10.22.2019

@bende mataram@ Bagian 242

@bende mataram@
Bagian 242


"Kau tak tahu aku terus mengikutimu dari jauh. Hatimu terlalu sederhana dan
jujur dan mulia dan perkasa dan segalanya. Itulah sebabnya aku senang
padamu, meskipun kau tolol. Pamanmu jauh lebih pintar dari padamu. Dia
segera mengetahui tanda bahaya, tidaklah seperti engkau. Karena kau tolol
maka engkau meletuskan suatu rahasia. Lihatlah, karena ketololanmu, engkau
dirundung malapetaka. Orang-orang datang mendaki Gunung Damar karena
ketololanmu..."


Istilah tolol sudah sering diucapkan gadis itu terhadapnya. Sampai-sampai
Gagak Seta pun memanggilnya si tolol, la sudah kebal dan biasa disebut si
tolol. Tetapi tatkala Titisari mengungkapkan sebab musabab terjadinya
malapetaka di atas Gunung Damar, hatinya terkesiap. Seketika itu juga,
mukanya menjadi pucat. Hatinya perasa lantas saja menuduh diri sendiri,
bahwa dialah yang membuat gara-gara sebab musababnya gurunya kena malapetaka.


Tatkala Titisari melihat kepucatan wajahnya, seketika berubahlah mukanya.
Bertanya agak gugup, "Aji! Kau sakit?"


Sangaji menggelengkan kepala. Ia menundukkan kepala. Dan Titisari bertambah
gugup bertanya menegas. "Mengapa?"


Dengan tersekat-sekat Sangaji menjawab, "memang aku tolol."


"Siapa bilang kau tolol? Aku boleh berkata tolol kepadamu, tetapi orang
lain tak boleh berkata begitu. Karena tolol bukan goblok! Bagiku
berarti..." ia menghentikan sejenak mukanya mendadak berubah merah jambu.
Kemudian membanting kepalanya dan mem-biarkan bersandar di dada Sangaji
yang bidang. Katanya penuh perasaan, "Baiklah Aji. Mulai detik ini aku
berjanji kepadamu, takkan menyebutmu tolol... kau mau memaafkan kesalahanku
ini?"


Terkejut Sangaji mendengar ujar Titisari seperti orang bersalah. Sama
sekali ia tak bersakit hati disebut si tolol olehnya. Hanya saja dengan tak
sengaja, gadis itu menembak jitu sebab musabab terjadinya kegemparan di
atas Gunung Damar. Hal inilah yang mem-buatnya dia kaget dan menjadi perasa.


"Titisari! Sama sekali kau tak bersalah kepadaku...," sahutnya gagap.


Titisari tak berkutik, mukanya penuh sesal sejurus kemudian ia mendongak
mengamat-amati muka Sangaji. Mendadak saja oleh gerakan itu bau harum
menusuk hidung Sangaji. Pemuda itu lantas berdebar-debar hatinya.


"Aji! Mengapa engkau bergemetaran?" tanya Titisari.


Sangaji bertambah gap-gap jantungnya sehingga tak kuasa menjawab.


"Aji, o Aji! "Kata Titisari penuh perasaan. Tak tahukah engkau, bahwa Aku
selalu memi-kirkanmu? Tatkala kulihat engkau mendaki gunung, patahlah
hatiku. Aku terus dibawa pulang Ayah ke Karimunjawa. Tetapi seming-gu
kemudian, aku minggat lagi." Titisari ber-henti sejenak mengesankan.
Kemudian mene-ruskan, "kau tahu Aji, ayahku tak boleh dibuat mainan. Satu
tahun kau berjanji bertemu, dia akan menunggu tepat satu tahun pada tempat
yang ditentukan. Kau berjanji satu bulan hendak menghadap padanya, maka ia
akan menunggumu satu bulan tepat. Hanya saja, kau belum biasa belajar.
Kukhawatirkan, engkau akan kena dirusak angin laut, sebelum mendarat. Lagi
pula, kalau aku berada di sampingmu, betapa Ayah berani menyakitimu."


Sampai di sini Titisari berhenti berbicara. Sangaji jadi perasa. Pikirnya
dalam hati, Titisari begini memikirkan aku. Kalau aku... Ia menunduk hendak
menatap muka Titisari. Mendadak saja gadis itu sudah tertidur tentram di
atas dadanya.


Memang watak Titisari aneh. Dia bisa men-dadak menangis sesudah tertawa
riuh. Begitu pula sebaliknya. Tetapi melihat gadis itu ter-tidur begitu
tentram damai, hati Sangaji jadi terharu bukan main. Tak merasa, diam-diam
ia menarik napas dalam sambil berkata dalam hati, begini




besar cinta kasihnya terhadapku. Apabila di kemudian hari aku tak dapat
hidup bersama apakah jadinya?


Dengan penuh kasih ia merenungi wajah Titisari yang cantik luar biasa.
Gadis itu nam-pak tersenyum dalam lega tidurnya. Agaknya dia telah
berhari-hari lamanya kurang tidur memikirkannya. Kini yang dipikirkan siang
malam telah berada di sampingnya. Betapa hatinya takkan tentram damai?
Mendadak terdengar Titisari berkata lembut. "Aji! Kau tadi menyesali aku?"


"Tidak! Tidak!" Sangaji gugup. "Mengapa kaupucat?"


"Karena... karena..." Sangaji tergagap-gagap.


"Baiklah, mulai saat ini aku berjanji takkan memanggilmu si tolol lagi,"
kata Titisari penuh sesal. Gadis itu mengira, Sangaji menyesali karena dia
selalu memanggilnya dengan istilah tolol. Maka dia berkata lagi, "Aku
sering minggat. Kau pasti khawatir, kelak aku senang minggat. Tapi aku
berjanji padamu... selama hidupku takkan minggat darimu, asalkan kau selalu
ingat padaku. Kau senang tidak?"


Sangaji hendak menjawab, tetapi gadis itu telah terlelap tidur lagi. Karena
itu ia batal hendak membuka mulut. Dan kembali ia mengamat-amati kecantikan
Titisari yang makin lama makin mengharukan. Apabila harum rambutnya
menyentuh penciumannya, jantungnya berdenyut tak karuan juntrungnya.


Sekitar pekarangan rumah jadi bertambah sunyi. Diam-diam Sangaji berpikir.
Rumah siapa ini? Mengapa Titisari bisa berada di sini dan mengapa dia perlu
memancingku ke mari? Waktu itu matahari hampir silam di garis barat,
suasana udara jadi lembut. Burung-burung mulai sibuk mencari penginapan. Di
sana sini terdengar kicau riangnya menceritakan pengalamannya masing-masing
sehari tadi.


Titisari masih saja tidur nyenyak. Napasnya berjalan perlahan hampir tiada
suaranya. Alisnya berkerut seolah-olah sedang memeras pikiran, tetapi
bentuk wajahnya yang mungil tetap tersenyum.


Biarlah dia tidur. Meskipun banyak yang harus kukatakan kepadanya, tak
boleh aku mengganggunya, pikir Sangaji. Kemudian dia mulai merenungkan
keadaan dirinya. Teringat akan gurunya hatinya jadi gelisah. Pantaskah dia
berenak-enak bersanding dengan kekasih hati, sedangkan gurunya sedang
mengerang-erang kesakitan?


Tengah ia bergelisah, Titisari bergerak. Terus saja berkata, "Pastilah
engkau ingin memperoleh keterangan dariku, mengapa aku memancingmu ke mari.
Kemarin kulihat engkau sedang berkelahi melawan rombongan pendekar. Tatkala
aku melintasi Magelang hendak nekad menjenguk kepadamu. Bagus! Ilmu
kepandaianmu maju lagi setingkat. Lalu kuikuti dirimu, lalu kubawa engkau
kemari."


"Mengapa?"


Titisari menegakkan tubuh. Dengan mem-perbaiki sanggul rambutnya, ia
menjawab, "Mari kita pergi! Tenagaku telah pulih kembali. Kau tahu,
semenjak semalam aku mengikuti saudaramu yang tercinta berkuda sejajar
dengan musuh besarmu."


"Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya!" Sangaji berjingkrak. "Di mana engkau
melihat mereka." Titisari tertawa kecil sambil berdiri tegak.


"Aku melihat mereka semalam di Magelang. Agaknya mereka menginap di tangsi
kompeni. Dari mana mereka dan hendak ke mana, siapa yang tahu! Tetapi yang
pasti, mereka datang dari utara. Entah dari Semarang entah dari Ambarawa.
Pokoknya, marilah kita berangkat. Mereka tadi lewat desa sini.


Mereka terus berjalan mengitari rumah. Sampai halaman depan, bertemulah
mereka dengan




perempuan yang menghadang Sangaji di persimpangan tiga. Titisari
menghampiri dan mengangsurkan segenggam uang. Kemu-dian meminta kudanya dan
segera men-dampingi Sangaji kembali.


"Nah kau lihat! Siapa saja demen ' uang, dengan uang, orang tunduk sampai
kebulu-bulunya. Karena itu kau harus berhati-hati."


Tidak semua gila uang," bantah Sangaji.


"Kau tak gila uang, itulah bagus. Karena engkau seorang ksatria sejati.
Karena itu, aku senang padamu..." Titisari menggoda. Dan Sangaji jadi
kelabakan juga. Jengkel ia meng-itik-itik, sampai Titisari jadi berjingkrakan.


Menjelang petang hari, mereka meneruskan perjalanan mengarah ke tenggara.
Desa-desa yang dilalui telah mengundurkan diri. Tak lama kemudian kentong
tanda Isa terdengar bertalu dan segera bersambung dari desa ke desa.


"Kau makan tadi semua hidangan yang kusediakan?" tanya Titisari.


Sangaji teringat akan hidangan yang dise-diakan di rumah makan Muntilan. Ia
telah menelan dua piring nasi. Hanya saja hatinya sibuk menebak-nebak,
sehingga tak mempu-nyai kesempatan untuk menikmati. Meskipun demikian ia
mengangguk membenarkan.


"Bagus! Dengan begitu, tak usah lagi aku menyediakan makan malam," kata
Titisari. "Biar tak makan selama hidupku, tak mengapa. Asalkan selalu dekat
padamu."


"Idih! Semenjak kapan kau pandai berbicara begini," damprat Titisari galak.
"Lagi pula kurang benar. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia hidup
tanpa makan. Kau benar-benar tol..." Cepat-cepat Titisari mendekap mulutnya
karena hampir saja melepaskan kata-kata tolol.


"Aku memang tolol. Mengapa engkau tak berani lagi mengucapkan? Justru
engkau tak mau lagi mengucapkan kata-kata tolol, aku merasa kehilangan
Titisari, karena engkaulah satu-satunya gadis yang berkata begitu terhadapku."


Titisari tertawa manis. Membantah, "Tetapi mengapa engkau tadi berubah mukamu?"


Inilah pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Semenjak kemarin lusa tatkala
diamuk rasa dendam di pekarangan padepokan Gunung Damar, teringatlah dia
kepada Titisari. Dia percaya andaikata Titisari menyaksikan peristiwa itu,
pasti bisa mencari biang keladinya. Tetapi ternyata mulutnya tak sepandai
kata hatinya yang bisa berbicara banyak. Begitu hendak membuka mulut, derun
hatinya meledak terlebih dahulu sehingga tubuhnya terasa terguncang.
Kemudian tersekat-sekat ia berkata, "Aku memang tolol. Karena aku tolol,
Guru teraniaya. Setelah kena racun, ruas tulangnya dipatahkan. Kuduga, Guru
kena jebakan keji sewaktu sudah berhasil membawa kedua pusaka warisan..."


Hubungan antara Wirapati dan Titisari tiada begitu rapat. Bahkan guru
Sangaji yang lain Jaga Saradenta tak senang kepadanya. Meskipun demikian,
karena Wirapati adalah guru Sangaji dan Sangaji adalah pemuda pilihannya,
ia terkejut juga. Lantas saja pan-dangnya tajam hendak menembus dada
Sangaji. Apabila melihat wajah Sangaji berubah hebat, hatinya jadi terguncang.


"Kapan? Bukankah padepokan Gunung Damar kebanjiran tamu?" ia minta
ketegasan. Sangaji lalu menceritakan keadaannya setelah berpisah tiga
minggu yang lalu...


"Karena itu aku turun gunung hendak menuntut balas. Kau kini menyertai
aku... hatiku bersyukur bukan main."


Mereka kemudian tak berkata-kata lagi. Menjelang tengah malam, sampailah
mereka di Desa Tunjungan. Malam itu sekalipun bulan belum penuh, tetapi
cukup cerah. Tapak-tapak kuda yang mendahului perjalanan mereka nampak di
sepanjang jalan.


"Mari! Paman-pamanmu berkata tentang racun Pangeran Bumi Gede yang ada per-




samaannya!" kata Titisari tiba-tiba. "Di depan kita, rombongan Pangeran
Bumi Gede agaknya hendak pulang ke Bumi Gede. Ayo kita bekuk mereka, kau
berani?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar