@bende mataram@
Bagian 232
Gugup ia menepi dan dengan tangan bergemetaran karena dingin air dan
jantung berdegupan, ia mencoba mengamat-amati.
Hm, ia menghela napas. Tak lebih dan tak kurang adalah benda lumrah.
Alangkah gila manusia-manusia yang begitu mati-matian saling memperebutkan
sampai tak menya-yangkan nyawa sendiri. Apakah yang menarik? Aha...
barangkali dongeng kekeramat-annya yang dibesar-besarkan. Tetapi aneh
mengapa guru berdiam diri pula sewaktu aku memaparkan riwayat perjalananku
dua belas tahun yang lalu yang menyangkut pula riwayat perebutan benda itu?
Selagi dia berpikir pulang balik, sekonyong-konyong ia merasa seperti
dihampiri sesuatu. Cepat ia menoleh sambil melompat ke depan. Tapi
sekitarnya sunyi senyap. Tiada bayangan sekelumit pun nampak di depan
hidungnya, kecuali bayangannya sendiri. Katanya bergumam dalam mulutnya.
"Aku pun jadi gila. Mengapa blingsatan tanpa alasan?" Segera ia mengenakan
pakaian dan mengeluarkan goni penyimpan kedua pusaka tersebut yang sudah
disediakan ter-lebih dahulu. Kemudian berkata lagi seperti menasehati
dirinya sendiri.
Betapa pun juga, benda ini sudah menjadi pembicaraan ramai. Mereka bersedia
mengor-bankan nyawa demi benda ini. Entah mereka yang bodoh atau aku yang
goblok, baiklah aku berhati-hati menjaga diri. Siapa tahu, mungkinpula
terekam suatu rahasia sebenarnya di balik benda ini....
Memperoleh pikiran demikian segera ia bersiaga. Keris Panubiru yang disebut
pula dengan nama Kyai Tunggulmanik disisipkan di balik bajunya. Sedang Kyai
Bende Mataram dibungkus ringkas-ringkas ke dalam karung-nya. Setelah diikat
dengan tali, ia meng-gantungkan di pinggang mirip seorang kelana menangsal
bekalnya dalam perjalanan jauh.
Waktu itu musim kering. Meskipun malam hari, seluruh alam menyebarkan hawa
panas. Angin meniup di tengah jalan, keringatnya merembes tiada hentinya.
Tetapi oleh keringanan hati dan rasa tegar hendak cepat-cepat mencapai
perguruan Gunung Damar, hawa panas dan rasa lelah tak diin-dahkan, seluruh
pojok benaknya dipenuhi oleh peristiwa penemuan kembali pusaka Bende
Mataram yang dibawanya. Pikirnya, semua orang menunggu aku. Siapa mengira,
tiba-tiba hari ini aku menjadi manusia begini penting..., memikir demikian,
ia geli sendiri.
Tentang riwayat kedua pusaka yang dibawanya itu bagi dia tiada asing lagi.
Sebagai penduduk Gunung Damar yang berdekatan dengan Desa Loano, ia kenal
riwayatnya. Riwayat pusaka tersebut sudah menjadi do-ngeng rakyat yang
tersebar dari mulut ke mulut. Dahulu gurunya pun seringkali mem-bicarakan.
Tetapi sebagai seorang muda, sama sekali ia tak tertarik. Cerita itu tak
lebih dan tak kurang hanya merupakan dongeng khayal belaka. Sebaliknya,
pengasuhnya yang bernama Wirasimin menganggap dongengan itu sebagai suatu
peristiwa bersejarah yang terjadi dengan sungguh-sungguh. Nyatanya, pada
hari itu dia membawa pulang juga kedua pusaka Bende Mataram itu. Entah
kedua pusaka tersebut adalah benar, kedua pusaka Bende Mataram yang
diberikan patih Lowo Ijo ) entah tidak, tiada seorangpun dapat menjadi
saksinya.
Yang terang, kini menjadi bahan perebutan hampir semua ksatria di seluruh
Pulau Jawa. Maka teringatlah dia akan tembang Dan-danggula yang sering
dinyanyikan Wirasimin pada malam sunyi apabila pengasuhnya itu hendak
menghibur diri. Di antara deretan tembangnya terdapat sebuah bait yang
menyinggung tentang adegan Bende Mataram dan Lowo Ijo. Bunyinya begini,
Mangkya Bende Mataram ji Mring patih Lawa Ijo sabda Sun jarivani glis
marene Jenengsira insun utus Hanyekel maling aguna sekti Pangeran
Joyokusumo Ya kongsi keleru Sun bektani pusaka Jawa Jala lawan Tunggulmanik
Sarta Bende Mataram....
Alih bahasa
Segera Bende Mataram Bersabda kepada patih Lawa Ijo Mendekatlah
kuperintahkan padamu Hendaklah kau tangkap maling sakti Pangeran Joyokusumo
namanya Jangan sampai luput Kusertakan pusaka Jawa Jala dan Tunggulmanik
Serta Bende Mataram....
Lewat larut malam, ia menemukan sebuah gubuk. Di sana dia menginap.
Keesokan hari-nya, setelah membersihkan badan, ia melan-jutkan perjalanan.
Waktu itu, barulah dia merasa lapar benar-benar, setelah memeras tenaga
hampir dua hari dua malam. Maka bergegaslah ia mencari kedai hendak mengisi
perut. Tapi sampai matahari sepenggalan tingginya, belum juga ia menjumpai
sebuah kedai. Baru setelah matahari mencapai titik tengah, ia melihat
sebuah kedai di kejauhan.
Kedai itu berada di persimpangan jalan yang sunyi. Dindingnya terbuat dari
dinding rong-sokan dan hitam lekam bekas kena angus. Tatkala ia memasuki,
ternyata di dalamnya terdapat lima pengunjung. Pemilik kedainya seorang
laki-laki setengah umur. Sikapnya dingin, wajahnya kuyu dan seperti
seseorang yang telah lama kehilangan semangat, la duduk berdiam diri,
menunggu kelima tamunya yang sekali-kali berbicara sambil meng-gerumuti
penganan.
Dengan sedikit membungkuk, ia duduk di atas bangku bambu dan memesan
secangkir kopi dan sepiring nasi. Penganan yang berada di depannya terdiri
dari ketela rebus, goreng pisang dan tempe goreng. Meskipun penganan murah,
tetapi pada saat itu ia lapar bukan main. Maka terus saja dia menyambar
tempe goreng dan ketela rebus sekaligus.
Selagi dia menggerumuti hidangan murahan itu, mendadak terdengarlah suara
ribut-ribut di kejauhan. Tetamu lainnya terus saja melompat ke luar
menjenguk jalan.
"Hai! Orang gila!" teriaknya agak gugup.
Tak lama kemudian munculah seorang laki-laki tegap berlumuran darah.
Tangannya mencekam sebatang kapak besar dan mengo-bat-abitkannya ke udara
dengan serabutan.
Laki-laki itu bercambang dan berbewok tak terurus. Sikapnya gagah dan
tangkas. Tetapi sinar matanya agak guram. Gerak-geriknya seperti orang
kurang waras. Suatu tanda bahwa dia gila.
Dengan mengernyitkan dahi, Wirapati mengamat-amati kapak raksasa yang
digeng-gam orang itu. Kapak itu terbuat dari baja murni. Berat, tetapi bisa
digerakkan oleh perge-langan tangan begitu teratur dan tangkas. Terang
sekali, orang gila itu bertenaga besar dan berkepandaian bukan sembarang.
la mencoba mengingat-ingat bentuk tubuh laki-laki itu. Sepasang ingatannya,
belum per-nah gurunya memperkenalkan seorang tokoh yang bersenjatakan kapak
raksasa. Pikirnya, tetapi ilmu kapaknya begini hebat. Penjagaan diri rapat
dan kesiur anginnya bukan kepalang kerasnya. Mengapa guru belum pernah
mem-perkenalkan tokoh ini? Apakah karena dia dianggap gila, sehingga tak
bisa digolongkan ke dalam deretan ksatria-ksatria atau seorang pendekar?
Dalam pada itu, laki-laki itu memutar kapaknya kian kalang-kabut sambil
berteri-ak-teriak dahsyat. Katanya dengan suara parau, "Hai cepat! Cepat!
Laporkan kepada Gusti Pangeran...
musuh telah tiba!"
Karena sikapnya galak, orang-orang kam-pung dan bocah-bocah yang
menguntitnya dari jauh jadi gentar hati. Setengahnya ada yang sudah
bersiaga melarikan diri. Tamu-tamu warung, lari berderai pula dengan
melompat-lompat tinggi seperti seseorang kemasukan kelabang dalan pipa
celananya.
Dengan penuh perhatian, Wirapati menga-mat-amati wajah orang itu. Wajahnya
mem-bayangkan suatu kecemasan, seolah-olah menghadapi sesuatu yang
menakutkan. Meskipun
permainan kapaknya masih gencar, tetapi tangannya sudah nampak kendur.
Dengan terengah-engah, orang itu berteriak sambil mempertahankan diri.
"Adikku Panji Pangalasan, cepatlah engkau mengundurkan diri! Jangan
hiraukan aku! Biarlah Malangyuda menghadapi dia seorang diri! Lebih baik,
cepatlah engkau memberi kabar kepada Gusti Pangeran!"
"Agaknya orang ini bernama Malangyuda dan begitu setia menghamba kepada
majikan-nya yang disebut gelarnya. Siapakah nama majikannya? Sungguh
mengagumkan kesetia-annya. Seseorang yang sudah nampak luka dalam tubuh
masih begini gerak mengobat-abitkan senjatanya. Apabila bukan seorang hamba
yang setia, masakan sudi menyakiti diri sendiri, pikir Wirapati. Karena
terdorong rasa kagum dan rasa hormat, tanpa memikir diri sendiri Wirapati
terus melompat ke luar kedai sambil menggapai, "Saudara Malangyuda! Mari
kita mengaso barang sebentar, menghirup teh. Tenaga yang berlebih-lebihan
akan membuat lukamu semakin parah!"
Mendengar seruan Wirapati, orang itu lantas saja memelototi seraya membentak.
"Jahanam begundal Pangeran Bumi Gede! Kau mau merobohkan aku? Ha, jangan
mimpi! Awas, sekali kau berani menyinggung Gusti Pangeran, aku akan mengadu
nyawa dengan-mu. Hayo enyah, kau keparat!" Dan setelah membentak demikian,
kapaknya terus saja diputar dan menyerang dahsyat.
Keruan saja orang-orang melihat sepak ter-jang si gila, menjerit ketakutan.
Wirapati sendiri terkesiap hatinya. Pikirnya cepat, terang sekali otaknya
kurang waras! Dia menyinggung nama Pangeran Bumi Gede. Aku dikira
begundalnya. Apakah majikannya bermusuhan dengan Pangeran jahanam itu?
Baiklah kutolong dahulu orang ini. Siapa tahu aku bisa memperoleh
keterangan yang ber-harga...
Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia bersiaga. Menghadapi serangan si
gila yang serabutan, dia bukannya mundur malahan maju. Dengan gesit ia
menghindari sabetan kapak. Ternyata si gila bisa bergerak dengan gesit dan
tangkas pula. Mendadak saja, begitu sabetannya luput terus saja diputar
untuk menyodok perut.
Untung, Wirapati bukanlah seorang jago murahan. Menghadapi serangan tak
terduga, luar biasa cepatnya tangannya melipat mene-robos lengan si gila.
Tahu-tahu ia telah berhasil menusuk dada. Seketika itu juga, tubuh
Malangyuda tergetar. Memang tenaganya sudah hampir habis seper-ti dian
nyaris kehabisan minyak. Maka begitu kena pukulan Wirapati yang disertai
tenaga gendam kedua, lengannya serasa menjadi lumpuh. Dengan lunglai
lengannya terkulai ke samping dan kapak jatuh bergerontangan ke tanah.
Wirapati terus memeluknya dan dibawa masuk ke dalam kedai. Dengan ramah ia
berkata, "Mari kita minum teh dahulu! Saudara sangat lelah."
Malangyuda sudah punah tenaganya, na-mun dia pantang menyerah. Dengan mata
melotot ia membentak. "Kau siapa?... Kau begundal Pangeran Bumi Gede atau
bukan?"
Memperoleh pertanyaan demikian, Wirapati sulit juga untuk segera menjawab.
Apabila menjawab bukan, bagaimana ia harus mem-buktikan. Tetapi pada detik
itu, ia menjawab untung-untungan.
"Aku seorang perantau. Aku bukan begundal Pangeran Bumi Gede."
"Hm... kau bilang kau bukan begundal Pangeran Bumi Gede. Apakah kau kenal
bangsat itu?" Malangyuda tetap bercuriga.
"Aku kenal padanya. Dia memang seorang bangsat. Karena itu, kita adalah
kawan seper-juangan."
Malangyuda nampak ragu-ragu. Pandangnya penuh selidik. Sejenak kemudian
bertanya: "Di manakah Pangeran Bumi Gede kini berada?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar