@bende mataram@
Bagian 236
"Hebat! Benar-benar hebat! Anak-murid Kyai Kasan Kesambi benar-benar pantas
di-kagumi orang. Tak terhitung ksatria-ksatria yang terkenal sakti, mati
ditanganku kena racunku. Biasanya mereka merintih minta ampun atau
menyembah-nyembah meng-harap obat pemusnahku. Ada pula yang menangis
menggerung-gerung. Yang ber-kepala batu paling tidak mencaci maki
habis-habisan. Tapi mendengar dan menyaksikan betapa engkau begitu tegas,
gagah dan bisa berlaku tenang menghadapi saat ajalmu, sungguh aku kagum
luar biasa."
"Hm...." Wirapati mendengus. "Siapakah sebenarnya namamu dan apakah
hubungan-nya dengan Pangeran Bumi Gede? Apakah dia saudara seperguruanmu
atau majikanmu?"
"Ah, aku hanya seorang perantau tiada bernama. Apa perlu memperkenalkan
nama segala. Lagi pula guna faedahnya tiada. Sebentar lagi, kau akan
menjenakkan napas-mu yang penghabisan di tempat begini asing. Masakan
saudara-saudara seperguruanmu akan mengerti sebab musababnya? Meskipun
gurumu seorang sakti tiada bandingannya pada zaman ini....
hm.... hm.... jangan harap dia dapat mencari daku."
Sementara itu, seluruh tubuh Wirapati telah mulai kaku. la merasa kesakitan
luar biasa, karena seolah-olah tertusuk ribuan jarum dari dalam. Diam-diam
ia berpikir, hari ini rupanya telah menjadi takdirku aku mati di sini.
Baiklah jika aku mati, biarlah mati berbareng.
Memperoleh pikiran demikian, matanya mengerling kepada belahan daun pintu
yang tergeletak tak jauh didepannya. Tatkala itu, mendadak saja munculan
empat orang laki-laki dari samping rumah. Siapa lagi kalau bukan
Malangyuda, Panji Pengalasan, orang di tengah jembatan dan si tukang
pancing. Kemudian muncul lagi empat orang yang tadi tergantung dipendapa.
Terang sekali semua-nya itu adalah rangkaian permainan yang sudah diatur
sebelumnya dengan rapi. Munculnya mereka seolah-olah telah yakin, bahwa
Wirapati sebentar lagi akan berangkat pulang ke alam baka. Pandangan mata
mereka tenang-tenang saja seakan-akan tiada kesan tertentu.
Melihat mereka, Wirapati terus saja me-nyambar daun pintu. Kemudian
menimpuk-kan sambil menghantam sekuat tenaga. Se-rangannya kali ini
membersit dari suatu kesadaran bahwa tiada jalan lain lagi hendak
mengelakkan malapetaka. Maka tenaga yang dilontarkan adalah tenaga
penghabisan sese-orang yang tengah menghadapi saat ajalnya. Hebatnya luar
biasa dan serba tangkas diluar dugaan.
Karena serangan mendadak ini, mereka semua terperanjat sampai memekik.
Orang yang tengah mengamat-amati pusaka Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram
itu seperti terpaku di tanah. Ingatannya seperti kosong dari segala
menghadapi serangan maut. Tatkala teringat akan keris pusaka, buru-buru ia
mencoba menangkis. Tetapi kasep. Daun pintu dan gempuran Wirapati telah
tiba berturut-turut. Diam-diam ia mengeluh bakal mampus seketika itu juga.
Sekonyong-konyong gadanya tertolak ke samping. Ternyata salah seorang
kawannya berani mengorbankan diri dengan menubruknya ke samping.
Meskipun ia terluput dari timpukan daun pintu tetapi hantaman Wirapati
mengenai juga perutnya. Seketika itu juga, ia terjungkal. Tetapi racun di
dalam dirinya kian bergolak. Penglihatannya makin lama makin kabur.
Remang-remang ia melihat teman-teman orang itu. Mereka mengepung dari
samping. Segera ia menjejak kaki hendak mengirimkan gempuran. Tak terduga,
tenaganya seperti ter-lolosi. Dengan lemas lunglai kakinya menekuk ke
tanah. Penglihatannya terus menjadi gelap. Pada saat itu ia jadi tak
sadarkan diri!
"Bangsat! Bangsat! Bunuhlah!" Terdengar jerit melengking. Itulah jerit
orang yang kena hantaman Wirapati. Setelah sadar dari pingsannya, dengan
melambung setinggi leher. Ia hendak bangkit, tetapi tenaganya punah.
"Tenangkan! Tenangkan! Meskipun susah kita memukulnya dia akan mati
sendiri," sahut Panji Pengalasan. "Sekarang apakah yang akan kita lakukan!"
"Mengapa bersusah payah memikirkan yang bukan-bukan. Bawalah dia kembali ke
gunungnya. Kita letakkan mayatnya di kaki gunung. Dengan begitu ia kan mati
merem di alam baka," sahut yang lain. Dialah si tukang pancing yang kena
dipentalkan Wirapati sam-pai tercebur ke dalam rawa.
"Nanti dahulu!" teriak Malangyuda. "Dia pernah menghantam dadaku di depan
warung. Terpaksalah aku menelan kekalahan itu demi rencana kita. Kini,
biarlah aku mematahkan tulang-tulangnya sebelum masuk kubur.
Saat itu, perlahan-lahan Wirapati mulai sadar kembali karena kekuatan
jasmaniahnya. Mendadak saja, lengannya terasa diringkus orang. Krak! Krak!
Lengan dan kakinya dipatahkan, la hendak menjerit kesakitan, tetapi
mulutnya terbungkam. Ternyata ia telah menjadi bisu karena racun. Dan
kembali ia pingsan tak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya.
Demikianlah maka apa yang terjadi tiada tiada dapat diingatnya kembali.
Pada ke-esokkan harinya, tatkala Sangaji turun gunung hendak menyusulnya,
tubuhnya diketemukan di tepi jalan dekat kaki Gunung Damar. Betapa terkejut
Sangaji tak terperikan. Cepat ia dibungkuki. Dibalik tubuhnya yang telah
menjadi dingin, lapat-lapat terdengar detak jantungnya.
"Guru....! Guru....! Siapa yang menyiksamu?" jerit Sangaji.
Dengan hati berdebar tak karuan. Sangaji terus memapahnya. Wajah Wirapati
nampak pucat. Matanya terpejam. Ruas-ruas tulangnya berlumuran darah.
"Guru! Lihatlah.... Aku Sangaji.... murid-mu...." teriak Sangaji pilu.
Gugup pemuda itu terus lompat ke atas kudanya dan melarikan sepesat angin
menuju ke gunung.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar