@bende mataram@
Bagian 238
Kyai Kasan Kesambi termenung-menung. Teringatlah dia kepada pengalamannya
zaman mudanya. Di pantai Selatan, bermukimlah seorang sakti bernama
Rajapideksa, karena dia memiliki dua ilmu kebal bernama Rajapideksa dan
Gondawijaya. Kecuali itu, dia pandai membuat racun ramuan-ramuan bisa ular
yang banyak terdapat di wilayah Gunung
Kidul. Dahulu pada zaman Giyanti, banyaklah pembunuh kompeni Belanda dengan
senjata racunnya. Itulah sebabnya pula, Kyai Kasan Kesambi melarang anak
muridnya menggu-nakan suatu perkelahian dengan menggu-nakan senjata
beracun. Tetapi masakan orang sakti itu masih hidup? Sedangkan waktu Perang
Giyanti, umurnya sudah lanjut. Apakah anak muridnya atau cucu muridnya yang
meneruskan warisan kepandaiannya? Apabila benar, alangkah hebat. Dan jika
dia mewartakan dugaannya itu kepada sekalian anak muridnya sudah tentu
mereka akan menuntut balas. Seumpama bukan anak murid Rajapi-deksa yang
melukai Wirapati, pastilah akan terjadi suatu permusuhan besar di kemudian
hari. Suatu malapetaka yang berpangkal kepada tuduh menuduh takkan ada
habisnya.
Melihat Kyai Kasan Kesambi berdiam diri itu. segera Suryaningrat yakin
bahwa dugaannya tak salah. Ia menegas lagi, "Apabila bukan Pangeran Bumi
Gede, siapakah lagi yang mempunyai senjata berbisa begini keji?"
"Membuat senjata racun tidaklah mudah. Kadangkala seseorang membutuhkan
kete-kunannya sepanjang hidupnya," jawab Kyai Kasan Kesambi. Kemudian
terdiam lagi de-ngan berenung-renung.
Sekonyong-konyong, Sangaji yang selama itu hanya menangis terisak-isak
melompat tinggi dan kemudian melesat ke luar pendapa. Ia menghampiri
sebatang pohon dan dengan ilmu sakti Kumayan Jati ia merobohkan de-ngan
sekali pukul. Lalu berteriak, "Eyang Panembahan! Apakah aku belum mampu
menuntut balas Guru? Apakah musuh-musuh Guru yang menganiayanya jauh lebih
sakti daripada pukulanku?"
Gagak Handaka, Ranggajaya dan Surya-ningrat terkejut melihat pukulan itu.
Sama sekali mereka tak menduga, bahwa bocah itu dapat memukul sebatang
pohon sekali roboh. Hanya Bagus Kempong yang nampak tenang, karena dia
telah mengenal kemampuan Sa-ngaji tatkala bertanding melawan Pringgasakti.
Kyai Kasan Kesambi mengawaskan seben-tar, kemudian berdiri dan masuk ke
dalam kamarnya.
"Bagus Kempong!" katanya. "Aku membu-tuhkan pemikiranmu. Peristiwa ini
benar-benar sulit untuk menentukan siapakah penganiaya adikmu."
Dalam hal menentukan sikap Kyai Kasan Kesambi selalu mengajak Bagus Kempong
memecahkan tiap persoalan. Bagus Kempong seorang pendiam, tetapi pandai
menentukan sikap dan langkah-langkah selanjutnya. Sewaktu bersama Wirapati
dihadang oleh gerombolan petualang, dia telah membuktikan kesanggupannya.
Maka begitu mendengar kata gurunya, segera menjawab sambil ber-jalan
mengiringi.
"Sepak terjang Adinda Wirapati cukup berhati-hati dan waspada, meskipun
hatinya usilan apabila menjumpai suatu peristiwa. Hatinya terbuka dan
senang menerima suatu persahabatan. Kukira, Adinda Wirapati menjadi korban
dari ke lapangan hatinya sendiri. Sebab apabila berlawanan dengan
terang-terangan, tidaklah gampang menjatuhkan dirinya. Guru sendiri memuji
kecerdikan dan kecermatannya."
Kyai Kasan Kesambi memanggut-manggut kecil menyetujui sambil memasuki
ambang pintu.
"Ruas tulang yang terpatahkan, kukira hanya terjadi setelah dia kena bisa.
Soalnya kini, siapakah yang meracuni dirinya? Tentang sebab musababnya
terang benderang. Orang yang meracunnya ingin memiliki kedua pusaka sakti
Bende Mataram," Bagus Kempong menyambung.
"Hm, apakah engkau menduga lebih dari seorang?"
"Pasti. Nampak sekali bahwa yang meracuni dan yang mematahkan
tulang-tulangnya mempunyai kepentingan masing-masing."
"Hm, jika begitu, bantulah aku merawat adikmu. Sifat racun itu luar biasa
anehnya. Sampai kini, belum dapat kuketahui obat pemunahnya. Dalam tubuhnya
terdapat beberapa bintik-bintik bekas kena timpukan. Apabila yang
menimpukkan senjata beracun bukan seorang yang berkepandaian tinggi,
masakah adikmu tak mampu mengelakkan?"
Sehabis berkata demikian, terus saja Kyai Kasan Kerambi memasuki kamar
dengan diiringi Bagus Kempong. Gagak Handaka, Ranggajaya dan Suryaningrat
kembali ke kamarnya masingmasing menghempaskan diri. Sedangkan Sangaji
tetap berada di pekarangan dengan hati masgul luar biasa.
"Eyang tak mau menjawab seruanku. Apakah kepandaian musuh Guru jauh di
atasku?" kata hatinya.
Sangaji adalah seorang pemuda yang seder-hana dan tak pandai berpikir
berbelit-belit apalagi begitu rumit. Meskipun demikian kali itu dia memeras
otaknya benar-benar, karena besarnya dendam yang berkecamuk dalam hatinya.
Namun, karena otaknya tak pandai melayani kehendak hatinya, ruang benaknya
tetap gelap gulita. Akhirnya, dia jengkel dan tiba-tiba menyalahkan diri
sendiri membiarkan gurunya mengambil pusaka warisan.
"Guru! Mengapa engkau begitu bersusah payah untukku semata?" ia mengeluh sedih.
Dengan wajah berkerut-kerut ia duduk di atas batang pohon yang tadi kena
dihajarnya roboh. Hatinya pepat, tak tahu lagi apakah yang hendak
dilakukan. Mendadak saja teringatlah dia kepada Titisari, sahabatnya yang
otaknya serba pandai. Pikirnya, ah! Andaikata Titisari berada di sini...
aku percaya musuh Guru akan terpecahkan.
Semenjak bertemu di Cirebon ia telah menaruh kepercayaan besar terhadap
Titisari. la percaya, betapa sulit suatu teka-teki pasti akan dapat
terpecahkan.
Waktu itu matahari hampir mendekati garis lintang. Sebentar lagi matahari
akan terbenam benar-benar. Kemudian suara adzan terdengar mengaung-aung
menukik ke angkasa. Memang di sekitar lembah Loano, penduduk beragama Islam
dan melakukan wajib agama dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka
kentong tanda waktu Magrib bertalu bersambungan dari desa ke desa. Seluruh
alam lantas terasa damai tenteram. Tetapi hati Sangaji tidaklah demikian.
Berbareng dengan tenggelamnya matahari, kerisauannya makin bergolak tiada
hentinya.
Ia menoleh ke arah pendapa. Para cantrik mulai menyalakan pelita. Suasana
kelap-kelip menambah kepepatan hatinya.
Tiba-tiba Gagak Handaka muncul di serambi depan. Melihat Sangaji duduk
termenung di pekarangan, segera ia memanggilnya. Murid tertua Kyai Kasan
Kesambi terkenal sebagai seorang murid pendiam. Baik kepandaian maupun
kewibawaannya tiada yang melebihi. Semua adik-adik seperguruannya tiada
yang berani membantah setiap keputusannya. Maka begitu Sangaji mendengar
suaranya, tanpa dikehendaki terus saja menghampiri seolah-olah kena suatu
daya kekuatan gaib.
"Masuklah!" perintah Gagak Handaka pendek.
Sangaji teruis memasuki kamar. Dia mencoba menidurkan diri dan menolak
makan malam.
Tetapi sampai larut malam matanya tak mau dipejamkan karena diamuk rasa
duka dan marah. Sesudah gulang-guling tak keruan juntrungnya, diam-diam ia
bangun. Besar hasratnya hendak menjenguk keadaan gurunya. Karena
paman-pamannya akan mencegahnya, maka dengan berjingkat-jingkat ia
mendekati kamar eyang gurunya.
Tatkala sampai di serambi belakang yang menyekat kamar-kamar pamannya dan
kamar eyang gurunya, ia melihat seorang berperawakan tegap tinggi berdiri
tegak di te-ngah kegelapan. Itulah eyang gurunya, Kyai Kasan Kesambi. Cepat
ia bersembunyi di balik tiang dengan hati berdebar-debar. Ia merasa serba
salah. Hendak kembali ke kamarnya, pasti akan diketahui. Apabila tetap
bersem-bunyi harus berani menahan napas selama mungkin dan menipiskan
secermat mungkin.
Tak lama kemudian, ia melihat Kyai Kasan Kesambi berjalan mondar mandir.
Setiap kali ia menggores udara dengan tangan kanannya seolah-olah sedang
menulis. Diam-diam Sangaji heran menyaksikan hal itu. Apakah eyang gurunya
jadi gendeng karena memi-kirkan muridnya? Ah, bagaimana mungkin! Memperoleh
pertimbangan demikian, segera ia mengamat-amati dengan saksama dan cermat.
Tatkala itu Kyai Kasan Kesambi telah mencorat-coret beberapa kali di udara.
Terdengar ia menarik napas panjang seperti seseorang lagi menghempaskan
diri karena sedih hati. Kemudian berjalan berputar-putar sambil merenung.
Sejurus lagi, tangannya bergerak dan bercorat-coret kembali. Kali ini
bergerak dengan perlahan dan hati-hati. Diam-diam Sangaji terkesiap tatkala
mengamat-amati. Terang sekali, bahwa eyang gurunya sedang menulis
huruf-huruf di udara, sayang sekali tak dapat ia membacanya, karena
hurufnya bukan latin. Tetapi huruf Jawa seperti kebanyakan orang-orang tua
pada zaman itu.
Eyang Panembahan lagi menulis apa? Pikir-nya dalam hati. Apakah dia sedang
menulis suatu pesan? Pesan apa?
Memperoleh pikiran demikian, cepat ia menjelajahkan matanya. Yakinlah dia
bahwa kecuali dirinya pasti ada salah seorang paman gurunya yang berada di
sekitar tempat itu, tetapi keadaannya lengang sunyi.
"Baiklah! Biar kuhafalkan sebisa-bisaku. Esok akan kuulangi di depan paman
guru, bukankah aku akan ikut mengerti? pikirnya lagi. Mendadak ia melihat
suatu perubahan. Tangan eyang gurunya dengan perlahan-lahan mencoret suatu
huruf latin. Bunyinya: SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
"Hai!" Sangaji terkejut. "Apakah Eyang Guru sedang memikirkan peristiwa
Guru? Agaknya Eyang Guru yakin, bahwa betapa perkasa suatu kejahatan akan
lebur juga oleh suatu kebaikan. Ih! Jangan-jangan Eyang Guru sedang
menciptakan suatu ilmu bergerak dan bertahan untuk menghancurkan suatu
kebiadaban, ya, siapa tahu!
Memperoleh pikiran demikian, teringatlah dia kepada gurunya yang luka
parah. Maka rasa dendamnya sekaligus berkecamuk hebat dalam dirinya sampai
wajahnya menjadi tegang luar biasa. Karena dendam itu pulalah, maka seluruh
perhatiannya terpusat untuk suatu tujuan menuntut balas. Cepat ia
mengamat-amati gaya coretan Kyai Kasan Kesambi yang makin lama makin galak
dan terang sekali merupakan suatu jurus pukulan dan tangkisan. Sayang
sekali, kali ini gaya tulisannya huruf Jawa, sehingga Sangaji jadi
kelabakan. Tetapi terdorong oleh kekerasan hati hendak menuntut dendam,
mendadak saja otak pemuda itu yang biasanya tumpul jadi tajam luar biasa
bagai sebuah belati mengke-rat-kerat sebuah benda ulat.
Sesungguhnya, Kyai Kasan Kesambi kala itu sedang menulis 20 huruf Jawa
berikut huruf sandang berulang-kali. Kemudian menyusun huruf-huruf tersebut
menjadi istilah-istilah kata penghancur terhadap tiap butir kehendak nafsu,
seperti Wisa Kontaling Maruta, Anjrah jroning Kalyun, Wedaring wacana
Mulya, Gedongmineb jroning Kalbu, Sotya sinara wedi, Tirtosahingsasana,
Sotya murca saking embanan, Bantala rengka, Suta manut mring bapa, Waspa
kumembeng jroning kalbu, Pancuran emas sumawur ing jagad, Rasa mulya kasucian,
dan bermacam-macam semboyan lainnya. Sekali lagi amatlah sayang, karena
Sangaji tak dapat membaca huruf-hurufnya. Andaikata pandai membaca,
pastilah hatinya akan terharu melihat betapa besar cinta kasih eyang
gurunya terhadap gurunya. Orang tua itu yang sudah lama tak pernah
memperlihatkan kepandaiannya, mendadak saja pada hari itu memperlihatkan
giginya bagaikan seekor harimau mondar-mandir dalam kerangkeng jebakan.
Inilah suatu ilmu sakti hasil pengendapan diri selama bertekun dua belas
tahun dalam kamarnya semenjak Wirapati hilang tiada kabarnya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar