10.16.2019

@bende mataram@ Bagian 231

@bende mataram@
Bagian 231


SETELAH diamat-amati, ternyata darah itu merembes dari tiap tulang sambung.
Benar-benar mengerikan dan benar-benar kejam siksaan itu. Siapakah yang
telah melukai Wirapati demikian hebat? Wirapati bukanlah tokoh sembarangan.
Kalau hanya berhadapan dengan salah seorang anak murid Resi Buddha Wisnu,
takkan gampang-gampang bisa terlukai. Karena itu dugaan Sangaji bahwa dia
kena pukulan dari belakang punggung bisa diterima.


"Siapakah yang melukai gurumu? Bagai-mana gurumu kena hantaman dari
belakang?" teriak Suryaningrat gugup.


Sangaji hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menjawab tak lancar.
"Aku... aku tak tahu. Guru kuketemukan sudah terbaring di tepi jalan..."


Setelah berkata demikian, ia terus menggeliat ke belakang. Ia jatuh pingsan
tak sadarkan diri. Hebat bagi Kyai Kasan Kesambi yang tengah merayakan hari
ulang tahunnya yang ke-83. Pertama-tama ia kebanjiran tetamu tak diundang.
Kedua, anak muridnya yang baru datang dari merantau selama 12 tahun,
tiba-tiba menderita luka berat. Siapakah yang melukainya barangkali
hanyalah setan yang tahu. Dan ini merupakan hadiah ulang tahunnya yang
takkan terlupakan sampai saat ajalnya.


Siapakah yang melukai Wirapati begitu kejam? Seminggu yang lampau setelah
mem-peroleh persetujuan sekalian saudara sepergu-ruannya, ia turun gunung
dengan berjalan kaki. Sampai menjelang tengah hari, ia tidak menjumpai
sesuatu yang menarik perhatian-nya. Tetapi tatkala melampaui Desa
Selatiyang dan di dekat persimpangan jalan Pesantren, mulailah ada
tanda-tanda yang mencurigakan.


Ia bersimpangan jalan dengan beberapa gerombol orang-orang luar daerah yang
ber-jalan berbondong-bondong sambil berbisik-bisik. Mendadak saja
teringatlah dia akan pengalamannya dua belas tahun yang lalu, sewaktu
bersua dengan anak buah sang Dewaresi dari Banyumas yang menyamar sebagai
rombongan penari.


Melihat gerak-gerik mereka, banyak di antaranya yang berkepandaian tinggi.
Mereka menuju ke selatan dengan wajah bersung-guh-sungguh. Apakah mereka
termasuk tamu-tamu Guru, pikirnya. Kemudian ia berkata kepada diri sendiri!
Jika benar-benar mereka tamu Guru, ah! Sungguh hebat! Guru bakal kebanjiran
tamu tak diharapkan.


Makin lama jumlah mereka makin banyak. Mereka datang dari tiga penjuru.
Timur, utara dan barat. Apabila mereka bersua dengan Wirapati, pandangnya
lantas saja berubah. Gntung di antara mereka belum ada yang mengenal
Wirapati. Meskipun demikian pra-sangkanya mencurigai pemuda itu seakan-akan
ada sangkut pautnya dengan kedatangan mereka di sekitar wilayah Loano.


Sekonyong-konyong dari arah utara ter-dengar derap kaki seekor kuda.
Kemudian se-ekor lagi dan seekor lagi. Tiga orang penung-gangnya
membalapkan kuda tunggangan mereka demikian menggila. Karena begitu cepat
larinya, orang-orang yang berjalan cepat-cepat menyibakkan diri. Ternyata
yang menunggang kuda, mengenakan pakaian mewah, mirip keluarga bangsawan.
Mereka tiada membawa senjata. Tetapi dilihat dari ketangkasannya, sekaligus




tahulah orang bahwa penunggangnya bukan orang lumrah. Pastilah mereka
berkepandaian tinggi.


"Ha... apakah mereka anak murid Resi Buddha Wisnu? Kalau mereka datang
juga, alangkah hebat!" seru seorang.


"Bukan! Bukan!" bantah temannya berjalan. "Anak murid Resi Buddha Wisnu
kabarnya selamanya belum pernah berkuda. Kutaksir mereka utusan Pangeran
Bumi Gede hendak menyampaikan bingkisan untuk si tua Kasan Kesambi."


Diam-diam Wirapati terkejut mendengar disebutnya nama gurunya, meskipun
tadi dia sudah menduga bahwa mereka akan datang sebagai tamu. Ia
lebih-lebih terkejut lagi, tatkala mendengar seseorang menyambung dengan
suara lantang dari seberang jalan,


"Hm, aku ingin tahu bagaimana sih tam-pangnya si bocah Wirapati yang
katanya mempunyai seorang murid yang mengetahui tempat beradanya pusaka
Bende Mataram."


Mendengar seru orang itu, tak terasa Wirapati menoleh. Ternyata orang itu
sudah berusia lanjut. Rambut dan kumisnya putih. Pandangnya kuyu, tetapi
wajahnya masih memantulkan semangat jantan.


Siapakah orang itu? Wirapati membatin. Mestinya bukan orang sembarangan.
Agaknya dia belum mengenal diriku.


"Hm, mereka datang untuk memperebutkan pusaka warisan Sangaji, dengan dalih
meng-antarkan bingkisan-bingkisan segala. Jangan harap."


Kalau menuruti kata hatinya, waktu itu juga ingin dia mendekati dan
memukulnya roboh. Tapi mengingat kepergiannya kali ini mem-punyai latar
belakang yang akan menentukan persoalan, maka cepat-cepat ia menguasai
diri. Kemudian berpikir sambil mempercepat langkah.


Melihat gerak-geriknya, ingin mereka mene-mui aku. Ah! Apakah tidak
sebaiknya, aku menyamar? Siapa tahu, di antara mereka ada yang mengenal
diriku."


Memperoleh pikiran demikian, segera ia hendak menyimpang jalan. Tangannya
sudah bergerak hendak mengawut-awut rambutnya. Mendadak ia berpikir lain,
selamanya anak murid Gunung Damar tidak pernah menyamar. Guru selalu
mengajarkan sikap terang-te-rangan. Biarlah aku dalam keadaan begini.
Mereka mau apa? Sekiranya mereka mengenal diriku, malah kebetulan. Masa aku
takut dipergoki?


Hatinya jadi mantap, setelah memperoleh keputusan. Bahkan dengan agak
membu-sungkan dada, ia meneruskan perjalanan menuju ke barat. Pandangnya
menyala-nyala seolah-olah menantang kepada semua yang hendak menantangnya.


Perjalanan pada dewasa itu masih sangat sukar. Jalan yang dilalui tidak
serata kini. Seberang menyeberang jalan masih berhutan lebat. Kadang-kadang
masih harus menye-berangi rawa-rawa dan sungai-sungai kecil. Itulah
sebabnya, Wirapati baru sampai di wi-layah Dusun Karangtinalang setelah
berjalan dua hari terus menerus tanpa berhenti.


Pada malam hari yang ketiga, ia mulai menyelidiki sekitar Kali Bregoto.
Kemudian terus berjalan menyusur tebingnya sampai di sebelah selatan Dusun
Jagong. Kebetulan waktu itu bulan terang, maka dia bisa mem-peroleh bantuan
dari alam. Meskipun demikian, sampai di dekat persimpangan jalan ke
Kuripan, belum juga ia memperoleh tanda-tanda yang menggembirakan. Ya waktu
itu dua belas tahun telah lewat. Agaknya semuanya sudah mengalami
perubahan. Tetapi yang benar, pada waktu itu dia tidak mengamati sekitar
tempat adu kekuatan melawan Ki Hajar Karangpandan.


Kira-kira menjelang larut malam, ia duduk melepaskan lelah di atas sebuah
gundukan. Pikirannya mulai bekerja keras untuk me-ngembalikan ingatannya
pada dua belas tahun yang lampau.


"Di manakah aku dahulu bertempur melawan Ki Hajar," ia sibuk menduga-duga.
"Terang sekali,


aku dahulu lari mengarah ke tenggara. Hm... apakah aku harus mulai dari
Karangtinalang!"


Mendadak saja teringatlah dia akan kata-kata penghabisan Wayan Suage yang
diucapkan lewat mulut Sangaji, bahwa hutan tempat pertempuran dahulu sudah
terbakar. Kemudian petak tanahnya dibangun menjadi sebuah dusun baru.
Teringat akan hal ini, seleret cahaya mulai bersinar dalam benaknya. Segera
ia bangkit dan mulai bekerja lagi dengan memandang kiblat.


Tatkala hari hampir menjelang pagi, barulah dia menemukan dusun baru itu.
la bersyukur dalam hati dan segera mendaki pohon untuk menunggu hari pagi
di balik mahkota daun-nya.


Keesokan harinya segera ia menyusur su-ngai yang melingkari dusun. Beberapa
waktu kemudian, ia merasa seperti pernah meram-bah daerah itu. Sepercik
harapan timbul dalam hatinya. Cepat ia menjenguk sungai. Dilihatnya sungai
itu berlumpur. Jantungnya lantas saja jadi berdegupan. Yakinlah dia,bahwa
itulah tempat beradanya almarhum Wayan Suage tatkala disembunyikan di bawah
pohon tembelekan yang kemudian terbakar habis. Gugup ia mengamat-amati
tebingnya. Sangaji berkata, bahwa tebing tempat menyimpan pusaka warisan
adalah tebing batu. Sedang tebing seberang menyeberang adalah tanah merah
belaka. Maka kembali lagi ia menyusuri tebing sungai ini. Mendadak saja
dalam benaknya berkelebat suatu ingatan.... kakinya buntung. Satu-satunya
jalan untuk menyelamatkan diri dari lautan api hanyalah menggulungkan diri
ke dalam sungai berlumpur. Lukanya pasti sangat menyakiti dirinya. Masakan
dia mampu merangkaki tebing, kemudian melarikan diri sejauh ini? Rasanya
tak mungkin. Apalagi dia dibebani benda. Ah! Pastilah dia hanya meraba-raba
tebing sejadi-jadinya. Lalu menemukan suatu tebing berbatu... lalu....


Bergegas ia kembali ke tempatnya semula. Begitu mengenal bagian sungai yang
berlum-pur, segera ia hendak meloncat. Mendadak teringatlah dia, bahwa
sekitar lembah belum diperiksanya. Bukankah dahulu dia pernah kepergok
laskar Pangeran Bumi Gede yang berjaga di sekitar sungai itu? Maka dengan
berlarian, ia memeriksa sekitar sungai sejauh lima pai. Setelah itu
beristirahat melepaskan lelah sampai matahari terbenam.


Pada malam harinya setelah mengisi perut, segera ia menanggalkan pakaian.
Kemudian mencebur ke dalam sungai dengan hati-hati. Tatkala kakinya mulai
meraba dasarnya, teringatlah dia kepada pengalamannya dua belas tahun yang
lalu. Lapat-lapat ia mengenal terjalnya dasar sungai yang penuh lumpur dan
batu-batu tajam. Segera ia meraba tebingnya dan menyusur. Dugaannya
ternyata benar. Tak lama kemudian ia menjumpai sesuatu tebing berbatu
licin. Sebenarnya adalah sebuah batu padas yang mencongakkan diri dari
dasar tebing. Hati-hati ia menggerayangi, ternyata batu itu merupakan suatu
permukaan belaka. Pada sisi bawahnya menjorok ke dalam dan merupakan suatu
gua yang cukup untuk didiami dua ekor bulus ).


Maka terpaksalah dia menyelam sambil ta-ngannya terus menggerayangi.
Manakala kepalanya tersembul di atas permukaan ter-nyata dia bisa bernapas.


Ah! Benar! Di sinilah tempat yang aman untuk menyembunyikan diri dari panas
api. Ternyata Wayan Suage bukan orang bodoh, la pandai mengambil tindakan
dengan cepat, pujinya dalam hati.


Mengingat akan bahaya binatang-binatang berbisa yang mungkin bersarang
dalam kubang air itu, ia balik kembali mengambil pedang pendeknya. Kali ini
berhasillah dia menggerayangi kubangan itu sampai ke dasarnya.
Perlahan-lahan ia menumbukkan pedangnya. Setelah memakan waktu beberapa
waktu lamanya, didengarnya suara benda memantul. Jantungnya lantas saja
berdegu-pan karena girang. Cepat ia menjenguk ke dalam. Begitu ia mengaduk
lumpurnya, segera munculah dua benda pusaka Bende Mataram yang sudah
beberapa tahun lamanya menjadi bahan perebutan. Selamanya belum pernah
sekali juga, Wirapati menjamah benda keramat tersebut. Dahulu se-waktu
menolong Wayan Suage, sama sekali tak tertarik hatinya. Bahkan memandangpun
tidak. Tapi kini setelah ikut menjenguk per-soalannya mendadak saja hatinya
tergetar. Dirinya terasa seolah-olah dekat dan ber-sangkut-paut dengan


benda itu.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar