tak
tanggung-tanggung: Kolonel Zulkifli Lubis, mantan komandan badan intelijen
di awal kemerdekaan Indonesia.

"Dia itu aliran kiri, dari kelompok sosial Mahameru," kata Zulkifli Lubis
seperti dikutip dalam sebuah artikel berjudul "Komandan Intelijen Pertama"
(Tempo, 29 Juli 1989, hlm. 57).

Di masa Revolusi, Lubis adalah kepala intelijen dan Soegandhi—yang
dipanggil Gandhi—adalah ajudan Presiden Sukarno sejak beristana di Gedung
Agung Yogyakarta. Waktu jadi Kepala Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani),
Lubis merupakan orang yang boleh membangunkan Sukarno di tempat tidur.
Namun, setelah hanya menjadi Wakil Kepala Intelijen Kementerian Pertahanan
Bagian V, dia tak punya keistimewaan itu lagi. Bahkan masuk istana saja sulit.

Lubis menuduh, "Gandhi tak menyokong saya kalau mau ketemu Bung Karno."

Suami daripada Mien Soegandhi ini tak goyah diterjang isu kiri. Isu ini
juga tidak pernah ramai. Soeharto lebih peduli pada MKGR yang memperkuat
Golkar ketimbang mengurusi benar-tidaknya kekirian Gandhi. Toh, tidak
terbukti juga bahwa Gandhi orang kiri. Di tahun-tahun terakhir Orde Baru,
istri Gandhi malah menjadi Menteri Urusan Peranan Wanita.

Jangankan para jenderal itu, Soeharto sendiri pernah dituduh PKI. Dan tentu
saja dibantah. Termasuk oleh Harry Tjan Silalahi. Dalam biografinya yang
disusun J.B. Sudarmanto, Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi
(2004), disebut, "[...] kalau Soeharto dituduh PKI, ini juga tidak benar
karena Soeharto sendiri malah memusuhi PKI, meskipun Soeharto mengenal
sejumlah orang PKI seperti Syam Kamaruzaman di Marx House, Pathuk,
Yogyakarta" (hlm. 179).

Marx House adalah tempat diskusi dan kumpul-kumpul pemuda yang dikelola
Sutan Sjahrir, pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Anak angkat Sjahrir, Des Alwi, dalam buku Pak Harto: The Untold Story
(2011) mengaku, Soeharto memang sering nongkrong di Pathuk. Tapi Des tak
menyebut Soeharto terkait pemikiran kiri di sana. Berkawan dengan Pemuda
Pathuk yang dicap kiri di masa revolusi adalah hal biasa (hlm. 62).

Sumber : tirto.id

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar