10.18.2019

@bende mataram@ Bagian 235

@bende mataram@
Bagian 235


"Hi ha ha... di seluruh jagad ini siapakah yang tak mengenal nama murid
keempat Kyai Kasan Kesambi? Semenjak berada di selatan Magelang, bukankah
kita telah pernah berte-mu?"


Mendengar jawaban orang itu, keragu-raguan Wirapati hilang sekaligus. Kini
timbulan rasa gusarnya, karena sadar lagi dipermainkan orang-orang
tertentu. Maka ia membentak, "Bagus! Kiranya Tuan yang berpura-pura menjual
makanan di kedai dahulu. Mengapa Tuan tidak meracuni aku saja. Bukankah
lebih gampang?"


"Hm... perbuatan demikian, bukanlah layak seorang ksatria. Tetapi andaikata
engkau kepingin kuracuni, itu bukanlah suatu peker-jaan yang sukar.
Bukankah engkau tadi habis menolong seorang tak berguna yang kugan-tung di
luar? Nah, seluruh pakaiannya telah kulumuri racun. Ha-ha-ha..."


Wirapati terperanjat bukan kepalang. Sekaligus tahulah dia, bahwa dia lagi
meng-hadapi musuh yang bisa bedaku keji. Diam-diam ia mengerahkan tenaga
gendam untuk menolak racun, sambil membentak, "Selamanya kita tak pernah
bermusuhan, apa sebab tiba-tiba kau bisa berlaku begini keji? Siapakah namamu?"


"Kami bukan sanak bukan kadang. Juga tiada mempunyai dendam atau berniat
memusuhi. Aku hanya menghendaki agar keris dan bende yang kau bawa itu,
letakkan saja di tanah. Segera engkau akan kuberi obat pemusnahnya."


"Hm... apakah kedua pusaka ini milikmu?"


"Bukan! Bukan!" sahut orang itu cepat. "Tetapi siapakah yang tak ingin
memiliki kedua pusaka wasiat itu?"


"Tepat ucapanmu. Karena itu, sesudah kedua pusaka wasiat berada di
tanganku... akan kubawa dahulu ke gunung. Aku merasa bodoh dan kurang
pengalaman. Biarlah guru sendiri yang akan memutuskan."


Orang yang berada di dalam kemudian berkata lagi tetapi suaranya kurang
jelas. Terdengar gumamnya, "... namaku... tentang pusaka itu..."


"Kau berkata apa?" Wirapati menajamkan telinga sambil maju memasuki ambang
pintu. Pada saat itu, tiba-tiba seluruh tubuh


Wirapati terasa gatal dan sakit seperti tergigit semut merah. Ia menyangka
hanya rasa gatal lumrah. Maka sambil menggaruk ia berkata menegaskan.
"Sudah berpuluh nyawa yang melayang ke dunia akhirat semata-mata kare-na
dua pusaka itu. Cukuplah sudah, orang saling membunuh dan mendendam. Kini
harus kupersembahkan dahulu kepada guru. Pada saat ini, mungkin guru tengah
menerima kunjungan tamu-tamu dari berbagai daerah. Silakan kau datang saja.
Siapa tahu, kaulah yang kejatuhan rejeki."


Terdengar orang di dalam mendengus dan berkata, "Nama perguruan Gunung
Damar terlalu menakutkan aku. Lagi pula engkau telah kena senjata racunku.
Lekaslah letakkan kedua pusaka itu ke tanah dan aku akan segera
menghaturkan obat pemusnahnya."


Mendengar orang itu mengulangi istilah racun untuk yang kedua kalinya,
Wirapati kini benar-benar menaruh perhatian. Gugup ia meraba bagian
tubuhnya yang terasa gatal. Mendadak rasa gatal itu berubah menjadi pegal
nyeri. Apakah aku telah kena racun! pi-kirnya. Tak terasa ia menoleh ke
arah orang yang ditolongnya. Betapa kagetnya, karena baik orang yang
ditolong maupun yang tergan-tung tadi, telah lenyap tiada bekasnya.


"Ah!" Wirapati tiba-tiba sadar. "Rupanya sewaktu aku lagi membongkar pintu
dan terli-bat dalam percakapan, mereka telah menghi-lang dengan diam-diam."


Maka timbullah gusarnya. Terus saja mem-bentak, "Kauhilang, aku kena racun?"


"Hi ha ha... kematian telah mengambang di depan hidungmu, namun belum juga
sadar? Sewaktu kau kupancing dengan suara lapat-Iapat, bukankah kau maju
selangkah memasuki ambang pintu? Nah... memang racunku bukan sembarang
racun. Itulah racun yang pernah kau kenal dua belas tahun yang lalu.
Meskipun berbeda, tapi cara kerjanya setali tiga uang.


Diingatkan pada racun Pangeran Bumi Gede yang menghabisi nyawa Gandi dan
Wayan Suage, mendidihlah darahnya. Tetapi kini badan sendiri kena racun itu
pula, diam-diam ia mengeluh dalam hati. la kenal cara kerja racun tersebut
amat jahat. Meskipun racun yang mengenai dirinya ini agak berbeda, tetapi
yakinlah dia bahwa tiada jalan lain kecuali merampas obat pemusnahnya. Maka
setelah mengambil keputusan demikian, segera ia bersiaga. Di dalam rumah
nampak remang-remang, bahkan agak gelap. Tak peduli mungkin ada jebakan
lain, cepat-cepat ia melindungi mukanya dengan tangan kiri sedangkan
dadanya dilindungi dengan tangan kanan. Kemudian melesat masuk ke dalam
rumah sambil melontarkan serangan.


"Jahanam! Apakah engkau sanak Pangeran Bumi Gede sampai memiliki racun keji
pula?" bentaknya.


Belum lagi dia berdiri tegak, dari balik pintu terdengar angin menyambar.
Cepat ia memba-likkan tangan dan menghantam dengan seku-at tenaga. Plak!
Dua tangan beradu dengan dahsyat dan kedua-duanya tergetar mundur selangkah.


Wirapati kaget, karena tangannya terasa pedih. Ternyata ia kena suatu tipu
licik. Tangannya tercocok paku-paku tajam. Terang sekali musuhnya
menyongsong pukulannya dengan menjepit paku-paku beracun diantara
jari-jarinya. Keruan saja, Wirapati menggeram karena marah. Diam-diam ia
heran pula apa sebab musuh yang ternyata setanding kuatnya menggunakan tipu
serendah demikian.


Sementara itu terdengar orang itu berkata dengan lemah-lembut. "Saudara!
Gntuk ketiga kalinya, engkau kena racunku. Racunku kali ini terbuat dari
duri-duri Rukem. Meskipun andaikata engkau kebal dari senjata, tetapi
apabila kena tercocok duri Rukem pasti akan keracunan. Tenagamu luar biasa
hebat. Aku kagum! Benar-benar kagum! Tapi sayang, umurmu takkan bisa tahan
sampai matahari tenggelam. Nah, letakkan kedua pusaka itu ke tanah. Segera
akan kuberikan obat pemusnahnya."


Karena geram dan mendongkol, Wirapati menghunus keris pusaka Kyai
Tunggulmanik dan terus menyerang dengan sekuat tenaga. Orang itu dengan
gugup menangkis serangan Wirapati dengan tongkat besi panjang bekas palang
pintu. Tetapi begitu kena keris Tunggulmanik, mendadak saja terpotong
menjadi dua seperti terajang.


Baik Wirapati maupun orang itu terkejut sampai memekik tertahan. Wirapati
tak men-duga, bahwa keris yang nampak tak menarik sama sekali mempunyai
ketajaman dan tena-ga kuat luar biasa. Sedangkan orang itu heran tak
kepalang, bahwa tongkat besinya kena terpotong begitu mudah.


Memperoleh kepercayaan baru, Wirapati segera menyerang kalang-kabut seperti
ban-teng terluka. Orang itu jadi kelabakan. Karena di dalam rumah merasa
terjepit terpaksalah dia melompat keluar dan berdiri tegak di pendapa.
Tetapi belum lagi dia bersiaga, serangan Wirapati datang bertubi-tubi.
Gugup ia menyambar daun pintu yang telah runtuh menangkis serangan Wirapati
sejadi-jadinya. Juga tak mampu menahan ketajaman keris Kyai Tunggulmanik.
Begitu kena babatan, terus saja somplak menjadi dua potong. Cepat-cepat
orang itu melesat mundur sambil berteriak. "Kau sayang nyawamu ataukah
keris itu? Kalau kau sayang keris itu akan kutinggal bersembunyi. Sebentar
sore, bukankah engkau telah menjadi bangkai."


"Baik! Kau beri obat pemusnah racunmu yang keji ini. Kuserahkan keris Kyai
Tunggulmanik,"




sahut Wirapati. Kini seluruh tubuhnya mulai terasa nyeri luar biasa dan
gatal. Tahulah dia, racun sudah bekerja. Tentang keris itu. Apabila racun
terpunahkan masakan takkan dapat merebut kembali?" Tak terduga orang itu
berkata lagi, "letakkan pula Bende Mataram! Masakan aku akan kena


kaukecohi?"


Terpaksa pulalah Wirapati meletakkan pusaka Bende Mataram ke tanah di dekat
keris Kyai Tunggulmanik. Orang itu sangat girang dan dengan cepat
mengambilnya, la menciumi dan mengusap-usap tiada henti. Dan sampai lama
tak mengeluarkan obat pemusnah.


Lambat tapi pasti, kaki Wirapati telah menjadi kaku. Maka dia menegur.


"Hai... katanya engkau akan memberi obat pemusnah, manakala telah
kuserahkan kedua pusaka itu."


Mendengar teguran Wirapati, orang itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak
seolah-olah lagi mendengarkan suatu cerita yang kocak. Kemudian berkata,
"Ahahaaa... kauhilang apa?"


"Aku menagih janjimu. Di manakah obat pemusnahnya? Nah, apakah yang lucu?"
Wirapati mendongkol sambil menahan rasa nyerinya.


"Hoho... hihaho..." kembali orang itu tertawa terbahak-bahak. Sambil
menuding hidung Wirapati dia berkata: "Sungguh tak terduga, bahwa murid
Kyai Kasan Kesambi yang terkenal jempolan ternyata tolol tiada berotak. Hm,
hm... mengapa kau begini tolol menye-rahkan kedua pusaka sebelum aku
menye-rahkan obat pemusnah terlebih dahulu?"


"Seorang ksatria sejati manakala sudah berkata, masakan akan menjilat
kembali ludahnya? Aku sudah setuju hendak menukar obat pemusnah dengan
kedua pusaka ini, betapa aku akan mungkir janji? Kauberikan terlebih dahulu
atau tidak kukira tiada beda."


"Jika kau tetap memegang keris pusaka dan wasiat Benda Mataram ini betapa
pun juga aku takut padamu. Tapi kini, kedua pusaka ini telah berada di
tanganku. Masakan masih perlu menukar dengan obat pemusnah segala?"


Seketika itu juga mendidihlah darah Wirapati. la heran, selama hidupnya
belum pernah bermusuhan dengan orang itu. la per-caya juga,
saudara-seperguruannya pun tidak pernah bermusuhan. Sebab apabila pernah
bentrok, pastilah dia sudah pernah mendengar. Karena murid Kyai Kasan
Kesambi selalu melaporkan sepak terjangnya apabila turun gunung.


"Saudara! Ilmumu tidak rendah. Tampang-mu seorang ksatria. Aku tak percaya
engkau bisa berlaku rendah seperti orang tak terna-ma," kata Wirapati masih
menyabarkan diri.


Orang itu seperti tak menghiraukan. Berkata acuh tak acuh. "Wirapati
baiklah kuterangkan padamu tentang kasiat racunku. Kau tadi kena racun tiga
kali berturut-turut. Yang penghabisan kali adalah jenis racun terlalu
jahat. Selain duri Rukem sangat beracun, ujungnya kulumuri pula dengan bisa
ular. Karena itu dalam waktu 12 jam, seluruh dagingmu akan menjadi busuk
dan rontok. Sebentar lagi kau akan lumpuh. Malahan kau akan menjadi orang
yang bisu dan pekak. Kecuali obat pemusnah dariku, tiada obat pemusnah lain
di seluruh dunia ini yang akan kautemukan. Baiklah, andaikata aku
menyerahkan juga obat pemusnah, paling-paling aku hanya bisa menolong
nyawamu. Tapi ilmu saktimu akan lenyap seperti kotoran tersapu air. Hm...
sayang, sayang... agaknya aku pun enggan menyerahkan obat pemusnah.
Bukankah tiada guna? Apakah artinya hidup dengan menanggung cacat
jasmaniah? Kukira lebih baik kau mati sajalah."


Wirapati terhenyak sejenak. Kamudian menjawab tegas.


"Mati dan hidup seorang ksatria tergantung kepada takdir lllahi belaka. Aku
Wirapati murid keempat Kyai Kesambi selamnya dididik menjadi seorang
laki-laki yang bersikap terus terang tanpa main licik dan menodong dari
belakang punggung. Meskipun kini aku ter-paksa mati ditangan manusia
berbudi rendah, masakan aku harus menyesal atau takut?"




Mendengar ucapan Wirapati yang gagah dan tegas itu, mau tak mau orang itu
tercegang sejenak. Kemudian dengan mengacungkan jempolnya, dia berkata
lemah-lembut seperti seorang sahabat lama.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar