Fakta di Balik Menyerahnya Jepang kepada Sekutu di Perang Dunia II
Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penyerahan Jepang kepada
Sekutu. Bagi jutaan rakyat Jepang yang mendengar suara Hirohito, ini adalah
momen yang mengharukan. Bagi sebagian orang, hal ini menjadi momen yang
melegakan, terutama bagi prajurit yang telah menjalani perang yang panjang
dan menyakitkan.
Namun bagi golongan radikal, berita itu adalah wujud dari pengkhianatan.
Mereka pun menolak untuk mempercayainya. Terlepas dari berbagai respon
masyarakat Jepang, Perang Dunia II secara resmi berakhir setelah
penandatanganan Dokumen Kapitulasi Jepang di atas kapal USS Missouri pada
tanggal 2 September 1945.
Selain beberapa fakta di atas, berikut 8 fakta menarik lainnya di balik
menyerahnya Kekaisaran Jepang kepada blok Sekutu di Perang Dunia II.
1. Pemberontak yang mencoba menghentikan siaran radio Hirohito
Kaisar Hirohito merekam pengumuman penyerahan Jepang sehari sebelum
disiarkan lewat radio ke seluruh penjuru Jepang. Ia tahu kalau perintahnya
tidak akan berarti jika tidak diikuti. Oleh karena itu, Hirohito menyuruh
para jenderalnya untuk menandatangani persetujuan penyerahan diri, kemudian
mengunci rekamannya di brankas lalu menunggu esok hari.
Meskipun para jenderal telah menandatangani perjanjian hitam di atas putih,
beberapa perwira lainnya tidak menerima hal ini. Sekelompok perwira militer
berpangkat tinggi, yang dipimpin oleh Mayor Kenji Hatanaka, bertekad untuk
melanjutkan perang. Mereka berniat mencuri rekaman itu agar perintah
Hirohito tidak mengudara.
Melansir dari Japan Times, pada malam hari 14 Agustus 1945 — malam sebelum
penyiaran — Hatanaka dan anak buahnya menggeledah istana selama berjam-jam,
namun tidak dapat menemukan rekaman tersebut. Ketika fajar menyingsing,
Letnan Kolonel Matasaka Ida datang dengan pasukan untuk menghentikannya
lalu menangkapnya.
Pada pukul 11 pagi, Hatanaka menembak kepalanya sendiri. Di sakunya, dia
meninggalkan pesan terakhirnya kepada dunia: "Aku tidak perlu menyesal,
karena awan gelap telah menghilang dari masa pemerintahan kaisar." Satu jam
setelah Hatanaka meninggal, rekaman itu pun diputar.
2. Pertama kalinya rakyat Jepang mendengar suara kaisar mereka
Pada tanggal 15 Agustus 1945, tepatnya pada pukul 12.00-12.04 waktu
setempat, suara Kaisar Hirohito terdengar melalui setiap radio di Jepang,
mengumumkan penyerahan Jepang kepada Sekutu.
"Musuh telah menggunakan jenis bom baru yang paling kejam," kata Kaisar
Hirohito seperti yang dilansir dari History. "Jika kita terus berjuang,
tidak hanya akan menghasilkan keruntuhan dan penghancuran total bagi bangsa
Jepang, tetapi juga akan menyebabkan kepunahan bagi peradaban manusia."
Momen itu adalah pertama kalinya rakyat Jepang mendengar suara kaisar
mereka. Mereka kaget karena suara kaisar ternyata "cempreng," tidak seperti
yang mereka bayangkan sebelumnya. Hirohito sendiri berbicara dalam bahasa
Jepang formal dan memilih kata-katanya dengan hati-hati, tidak pernah
mengatakan kata-kata "menyerah" atau "kalah."
Efeknya adalah banyak yang tidak mengerti apa yang dia maksudkan. Di banyak
tempat, orang yang lebih berpendidikan harus menjelaskan kepada warga
setempat kalau siaran ini berarti penyerahan Jepang kepada Sekutu.
3. The Last Kamikaze
Sebagai seorang komandan, Matome Ugaki telah mengirim ratusan orang ke
dalam "kubur"nya selama serangan kamikaze terhadap kapal-kapal Amerika.
Ketika dia mendengar berita kalau Kaisar Hirohito meminta rakyat Jepang
untuk menyerah, Ugaki bersikeras untuk melanjutkan pertempuran.
"Saya akan mengikuti jejak para perwira dan pria yang setia, yang telah
mengabdikan diri mereka untuk negara," tulis Ugaki dalam buku hariannya,
Fading Victory: The Diary of Admiral Matome Ugaki, 1941-1945. "Aku ingin
mati dengan semangat dan kemuliaan dalam serangan terakhir ini."
Ugaki bukan pilot, tetapi salah satu anak buahnya mengajukan diri untuk
membawanya. Dia mengambil foto terakhir, mengambil katana seremonialnya,
dan naik ke kursi belakang. Pesawat Ugaki, yang diapit oleh sembilan
pesawat lainnya yang bersikeras untuk bergabung dengannya, terbang menuju
armada Angkatan Laut Amerika.
Mereka tidak berhasil mencapai tujuan mereka. Ugaki dan anak buahnya
ditembak oleh kapal-kapal Amerika sebelum dapat meledakkan diri, lalu
tenggelam ke dasar laut.
4. Pembantaian tahanan perang Amerika
Ketika Hirohito mengumumkan penyerahan diri, 16 pilot Amerika yang
ditangkap oleh Jepang menunggu kelanjutan nasib mereka di penjara kamp.
Mereka sendiri lolos dari pesawat yang meledak dan melakukan terjun payung
di atas Kyushu, tahu kalau "neraka bumi" sedang menunggu mereka.
Tentara Jepang di kamp Kyushu terkenal sering menyiksa para tahanan yang
datang sebelum mereka. Beberapa orang bahkan dibedah hidup-hidup, sementara
yang lain harus menahan sakit karena paru-paru mereka diisi dengan air
garam demi percobaan pseudosains.
Untuk sesaat, mereka percaya kalau mereka akan hidup. Perang sudah
berakhir, mereka akan dipulangkan dan terhindar dari nasib buruk yang
dialami rekan-rekan mereka. Namun, tentara Jepang yang menjaga mereka tidak
mau membiarkan musuh-musuhnya bebas.
Mengutip dari The Daily Beast, mereka menganggap kalau para tahanan ini
bertanggung jawab atas kekalahan bangsa mereka. 16 pria itu pun diseret
keluar dari sel mereka. Di sana, di bawah terik matahari, mereka dipenggal
sampai mati dengan pedang.
"Saya yakin dengan apa yang saya lakukan," kata seorang tentara Jepang yang
mengeksekusi mereka. "Kami melakukannya demi negara kami [Jepang]. Kami
melakukannya untuk menggantikan tugas untuk leluhur kami, yang nanti akan
diemban oleh anak-anak kami."
5. Tentara Jepang yang masih terus bergerilya
Kapten Sake Oba menolak untuk percaya kalau Jepang telah menyerah. Walau
ditunjukkan foto-foto Kota Hiroshima yang telah hancur, dia tetap
menolaknya dan menyebutkan kalau semua itu adalah berita palsu. Dia
bersikeras kalau Perang Dunia II masih bisa dimenangkan oleh Jepang dan dia
akan bertarung sampai akhir.
Menurut Japan Times, Oba membawa 46 tentara dan 160 warga sipil ke hutan
belantara. Di sana, ia melatih anak buahnya untuk melakukan perang gerilya.
Selama tiga bulan ke depan, mereka akan meluncurkan serangan terhadap
pasukan Amerika yang ditempatkan di Saipan.
Butuh waktu hingga 1 Desember sampai Mayjen Umahachi Amo menemukan Oba. Dia
bertemu dengannya di hutan dan memberikan perintah tertulis kepadanya untuk
menyerah. Oba akhirnya menurut. Dia dan anak buahnya berbaris ke pangkalan
militer Amerika sambil menyanyikan lagu-lagu penghormatan kepada para
korban perang.
Selain Oba, kasus serupa juga ditemukan di Filipina. Hiroo Onoda (gambar di
atas) adalah tentara Jepang yang ditempatkan di Filipina ketika Jepang
menyerah. Dia juga menolak untuk menerima kekalahan tersebut, berdalih
kalau ia harus diberikan perintah langsung oleh komandannya. Jadi, dia
melanjutkan pertempurannya sendiri.
Onoda tetap tinggal di hutan Filipina. Dari waktu ke waktu, dia menyerang
penduduk desa setempat. Akhirnya pada tahun 1974 , komandannya, Yoshimi
Taniguchi, terbang ke Filipina dan memerintahkannya untuk menyerah. Onoda,
akhirnya mendapat perintah langsung.
Melansir dari laman New York Times, Onoda kemudian menghadap Presiden
Filipina, Ferdinand Marcos, dan menyerahkan pedangnya. Prajurit terakhir
Jepang pun menyerah. Setelah 29 tahun bertahan di posnya, Hiroo Onoda
pulang ke kampung halamannya, Jepang.
6. Bunuh diri massal di Manchuria
Jepang sudah panik ketika bom atom pertama jatuh di Hiroshima. Pada waktu
yang bersamaan, Tentara Soviet (Tentara Merah) mulai menyerang dari utara,
menyerbu wilayah Tiongkok, Manchuria. Lebih dari satu juta orang Jepang
tinggal di sana dan merasa takut lebih dari siapa pun yang ada di dunia
pada saat itu.
Di Manchuria, Jepang telah melakukan kekejaman yang mengerikan. Tempat ini
menjadi saksi kekejaman mereka, di mana Unit 731 dibangun. Di sana, para
ilmuwan Jepang membedah manusia hidup-hidup dan menyiksa mereka dengan
senjata kimia.
Di saat Tentara Merah semakin mendekat, mereka tidak mengharapkan
keringanan hukuman. Beberapa tentara Jepang bertarung dengan Tentara Merah,
walau banyak di antaranya yang menyerah. Beberapa pemukim Jepang bahkan
mengakhiri hidup mereka sendiri karena takut dengan siksaan yang akan
diberikan oleh Tentara Merah.
Beberapa wanita sampai memberikan anak-anak mereka ke keluarga Tiongkok di
sana dan memohon untuk merawat anak mereka. Sisanya, yang tidak dapat
menemukan siapa pun untuk melindungi anak-anak mereka, membunuh
anak-anaknya sendiri sebelum mengambil nyawa mereka sendiri.
7. Ribuan wanita Jepang yang menetap di Tiongkok
Tidak setiap orang Jepang di Manchuria adalah seorang prajurit. Ribuan
keluarga petani dikirim ke sana juga. Setelah mereka, sekelompok wanita
yang disebut "kelompok pengantin" juga dikirim ke sana.
Namun pada akhir perang, beberapa wanita Jepang itu menikah dengan para
pria Tiongkok. Beberapa jatuh cinta, sedangkan yang lain kehilangan suami
mereka dan bergabung dengan keluarga Tiongkok demi bertahan hidup.
Satu dekade berikutnya — setelah perang berakhir — pemerintah Jepang
membawa mereka kembali ke negaranya. Namun ribuan wanita Jepang memutuskan
untuk tetap tinggal di sana. Kapal terakhir yang mengangkut para wanita ini
kembali ke Jepang pada tahun 1958.
Melansir dari laman The Asia-Pacific Journal, di mata orang Jepang, 10.000
wanita yang tinggal di daratan Tiongkok telah membuat pilihan mereka. Sejak
hari itu, mereka tidak lagi memiliki hak untuk mengunjungi negara asal mereka.
8. Penebusan dosa Hiroshi Yamasaki
Selain para wanita, beberapa prajurit Jepang juga menetap di Tiongkok
setelah perang berakhir. Salah satunya adalah Hiroshi Yamasaki (foto di
atas). Yamasaki sendiri mendarat di Tianjin pada tahun 1937 dan selama enam
bulan bertugas sebagai dokter hewan yang merawat hewan perang.
Menurutnya, tentara Jepang yang bertarung di sampingnya sangat brutal
kepada warga sipil Tiongkok. Setiap hari, ia menjadi semakin jijik dengan
apa yang dilihatnya. Yamasaki pun mencapai batasnya ketika melihat seorang
tentara Jepang mencekik bayi sampai mati.
Mengutip dari laman China Smack, Yamasaki akhirnya turun tangan dan
berusaha untuk menyelamatkan bayi itu tetapi gagal. Malam itu, dia
melarikan diri dari pasukannya sendiri. Dia berlari ke arah timur, berharap
untuk kembali ke Jepang, tetapi ada lautan di antara dirinya dan tanah
airnya. Kelelahan, ia pun pingsan di tengah jalan.
Yamasaki diselamatkan oleh keluarga Tiongkok yang menemukannya, memberinya
makan, dan merawatnya sampai ia sehat kembali. Tersentuh, Yamasaki
memutuskan untuk tetap tinggal di Provinsi Shandong, menyamar sebagai
dokter Tiongkok dengan nama "Dr. Shan."
Ketika Jepang menyerah, Yamasaki memang memiliki kesempatan untuk pulang,
tetapi ia menolak untuk kembali. Yamasaki bertahan di Tiongkok dan selama
sisa hidupnya tinggal di Shandong untuk merawat pasien di sana.
"Tentara Jepang telah melakukan kekejian di Tiongkok," katanya kepada
seorang wartawan bertahun-tahun kemudian. "Saya harus tinggal di sini
[Tiongkok] sepanjang hidup saya untuk menebus dosa-dosa mereka."
Jepang sendiri menyerah setelah dua kotanya, Hiroshima dan Nagasaki,
dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.
Perlu atau tidaknya dua pemboman tersebut, khususnya di saat Jepang sudah
mengajukan penyerahan tanpa syarat, masih menjadi perdebatan di kalangan
sejarawan sampai hari ini.
Sumber : idntimes.com
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar