@bende mataram@
Bagian 241
Teringat akan kata-kata gurunya itu, terba-ngunlah semangatnya. Lantas saja
ia melompat dari atas tempat tidur sambil berkata dalam hati. Ya! Aku harus
belajar berdiri sendiri. Dan aku harus sanggup menuntutkan dendam, budi
Guru sebesar gunung. Jiwaku belum tentu cukup terwadahi sebagai penukarnya.
Terus saja ia membuka pintu dan mandi. Tatkala telah mengenakan pakaian dan
hen-dak berangkat, mendadak pemilik rumah penginapan datang padanya. Dengan
tertawa lebar orang itu berkata hormat.
"Santapan telah tersedia. Silakan!" "Santapan?" Sangaji heran.
"Ya, santapan pagi," orang itu menekankan tiap suku kata. "Memang, rumah
penginapan di manapun juga jarang menyediakan san-tapan. Kamipun juga.
Hanya kali ini agak istimewa."
"Mengapa?"
"Karena kami menerima pesan seseorang agar menyediakan santapan untuk
Tuan." Sahut orang itu dengan tertawa lebar lagi. "Seseorang datang pada
kami dan minta keterangan tentang Tuan. Dia menggam-barkan perawakan Tuan.
Kamipun segera mengiakan. Kemudian dia memerintahkan kami agar menyediakan
santapan."
"Siapa?" Sangaji bertambah heran. "Orangnya menuntun kuda."
Sangaji terhenyak. Ingatannya dipaksanya bekerja. Teringat akan sikap
Lumbung Ami-seno, keraslah dugaannya bahwa ialah yang memperhatikan
kepentingannya. Maka berka-talah dia, "Baiklah! Sekiranya Tuan itu balik
kembali, katakan kepadanya aku sangat ber-terima kasih atas perhatiannya.
Hanya sayang, aku tak mempunyai kesempatan untuk menunggunya."
Di atas meja telah tersedia suatu hidangan untuk santapan yang terlalu
mewah dan mahal baginya. Sangaji melihat beberapa potong paha ayam, hati
rempelo dan kepalanya. Inilah bagian-bagian tubuh masakan ayam yang sangat
ia gemari. Diam-diam ia sibuk menduga-duga siapakah ia sesungguhnya yang
bersusah payah menyediakan santapan.
Tatkala ia hendak membayar masakan itu. Pemilik penginapan buru-buru
menolak sambil berkata, "Tak usah! Semuanya sudah terbayar."
Sangaji tercengang-cengang. Segera ia menaruh setumpuk uang sebagai upah
jasa. Dengan gembira pemilik penginapan meneri-ma persenan itu, lalu
berkata lagi.
"O ya... Tuan itu berpesan begini. Kalau
Tuan ingin mencari dia, dianjurkan mengarah ke selatan. Katanya, kalau Tuan
ksatria sejati pasti mendengarkan pesannya. Dia akan menunggu Tuan di
Muntilan."
Mendengar kata-kata pemilik penginapan, alis Sangaji tegak sekaligus. Kesan
pesan itu terasa menusuk. Dengan merenung-renung ia meninggalkan rumah
penginapan.
Apakah dia Lumbung Amiseno atau bu-kan... apakah dia bermaksud baik atau
jahat, biarlah kulihatnya, pikirnya. Segera ia menyepit si Willem dan
mengarah ke selatan.
Pada dewasa itu perjalanan ke Muntilan tidaklah sebagus kini. Meskipun jauh
lebih baik daripada jalan pedesaan, tetapi masih penuh belantara di
seberang menyeberangnya. Tebing jalan tinggi dan angker. Karena itu pula
sering dipergunakan sebagai jebakan segerombolan penyamun.
Tatkala sampai di luar batas kota Muntilan, hari telah lewat luhur. Seorang
pemuda tang-gung datang menghampiri dan bertanya minta keterangan.
"Apakah Tuan bernama Sangaji?"
Sangaji tercengang sampai memberhen-tikan kudanya, terus menyahut, "Ya."
"Apakah Tuan datang dari Gunung Damar?"
"Ya. Siapakah engkau?"
"Aku disuruh seseorang yang menuntun kuda." "Apa katanya?" Sangaji bertanya
penuh selidik.
"Katanya, jika Tuan benar-benar seorang ksatria sejati, dipersilakan dahar
siang di rumah makan itu. Ditanggung tiada racun-nya."
Dua kali Sangaji mendengar bunyi istilah: Jika Tuan seorang ksatria sejati.
Sebagai se-orang pemuda yang bercita-cita besar dalam dadanya, istilah itu
memanaskan hatinya. Betapapun juga, semenjak kanak-kanak ia dididik ibunya
berjiwa ksatria. Kakak angkat-nya Willem Erbefeld sering menceritakan
kisah-kisah seorang ksatria. Juga kedua gurunya, Jaga Saradenta dan
Wirapati adalah tokoh-tokoh ksatria sejati. Dengan sendirinya dalam dada
tertanam benih-benih kehidupan seorang ksatria. Itulah sebabnya, maka
pancingan istilah ksatria sejati kena benar dalam lubuk hatinya.
Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia memasuki rumah makan yang
ditunjukkan. Di atas meja telah tersedia serentetan hidangan yang terdiri
dari goreng ayam, telur dan sayur mayur yang digemari.
Celaka, katanya dalam hati. Nampaknya orang ini telah mengenal aku,
sedangkan aku tidak. Katanya, masakan ini tiada racunnya. Hm... meskipun
ada racunnya, masakah aku perlu berkecil hati.
Panas rasa kupingnya apabila teringat akan kalimat kata pesan yang
terakhir. Maka de-ngan lahap, ia menggerumuti hidangan itu. Kebetulan,
perutnya sudah terasa kosong. Dua piring nasi sekaligus tertelan dalam
lehernya. Mendadak teringatlah dia, bahwa Willem belum diberi makan, bocah
tanggung masih berada di sampingnya. Segera ia mengangsurkan uang untuk
memberi makan kudanya.
"Untuk kuda Tuan telah disediakan. Tuan tak usah bersusah-susah lagi,"
jawabnya.
Benar-benar Sangaji heran memikirkan kecermatan orang itu. Karena emoh
kalah per-bawa, uang yang telah terlanjur diangsurkan dihadiahkan kepada
bocah tanggung itu.
"Ambilan! Bukankah engkau memperoleh upah pula dari dia?"
Memang bocah tanggung itu bekerja atas upah jasa. Karuan saja mata bocah
tanggung itu bekilat-kilat. Berulang kali ia menyatakan terima kasih tak
terhingga.
"Karena Tuan seorang yang baik hati, biar-lah kukatakan semua pesannya."
"Eh, dia berpesan apa lagi?" sahut Sangaji dengan tersenyum. Akhirnya
hatinya menjadi geli mendongkol juga memikirkan orang di dalam selimut itu.
"Begini. Sekiranya Tuan masih berkeinginan membalas dendam tak perlulah
Tuan melewati kota Yogyakarta, jika Tuan mempunyai keberanian, berhentilah
dahulu di Dusun Medari, mengarahlah ke timur. Tuan akan ditunggu di Dusun
Turi."
Terkesiap juga hati Sangaji mendengar pesan itu dengan berdiam diri, segera
ia menyelesaikan makannya. Apabila Willem sudah kenyang pula, cepat ia
melarikan ke arah selatan. Diam-diam ia meraba pedang hadiah Willem
Erbefeld yang selalu dibawanya serta. Sepanjang jalan sibuklah dia
men-duga-duga.
Mendengar caranya mengatur makanan dan meninggalkan pesan, agaknya bukan
Lumbung Amiseno. Dua orang saudara seperguruannya terluka parah, masakah
masih mempunyai waktu untuk mengurus aku? Ih! Apakah bukan salah seorang
tetamu yang mengunjungi ulang tahun Eyang Panembahan? Baik! Apabila
ternyata dia musuh dalam selimut. Malah kebetulan. Siapa tahu, aku lantas
dapat menjejak penganiyaya Guru. Asalkan aku pandai menjaga diri masakah
aku akan kena jebakan? Seorang ksatria sejatitakkan meracun lawannya betapa
pun dia membenci, kata Eyang Panembahan. Bila tidak demikian, bukankah aku
telah kena racunnya.
Menduga, bahwa orang itu pasti berjiwa ksatria lapanglah dadanya. Cepat ia
sampai di Desa Medari. Keadaan desa itu sunyi sepi. Tiada tanda-tanda yang
mencurigai. Kemu-dian dengan petunjuk seorang penduduk da-patlah ia mencari
jalan ke Desa Turi. Ternyata ia harus lewat Desa Kadisobo dan terus
mene-robos lembah bambu.
Sampai di Desa Turi, matahari telah condong sejengkal mendekati cakrawala.
Hawa mulai terasa sejuk. Di sana berdiri Gunung Merapi yang tetap garang
sepanjang masa. Konon kabarnya pada zaman kerajaan Mentaok, pernah
memuntahkan laharnya sehingga menyapu daerah Yogyakarta sekitarnya.
Batu-batu yang dibawanya terbang masuk tertancap di sana sini sebagai bukti
dari kegarangannya.
Di simpang tiga, seorang perempuan bersiul berdiri di tepi jalan memberi
hormat kepada Sangaji. Karena dua kali berturut-turut Sangaji dihampiri
orang yang belum dikenalinya, maka segera berkata sebelum perempuan itu
membuka mulutnya.
"Apakah engkau disuruh menghadang aku?"
Perempuan itu tersenyum. Sambil mem-bungkuk hormat lagi dia menyahut, "Di
rumah itu terdapat sebuah empang. Tuan ditunggu dan dianjurkan
mempersiapkan senjata Tuan. Jika Tuan seorang ksatria sejati, datanglah
tanpa berkuda."
Hati Sangaji gemas mendengar istilah ejekan itu. Tanpa berkata lagi terus
saja ia memutar kudanya dan menghampiri sebuah rumah yang terlindung pagar
bambu. Willem kemudian dibiarkan bercokol di pekarangan, tanpa diikatnya.
Karena kuda itu sudah terlatih mengatur diri. Lantas saja ia meraba
pedangnya dan dengan berjingkit-jingkit mengitari rumah yang nampak sunyi.
Mendadak saja di balik serumpun batang pisang, ia mendengar suara seorang
perem-puan lapat-lapat.
"Ini Aji kangmasku... dan ini Titisari."
Heran hati Sangaji sampai langkahnya ber-henti sejenak. Lalu hati-hati
mendekati dengan mengendap-endap, la melihat seseorang yang mengenakan
pakaian sari hijau muda duduk bermenung menghadap empang. Di atas tanah
berdiri dua golek, ' yang kanan seorang ksatria dan yang kiri seorang putri
berpakaian kebaya. Dan kembali terdengar suaranya.
"Bertanyalah Titisari kepada Sangaji, 'hai! Bukankah sudah hampir satu
bulan penuh? Kau berjanji kepada Ayah hendak mengunjungi. Entah engkau
kalah atau menang mengadu kepandaian, itu bukanlah soal. Seseorang ksatria
sejati harus menepati janji. Kemudian Sangaji menjawab: Aku masih harus
menuntut dendam ayahku yang mati tersiksa orang...'"
"Ah!" seru Sangaji dalam hati. Bukan main girangnya karena perempuan yang
menge-nakan sari hijau itu adalah Titisari, buah hatinya. Tiada ragu lagi,
terus saja berkata nyaring. "Karena aku seorang ksatria sejati seperti
katamu, maka aku kena kau pancing ke mari."
Titisari terperanjat. Ia menoleh dengan cepat. Kemudian tertawa. Tertawa
manis sekali. Dengan gesit ia melompat bangun dan terus menghampiri.
Sangaji terus saja memberondong.
"Kau benar-benar nakal. Masakan memang-gil aku dengan cara begini?"
Tetapi Titisari tidak meladeni. Anak muda itu kemudian dibawanya duduk
berdamping. Lantas saja dia berbicara dan berbicara menceritakan kisahnya
setelah terpaksa berpisah. Asyik benar dia berbicara dan eng-gan dipotong.
Dia baru berpisah dengan Sangaji belum lagi sebulan penuh, tetapi caranya
berbicara seperti seorang kehilangan masa damai sepuluh tahun lamanya.
Sangaji membiarkan dia berbicara. Dia kenal watak Titisari yang aneh dan
liar, seolah-olah
mempunyai dunia sendiri yang tak boleh diganggu-gugat.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar