@bende mataram@
Bagian 243
Setelah berkata demikian, Titisari melarikan kudanya. Sangaji jadi
keheran-heranan. Memang dalam hatinya, ia berniat mengejar Pangeran Bumi
Gede. Tetapi tak terduga, bahwa Titisari mengajaknya mempercepat perjalanan.
"Hai! Apakah engkaupun menduga Pangeran Bumi Gede yang menjadi biang
keladinya?" "Paman-pamanmu yang berkata. Aku men-coba mengejar," sahut
gadis itu.
Yakin bahwa gadis itu telah memperoleh pegangan tertentu, tanpa berkata
lagi ia terus melarikan kudanya. Sebentar saja Desa Sarasan telah berada di
depannya. Mendadak saja di kejauhan ia mendengar suara senjata beradu.
"Titisari!" seru Sangaji. "Kau kira Pangeran Bumi Gede yang bertempur di sana?"
Titisari tak menjawab. Dengan tangannya ia mendekap mulutnya memberi
isyarat agar ja-ngan sembarangan berbicara. Melalui bebera-pa tikungan dan
kemudian tiba di suatu lapangan terbuka dekat tebing gunung. Di sini
Titisari berhenti. Mulutnya berkomat-kamit seperti sedang menghitung. Lalu
tersenyum.
"Hebat musuh besarmu itu! Tetapi tak terlalu hebat bagi lawannya yang
menghadang di sana." "Siapa?" Sangaji tak mengerti.
"Semenjak kemarin sore aku telah men-duga, apa sebab dia menginap di
tangsi. Pastilah dia telah merasa akan ketahuan lawannya yang disegani. Ha!
Lantas dia hen-dak menyesatkan. Terang sekali ia hendak menuju ke
Yogyakarta, mendadak saja um-bulah pikirannya pulang ke Bumi Gede dahulu
dengan menyekat jalan pegunungan. Hm... hm pasti dia mengetahui pula, bahwa
lawannya bersarang di luar kota Yogya." "Siapa lawannya itu?"
"Kalau kau tak tahu, masakan aku tahu?" sahut Titisari cepat. "Lihat!
Lawannya datang dari arah sana!"
Dari jauh nampaklah serombongan barisan obor yang terpecah menjadi tiga
bagian. Mereka datang dari arah barat daya dan terus memotong perjalanan
dengan menempati gundukan-gundukan tinggi.
Melihat mereka, hati Sangaji tertarik. Meskipun Titisari belum menerangkan
apa sebab dia dipancing dengan cara begitu, lapat-lapat dapatlah dia
menebak. Agaknya Titisari telah mengikuti perjalanan Pangeran Bumi Gede
semenjak pagi hari. Ia ingin Sangaji berangkat seorang diri agar tak
dike-tahui oleh Pangeran Bumi Gede yang terkenal cermat dan cerdik.
Kemudian dengan jitu ia mengatur perjalanannya. Karena telah mengenal
wataknya, dengan gampang ia dapat menuntunnya seperti menuntun keledai
belaka. Diam-diam ia berpikir, benarlah kata-kata
Panembahan Tirtomoyo dahulu. Otak Titisari luar biasa cerdik. Apabila
menghendaki jiwaku, aku baru sadar setelah terbaring di dalam liang kubur.
Tetapi kalau Titisari benar-benar menghendaki jiwaku, apakah yang
kusesalkan? Mati di tangannya adalah suatu kebahagiaan.
Waktu itu Titisari melompat dari atas kudanya. Terus saja dia lari berendap
meng-hampiri bukit. Sangaji meniru perbuatannya. Segera ia telah dapat
menjajari. Mereka kemudian memotong jalan dan bersembunyi di balik batu
yang berada di arah timur.
Gerak-gerik gesit dan enteng. Berkali-kali mereka melompat dan menyusup
gerumbul. Apabila sudah berada di balik batu, mendadak Titisari lari lagi
mengarah ke sebuah gubuk. Sangaji mengikutinya pula dengan hati-hati.
Segera mereka melihat seorang pemuda gagah berada di atas kuda. Pemuda itu
mengenakan pakaian serba putih. Meskipun hari remang-remang gelap, namun
kesan wajahnya seolah-olah dapat menembusi jantung alam.
"Siapa dia?" Sangaji mencoba menduga-duga.
Titisari seperti mendengar bunyi hatinya. Ia berbisik. "Jangan sembarangan
bergerak!
Itulah lawan Pangeran Bumi Gede yang di-segani. Siapa dia, akupun tak tahu.
Kau ingin berkenalan? Itulah gampang. Pemuda berpa-kaian putih itu ternyata
pandai mengatur laskarnya. Dengan rapi ia memberi isyarat dan aba-aba.
Tetapi laskar Pangeran Bumi Gede bukan pula laskar murahan. Di antara
mereka banyak terdapat para pendekar undangan yang tak gampang-gampang bisa
dimundurkan."
"Pemuda itu gagah, tampan dan tenang, bukan?" bisik Titisari. "Pastilah dia
seorang bangsawan yang pandai mengatur diri. Hai, ngganteng mana engkau
dengan dia?" Setelah berkata demikian gadis itu tertawa cekikikan.
Sangaji tak pandai menggonda hati orang. Begitu kena goda, otaknya lantas
saja menjadi beku seperti jangkrik kena tungkrap.
"Heh, kenapa kau membungkam?" bisik Titisari. Kali ini gadis itu
menempelkan bibirnya pada lubang telinganya, lalu berbisik lagi. "Sekalipun
dia ngganteng, aku memilih engkau, karena engkau tol..."
"Ya, ya... aku memang tolol," balas Sangaji sambil manggut-manggut.
Titisari mencubit pahanya sampai pemuda itu kaget berjingkrak.
"Kau memang nakal! Kau larang aku berbicara, tetapi engkau..." ujar Sangaji.
"Aku kan berbisik. Masakan ada yang mendengar," debat Titisari cepat. Dalam
hal perdebatan, betapa Sangaji bisa menang. Maka ia bungkam sambil terus
mengikuti pertempuran.
Seorang laki-laki kurus yang habis bertempur, mendadak menghampiri pemuda
itu. Sikapnya menghormat sungguh-sungguh dan berdiri tegak di belakangnya.
"Apa kabar, Paman?" berkata pemuda itu.
"Gusti Pangeran. Meskipun mereka berjum-lah lipat ganda, sebentar lagi kita
akan dapat menawannya. Hanya saja Pangeran Bumi Gede terlalu berbahaya. Dia
mempunyai sen-jata pamungkas ' yang sukar untuk ditang-kis."
Pemuda itu berdiam diri menimbang-nim-bang. "Bagaimana menurut pendapat Paman?"
"Hamba menunggu perintah Gusti Pangeran," sahut orang yang bertubuh kurus
dengan hormat.
Mereka tak berbicara lagi. Pandangnya beralih kepada medan pertempuran. Di
sebelah selatan terdengar sorak kemenangan. Kemudian disusul suatu gebrakan
dari arah timur. Ternyata sebuah pedati kena dilabrak berserakan.
"Sebenarnya mereka membawa apa saja dari Semarang?" tanya pemuda itu.
"Menurut laporan, mereka membawa mesiu dan senapan dari Semarang.
Terang-terangan mereka telah bersekongkol dengan kompeni Belanda," jawab si
kurus.
"Mengumpulkan harta benda dari keringat sendiri adalah hak setiap orang.
Tetapi dia akan membuat sengsara rakyat jelata, karena itu meskipun masih
kerabat..."
Belum lagi pemuda itu habis berkata, mendadak terdengar seorang panglima
berteriak dari jauh.
"Gusti Ontowiryo! Musuh terlalu kuat! Kita lari ke barat sebelum kasep?"
Mendengar teriakan itu, pemuda si kurus terkesiap. Cepat mereka memutar
kudanya dan melarikan diri ke arah barat. Melihat mereka lari, Sangaji
bergerak hendak menolong, tetapi ditarik Titisari.
"Inilah kesempatan bagus! Pangeran itu masakan terpaksa melarikan diri? Eh!
Masakan dia melarikan diri?" sahut Titisari. "Lihat saja, Pangeran Bumi
Gede sebentar lagi akan terjebak. Inilah suatu tipu memancing harimau galak
dari guanya."
Perkataan gadis itu menyadarkan Sangaji. Tetapi ia masih bersangsi juga.
Dengan cemas ia menebarkan penglihatannya ke medan laga.
"Lihat! Siapa itu yang terkungkung di sela-tan?" kata Titisari.
Cepat Sangaji mengalihkan penglihatan. Samar-samar ia melihat seorang
pemuda dikeroyok dari semua penjuru. Pemuda itu berkelahi dengan nekad.
Pedangnya menyam-bar-nyambar dengan menikam tiap orang yang berani
mendekati. Tatkala diamat-amati ternyata dia Sanjaya.
"Saudaramu yang baik hati itu, betapapun juga takkan bisa melawan mereka.
Kita tolong tidak? Aku berjanji kepada Nuraini hendak mempertemukan."
"Bagus! Bukankah Pangeran itu kekasih Gusti Retnoningsih?"
"Eeh! Semenjak kapan ingatanmu begitu cemerlang terhadap nama-nama seorang
dara?"
Bagaimanapun juga, sebagai seorang gadis Titisari besar cemburunya. Dan
begitu Sangaji kena disemprot, lantas saja terbungkamsekaligus. Buru-buru
pemuda itu ingin memperbaiki.
"Gusti Ayu Retnoningsih bukankah murid Paman Suryaningrat?"
"Baik! Pergilah engkau menolong Pangeran itu. Aku akan menolong saudara
yang baik hati, demi huraini."
Sehabis berkata demikian, gadis itu terus saja melesat maju. Sangaji jadi
tak sampai hati. Cepat ia mengejar sambil berkata, "Titisari! Kita tolong
dia! Tetapi dia harus di-insyafkan!"
"Itulah urusanmu. Bagiku hanya memi-kirkan Nuraini semata-mata," sahut
Titisari. Tetapi gadis itu mengangguk. Matanya bersi-nar terang, karena
melihat Sangaji tak jadi menolong Pengeran Ontowiryo. Ternyata Sangaji
lebih menaruh perhatian kepadanya daripada lainnya. Bagi seorang gadis
itulah suatu bahagia tiada taranya.
"Awas panah!" mendadak Sangaji berteriak.
Waktu itu dua batang panah menyambar berdesingan. Syukur, yang memanah
bertenaga sehingga menerbitkan suara. Andaikata tidak, pastilah susah
diketahui.
Titisari nampak tenang. Dengan acuh tak acuh ia songsong kedua panah itu,
sekonyong-konyong mengelak sambil mengibaskan tangan. Sangaji terkejut
setengah mati. Tetapi melihat gadisnya tak kurang suatu apa, hatinya
girang. Terus saja menegor.
"Titisari! Kenapa kau begitu sembrono?"
"Bukankah engkau yang lebih sembrono? Terang sekali aku membutuhkan
bantuanmu, tetapi engkau hendak menolong orang lain," sahut Titisari aleman.
Sangaji tercengang. Sejenak kemudian berkata, "Baiklah. Kau berada di
belakangku, biar kulabraknya mereka seorang diri."
Sehabis berkata demikian, Sangaji lalu melompat maju menerjang segerombol
orang yang sedang menyerang laskar yang mengepung Sanjaya. Memang terhadap
begundal-begundal Pangeran Bumi Gede ia benci bukan main. Dalam benaknya,
Pangeran itulah yang menganiaya gurunya dan membunuh ayahnya. Sebaliknya
terhadap laskar Pangeran Ontowiryo ia tiada mempunyai permusuhan. Kalau
saja ia ikut menyerbu sebenarnya hanya ingin menolong Sanjaya belaka atas
anjuran Titisari. Maka sambil menyelam ia minum air. Begitu masuk ke
gelanggang terus saja melabrak musuh yang dibencinya.
Mendadak tiga batang anak panah me-nyambar padanya. Cepat ia menyampok
jatuh dan terus menjejak tanah dan membalas si pembidik. Orang itu terkejut
setengah mati. Mau ia melompat, lengannya telah kena dipatahkan dan
dibanting di tanah.
"Anak jadah! Kau manusia bosan hidup?" Terdengar seseorang memaki dari
kejauhan. Sangaji terkesiap. Ia seperti mengenal suara itu. Tengah ia
mengingat-ingat sebuah kam-pak melayang di atas kepalanya. Kampak itu
sangat tajam sampai memantulkan cahaya dalam malam. Melihat serangan itu,
Sangaji terkejut. Terang sekali penyerangnya bukan orang sembarangan. Cepat
ia mengendapkan diri dan terus membalas menyerang dengan salah satu jurus
ciptaan Kyai Kasan Kesambi dengan dibarengi ilmu sakti Kumayan Jati. Tak
usah mengulangi lagi,
musuh yang melemparkan kapak kena terhajar pundaknya dan patah seketika itu
juga. Tatkala tersambar gaya tulisan, mendadak kontal sepuluh langkah dan
terbanting di atas tanah sampai pahanya remuk. Orang itu menjerit
menyayatkan hati.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar