10.19.2019

@bende mataram@ Bagian 237

@bende mataram@
Bagian 237


TENANG LUAR BIASA ADALAH KYAI KASAN KESAMBI. Menghadapi malapetaka demikian
besarnya tiada kesan sama sekali bahwa hatinya terguncang.


"Gagak Handaka! Tolong ambilkan air Kembang Wijayakusuma di dalam kamarku,"
katanya perlahan. Kemudian ia membungkuki tubuh Wirapati dengan berdiam
diri. Tampak ia menghela napas. Wajahnya berkerut-kerut tetapi mulutnya
membungkam. Setelah mere-nung sejenak, tangannya memijat-mijat pelipis
Wirapati berulang kali dengan disertai tenaga mukjizat.


Tamu-tamu semua tahu, bahwa ilmu mukjizat Kyai Kasan Kesambi sangat tinggi.
Biasanya meskipun napas seseorang telah tersekat beberapa waktu lamanya,
apabila kena tangan Kyai Kasan Kesambi pasti dapat tersadar kembali. Tetapi
kali ini sampai beberapa waktu lamanya, masih saja belum nampak hasilnya.
Wirapati belum juga tersadar, meskipun sudah bernapas lemah sekali.


Semenjak Ranggajaya dan Bagus Kempong menjadi murid perguruan Gunung Damar,
belum pernah sekali juga melihat gurunya gugup seperti kali ini. Menghadapi
segala pe-ristiwa betapa besarpun, gurunya tetap mem-perlihatkan
ketenangannya. Kini, mereka memperlihatkan rasa cemas. Maka tahulah mereka,
bahwa Wirapati menderita suatu luka parah yang sangat berbahaya.


Tatkala itu Gagak Handaka sudah kembali dari kamar membawa botol air
Kembang Wijayakusuma. Air sakti ini dahulu diterima Kyai Kasan Kesambi dari
sahabatnya almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I. Seperti diketahui,
pengganti raja harus memiliki kembang tersebut sebelum naik tahta sebagai
suatu adat turun-temurun. Kembang sakti tersebut diambil dari selat Cilacap
pada sebidang batu karang yang bernama Singalodra. Barangsiapa meneguk air
sakti




itu akan bertambah umurnya. Apabila sedang sakit, akan cepat sembuh. Bahkan
konon diceritakan, bahwa orang matipun akan dapat hidup kembali manakala
belum sampai kepada takdir.


Dengan berdiam diri, Kyai Kasan Kesambi menerima botol tersebut yang
tersumbat gabus rapat-rapat. Dalam keadaan biasa, seseorang akan membuka
gabus itu dahulu sebelum menuang airnya. Namun Kyai Kasan Kesambi dalam
keadaan terguncang hatinya, melihat murid kesayangannya terluka parah
demikian rupa. Dengan tak sabar ia menyentil leher botol sehingga terpental
hancur. Kemudian dengan gopoh diminumkan air sak-tinya. Tetapi air tersebut
tak berhasil dimi-numkan, karena mulut Wirapati terkunci rapat dalam
keadaan tak sadar pula.


Perlahan-lahan Kyai Kasan Kesambi meng-hela napas. Segera ia memijat-mijat
tulang rahang Wirapati dengan ibu jari, sedangkan jari telunjuk tangan
kirinya mengurut-ngurut tulang dada. Tak lama kemudian terbukalah mulut
Wirapati. Begitu terbuka, Kyai Kasan Kesambi menuangkan air sakti dengan
cepat. Gagak Handaka, Ranggajaya, Bagus Kempong dan Suryaningrat bersuara
lega melihat gurunya sudah berhasil meminumkan air sakti.


Sayang, air sakti tersebut tertahan di teng-gorokan. Agaknya daging bagian
rongga dada sudah menjadi kaku. Cepat Gagak Handaka dan Ranggajaya memijat
urat leher. Sedangkan Bagus Kempong dan Suryaningrat memijat-mijat ibu jari
kaki. Ibu jari kaki, urat leher dan jantung merupakan jalan darah yang
berhubungan langsung. Seseorang yang lagi tidur lelap atau jatuh pingsan
akan cepat tersadarkan apabila terpijat ibu jari kakinya.


Waktu itu Sangaji telah sadar kembali. Begitu melihat kesibukan, segera ia
berteriak minta penjelasan.


"Eyang Panembahan! Apakah Guru dapat tertolong!"


Tetapi Kyai Kasan Kesambi tidak men-jawabnya. Hanya berkata seperti mengguna.


"Aji! Tiap orang pasti akan kembali. Siapakah manusia yang pernah hidup ini
tidakkan mati?"


"Hm... karena urusan Bende Mataram semata?" Sangaji berteriak. Tubuhnya
menggigil menahan amarah yang meluap-luap.


Mendengar tanya jawab antara Sangaji dan Kyai Kasan Kesambi, semua tetamu
merasa tak enak hatinya. Segera mereka memohon diri kepada Kyai Kasan
Kesambi. Mereka tahu bahwa anak murid Gunung Damar takkan tinggal diam
saja. Dan kalau sampai Kyai Kasan Kesambi ikut campur, alangkah hebat.


Gagak Handaka mewakili gurunya mengan-tar mereka dengan wajah suram.
Rombongan Raden Ayu Kistibantala adalah rombongan tetamu yang terakhir
bermohon diri. Dengan sedih Raden Ayu Kistibantala menghampiri Suryaningrat
sambil berkata perlahan. "Kangmas Suryaningrat, aku akan pulang... jagalah
dirimu baik-baik. Suryaningrat... Suryaningrat adalah salah seorang murid
Kyai Kasan Kesambi yang terhalus perasaannya. Tatkala melihat kecemasan
gurunya, diam-diam ia mulai putus asa. Tak terasa air matanya memenuhi
kelopaknya. Maka begitu mendengar suara kekasihnya, dengan mendongak ia
memaksa diri hendak menjawab. Namun hatinya terlalu sedih, sehingga dengan
tak sadar ia berkata menuduh.


"Jadi... engkaupun... engkaupun juga datang kemari untuk mencari keterangan
tentang pusaka sakti Bende Mataram?"


"Ti... tidak," sahut Raden Ayu Kistibantala cepat.


"Memang kami telah menerima laporan, bahwa pusaka sakti tersebut berada di
Gunung Damar. Kami hanya diutus Sri Sultan Hamengku Buwono II,
mempersaksikan belaka. Di kemudian hari, mengingat persahabatan antara Kyai
Kasan Kesambi dan almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono I, Sri Sultan
Hamengku Buwono II akan memberanikan diri untuk merundingkan. Bagaimana
corak dan bunyi perundingan itu, sama sekali bukan urusanku."




"Ha... bagus!" tiba-tiba Sangaji berseru. "Guru kini dalam keadaan tak
sadar. Untuk memaksa agar mengaku, bukanlah lebih mudah?"


Terang sekali, ucapan Sangaji tercetus dari lubuk hati yang sedang sedih
bercampur dendam. Meskipun demikian, ucapannya pedas luar biasa sehingga
wajah Raden Ayu Kisti-bantala merah sekaligus.


Cepat-cepat Suryaningrat berkata, "Apa perlu mendengarkan ucapan seorang
yang masih berbau kanak-kanak? Tetapi andai-kata... pihak lain menggunakan
hubungan kita ini, rasanya aku pun terpaksa akan menolak. Mengertikah engkau?"


Raden Ayu Kistibantala mengangguk, kemudian bermohon diri dengan diikuti
rom-bongannya. Dan pendopo padepokan Gunung Damar kini menjadi sunyi
menakutkan. Tiada yang berkutik atau bersuara, kecuali perna-pasan Kyai
Kasan Kesambi yang terdengar berat menusup ke rongga dada Wirapati.


Semua anak murid Gunung Damar tahu, bahwa gurunya sedang membantu
pernapasan Wirapati agar memperoleh kesadaran. Keringat gurunya sampai
nampak merembes ke bajunya. Dan tak lama kemudian terdengar Wirapati
menjerit sangat keras, sehingga hati Sangaji tergetar. Inilah suara jeritan
yang tertahan, Tatkala Malangyuda mematahkan ruas-ruas tulangnya.


Wajah Kyai Kasan Kesambi tetap memperli-hatkan kesan beku. Tak dapat mereka
mem-baca hatinya apakah dia sedang duka atau bersyukur.


"Bagus Kempong, Suryaningrat! Papahlah Wirapati ke dalam kamarku!"
Tiba-tiba Kyai Kasan Kesambi memberi perintah.


Bergegas, Bagus Kempong dan Surya-ningrat memapah Wirapati ke dalam kamar
Kyai Kasan Kesambi. Tak lama kemudian, Suryaningrat telah muncul kembali.
Segera bertanya kepada gurunya. "Guru! Apakah ilmu sakti Kangmas Wirapati
akan dapat dipulihkan?"


Kyai Kasan Kesambi nampak berenung-renung mendengar pertanyaan murid
bungsunya. Sejenak kemudian menjawab sambil menarik napas.


"Apakah nyawanya dapat diselamatkan masih merupakan suatu teka-teki bagiku.
Tunggulah satu bulan lagi! Kita akan memper-oleh jawabannya. Ruas-ruas
tulangnya agak-nya belum patah sama sekali. Hanya terkena suatu bisa keji
luar biasa sehingga menyekat jalan darahnya. Apabila ke-208 tulang
sam-bungnya kena tersekat bisa tersebut, meskipun tertolong kakakmu akan
lumpuh juga. Karena itu, kewajiban kita adalah meng-usir bisa dari dalam
tubuhnya. Kalau perlu kita pangkas salah satu anggota tubuhnya. Seorang
laki-laki kehilangan sebelah tangan atau kakinya, bukanlah berarti tiada
guna lagi."


Semua yang mendengar keterangan Kyai Kasan Kesambi terharu bukan kepalang.
Suryaningrat sekaligus berlinang-linang, sedangkan Sangaji terus saja
menangis sedih. Pemuda ini teringat akan gurunya tatkala masih segar bugar
berangkat dari Jakarta ke wilayah Jawa Tengah. Betapa perkasa dia. menurut
Sangaji tiada yang menyamai.


"Guru!" Gagak Handaka berkata dengan dahi mengerinyit. "Sesungguhnya,
siapakah yang menganiaya Adinda Wirapati demikian keji? Pendekar gagah
manakah yang terang-terangan memusuhi kita?"


Dengan menggeleng-gelengkan kepala Kyai Kasan Kesambi menjawab, "Seorang
pendekar gagah atau ksatria sejati, tidak menggunakan bisa atau racun
begini keji. Menang atau kalah dalam suatu pertempuran adalah layak. Dan
tiap ksatria atau pendekar akan menerima kekalahannya dengan wajar dan hati
terbuka."


"Jika dia penyamun atau perampok, Masakah bisa menganiaya Adinda Wirapati?"


"Handaka! Jangan engkau terlalu mem-banggakan pamor perguruan sendiri. Di
dalam hidup ini banyak terjadi hal-hal yang berada di luar dugaan kita."




Mendengar tutur-kata Kyai Kasan Kesambi, Gagak Handaka terdiam. Di dalam
hatinya ia kagum kepada ketinggian budi gurunya. Terang sekali bahwa
gurunya terkenal sebagai tokoh utama tujuh orang sakti pada zaman itu.
Meskipun demikian, tak pernah memandang rendah perguruan-perguruan lainnya.
Tiba-tiba Suryaningrat berkata nyaring. "Guru! Kangmas Wirapati pernah
mengisahkan pengalamannya tentang senjata rahasia Pangeran Bumi Gede.
Apakah Kangmas Wirapati terkena senjata rahasianya?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar