@bende mataram@
Bagian 227
"Ujar Dimas Suryaningrat sedikit pun tak salah," sahut Bagus Kempong.
"Hanya saja kuusutkan agar Sangaji meninggalkan gunung. Mereka datang untuk
dia. Dengan hilangnya dia, tujuan mereka jadi sia-sia. Siapa tahu, mereka
lantas saling menyalahkan dan kemudian terbit suatu permusuhan. Dengan
demikian, darah kita ada harganya untuk kita percikkan di atas bumi."
Mendengar Bagus Kempong berkata demikian, Sangaji jadi terkejut. Terus saja
dia menyahut. "Paman! Manakala sekalian Paman tewas berlumuran darah,
masakan aku akan ngacir meninggalkan gunung? Meskipun aku bukan berasal
dari Gunung Damar, tetapi guruku diasuh di pertapaan ini."
"Anakku yang baik," tukas Suryaningrat, "ucapanmu, senang aku mendengarkan.
Tetapi engkau harus bisa berpikir lebih jauh. Jika engkau sampai tewas pula
di sini, siapa lagi yang akan membalaskan dendam kami?"
Sangaji tergugu mendengar kata-kata Sur-yaningrat. Memang dia pun tak
pandai berde-bat atau mengemukakan pikiran dengan ce-pat. Maka sekaligus
terbungkamlah mulutnya.
"Kangmas Bagus Kempong," kata Surya-ningrat sejurus kemudian, "aku
mempunyai akal untuk menghadapi mereka. Hanya saja terlalu keji dan berbahaya."
"Coba katakan, kudengarkan," perintah Bagus Kempong.
"Begini. Kita masing-masing mengincar seorang lawan tertentu. Sekali
gebrak, kita harus dapat menawannya dalam satu jurus. Dengan menawan
mereka, kawan-kawan mereka takkan sembarangan bergerak."
Bagus Kempong diam menimbang-nimbang. Pikirnya, sekali gebrak harus bisa
menawan? Kalau gagal, besar bahayanya...
"Kangmas Bagus Kempong, janganlah takut gagal" Suryaningrat seakan-akan
bisa mem-baca hati. "Biarlah kita menggunakan ilmu Pamekak Manikem!"
Mendengar Suryaningrat mengucapkan nama ilmu itu, sekujur badan Bagus
Kempong jadi meremang. Sangaji yang belum mengenal ilmu itu, jadi
keheran-heranan. Terus saja dia bertanya, "Ilmu apakah itu?"
Dengan beragu Suryaningrat memandang Bagus Kempong untuk minta
pertimbangan. Melihat Bagus Kempong masih saja diam ter-paku, lantas saja
dia berkata menerangkan.
"Anak Sangaji, sebenarnya ilmu Pamekak Manikem ini tak boleh kukabarkan
kepadamu. Tetapi menimbang, bahwa engkau termasuk golongan kami, biarlah
kuterangkan kepa-damu. Hanya saja, janganlah berharap bahwa salah seorang
dari kami akan mengajari. Sebab, ilmu tersebut sangat keji."
Sesungguhnya ilmu Pamekak Manikem tersebut adalah ciptaan Ranggajaya.
Gerakan-nya mencengkeram, menangkap dan menu-bruk. Ciptaan itu berdasarkan
ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi yang bernama, ilmu Pamekak Nyawa. Jurusnya
terdiri dari 14 macam. Dan merupakan ilmu perguruan Gunung Damar yang
berbahaya dan sangat hebat. Tetapi Ranggajaya yang berdarah muda, masih
pula menambahi dengan tujuh jurus. Tatkala dia memperlihatkan ilmu
cip-taannya kepada gurunya, ternyata hanya disambut dengan anggukan kecil
belaka.
Memperoleh kesan, bahwa gurunya hanya mengamini belaka, Ranggajaya mengira
bah-wa ilmu ciptaannya kurang sempurna. Maka dengan bertekun dia
memperlengkapi dan menguatkan titik-titik kelemahannya. Bebera-pa bulan
kemudian dia mempertunjukkan kembali di depan gurunya. Namun sekali lagi
Kyai Kasan Kesambi tidak begitu bersemangat
menyambut ciptaannya. Dengan menghela napas, orang tua itu berkata:
"Ranggajaya! Tujuh jurus ciptaanmu adalah jauh lebih berbahaya daripada
ilmu Pamekak Nyawa. Biarlah kunamakan Ilmu Pamekak Manikem. Hanya saja,
titik seranganmu mengarah pada ping-gang dan bawah perut. Siapa yang kena
kau-cengkeram, akan habislah keturunannya. Karena itu aku menamakan
Manikem. Apakah ilmu ciptaanku yang berterus terang, kurang cukup kuat,
sehingga engkau perlu membuat lawan tak bisa berkutik selama-lamanya?"
Keringat Ranggajaya terus saja merembes keluar setelah mendengar celaan
gurunya, la hendak membuang ilmu ciptaannya. Tetapi seminggu kemudian,
saudara-saudara seperguruannya dipanggil gurunya. Kata orang tua itu,
"Tujuh jurus ilmu ciptaan Ranggajaya adalah hasil karya tak mudah. Dengan
tak mengenal lelah, ia berusaha menciptakan suatu ilmu sebagai penambah
ilmu Pamekak Nyawa. Sebenarnya sangatlah sayang untuk dibuang dengan begitu
saja, karena ilmu ciptaannya itu akan merupakan ilmu tunggal dalam jagat
ini. Bolehlah kalian minta belajar kepadanya. Hanya saja, ilmu itu jangan
kalian pergunakan di sembarang tempat, apabila tiada terpaksa benar. Sebab
orang yang kena cengkeraman ilmu ciptaan Ranggajaya, akan hancur benih
keturunannya."
Gagak Handaka, Bagus Kempong, Wirapati dan Suryaningrat lalu mempelajari
ilmu terse-but dengan pedoman gurunya. Selamanya belum pernah mereka
menggunakan ilmu tersebut. Hari itu, keadaan sangat memaksa, maka
Suryaningrat teringat akan ilmu itu. Meskipun demikian, Bagus Kempong masih
beragu.
"Benar ilmu Pamekak Manikem akan meng-hancurkan bibit keturunan, tetapi aku
mempunyai akal. Kita pilih saja, mereka yang sudah tua, atau yang menjadi
pendeta."
Bagus Kempong tersenyum, sedang Sangaji lantas jadi ikut berpikir dengan
sibuknya. "Engkau sangat nakal dan pandai mencari akal," ujar Bagus Kempong
sejurus kemudian.
"Baiklah, apabila kita terjepit, atas usulmu akan kami lakukan jurus-jurus
ilmu Pamekak Manikem."
Setelah memperoleh keputusan, mereka berdua terus membisiki rencana itu
kepada Gagak Handaka dan Ranggajaya. Mereka berdua diam-diam terperanjat,
tetapi dengan diam-diam mereka mulai memilih sasaran juga. Hanya Sangaji
seorang yang tak dapat melakukan jurus-jurus ilmu Pamekak Mani-kem, karena
sama sekali buta. Tetapi dalam hatinya ia berjanji hendak berjuang sekuat
tenaga untuk mengusir bahaya.
Sehabis makan dan pelayan telah member-sihkan meja, Ranggajaya yang
menciptakan ilmu Pamekak Manikem jadi tak enak sendiri. Segera ia
mempersilakan Gagak Handaka untuk memperoleh pertimbangan. Katanya,
"Keadaan kita agaknya memang terjepit, sehingga mau tak mau kita harus
memikirkan menggunakan ilmu itu. Tetapi masakan ilmu sekejam itu terpaksa
digunakan pada hari ulang tahun guru yang ke-83? Bukankah akan mengotori
usia guru yang suci? Cobalah Kangmas carikan jalan yang lebih sempurna lagi!"
Memang dalam hati, Gagak Handaka beragu juga. Maka setelah merenung
sebentar suatu bayangan berkelebat dalam benaknya. Terus berkata,
"Ranggajaya! Bukankah Wirapati sudah satu minggu meninggalkan perguruan?"
Diingatkan tentang kepergian Wirapati, hati Ranggajaya tergerak. Segera ia
mengetahui maksud kakak seperguruannya. Ya, seumpa-ma Wirapati telah berada
diantara mereka, kesulitan ini akan dapat diselesaikan. Karena Wirapati
akan bisa memberi penjelasan. Apabila dia datang membawa pusaka Bende
Mataram, gurunya pun akan bisa bertindak bijaksana, suatu pertempuran bisa
dihindarkan dengan lebih gampang.
Cepat ia memanggil Bagus Kempong dan Suryaningrat. Lalu dikabarkan tentang
diri Wirapati yang sudah satu minggu belum pulang ke gunung.
"Andaikata Wirapati sudah berada di sini, tak usahlah kita berusah-payah
lagi. Apa pen-dapatmu kalau salah seorang di antara kita menyusul dia?"
Bagus Kempong dan Suryaningrat me-nyetujui pendapatnya. Hanya saja, siapa
yang harus menyusul, inilah soalnya. Mereka semua tak boleh meninggalkan
paseban, mengingat gawatnya suasana. Kecuali itu, mereka tak mengetahui
tempat tujuan Wirapati dengan sejelas-jelasnya. Satu-satunya orang yang
bisa menyusul Wirapati dengan cepat adalah Sangaji sendiri. Teringat akan
saran Bagus Kempong bahwa Sangaji harus meninggalkan gunung apabila nanti
terbit suatu pertempuran, Suryaningrat lantas berkata: "Baiknya anakku
Sangaji saja yang menyusul. Bukankah ini suatu alasan yang bagus pula untuk
menjauhkan dia dari persoalan gawat? Kita tak usah bercemas hati lagi
memikirkan keselamatannya. Demikian, kita bisa bertempur dengan lebih
tenang dan mantap."
Ranggajaya dan Bagus Kempong menyetujui pendapat itu. Maka Sangaji terus
saja dipanggilnya dan diperintahkan turun gunung menyusul Wirapati. Mereka
sendiri terus kembali ke paseban menemui tetamunya kembali.
Dalam pada itu, di paseban telah terjadi suatu perubahan. Gagak Handaka
yang sela-ma itu hanya bersikap membisu dan seolah-olah tiada pedulian atas
kehadiran para tetamu yang datang tiada diundang, seko-nyong-konyong
mengambil tindakan di luar dugaan. Dengan berdiri tegap, ia mem-bungkuk
tiga kali dan terus berkata nyaring.
"Tuan-tuan yang mulia, para sahabat perkenankan kami atas nama guru
meng-haturkan terima kasih atas kehadiran Tuan-tuan sekalian pada hari
ulang tahun ke-83 guru kami. Seluruh penghuni perguruan Gunung Damar amat
gembira dan berbesar hati. Hanya saja, sayang dalam pelayanan kami kurang
memuaskan dan terlalu sederhana. Untuk itu, kami mohon dimaafkan. Memang
kehadiran Tuan-tuan sekalian di luar dugaan kami. Guru sendiri, tiada
berencana memberi kabar kepada Tuan-tuan sekalian. Sebaliknya, kami pun
sadar bahwa kedatangan Tuan-tuan sekalian ini, kecuali hendak mengunjungi
hari ulang-tahun Guru, ingin pula mendengar kabar tentang diri adik kami
seperguruan Wirapati. Adik kami seperguruan Wirapati lenyap dari perguruan
selama 12 tahun. Dia datang dengan membawa kabar yang menggemparkan
Tuan-tuan sekalian. Yakni, membawa pusaka warisan Bende Mataram yang
semenjak zaman bahari sudah menjadi pembicaraan ramai dan menjadi bahan
perebutan pula. Sebenarnya, pada bulan depan kami akan mengundang Tuan-tuan
sekalian. Kemudian adik kami seperguruan Wirapati akan kami persilakan
untuk me-nerangkan tentang pusaka warisan tersebut. Karena itu, kedatangan
Tuan-tuan sekalian pada hari ini pasti akan kecewa. Betapa tidak?
Pertama kali, adik kami seperguruan belum bersiaga untuk memenuhi kehendak
Tuan-tuan sekalian. Kedua, kami semua mempersiapkan diri untuk mengatur
perjamuan tersebut. Baiklah kita mundurkan beberapa waktu dahulu, sementara
ini, untuk mengganti kekecewaan Tuan-tuan sekalian, kami semua bersedia
mengantarkan Tuan-tuan sekalian berkeliling menikmati pemandangan Gunung
Damar yang berdiri megah semenjak zaman dahulu di antara bukit-bukit Geger
Menjangan, Jambu dan Sundoro Sumbing."
Hebat kata-kata Gagak Handaka. Terdengar sederhana dan wajar, tetapi
sebenarnya lang-sung menikam tenggorokan mereka. Pertama secara tidak
langsung ia menegaskan, bahwa Kyai Kasan Kesambi dan sekalian anak-muridnya
sebenarnya sudah dapat menebak maksud mereka sesungguhnya di balik
bingkisan dan ucapan-ucapan selamat. Kedua, mencegah mereka memaksa
Wirapati menerangkan rahasia pusaka warisan Bende Mataram. Ketiga,
menitik-beratkan kepada arti hari ulang tahun. Karena itu apabila ada yang
membuat keruh akan berarti sengaja menerbitkan permusuhan. Dengan demikian
apabila anak-murid Kyai Kasan Kesambi mengambil tindakan, adalah wajar.
Seketika itu juga, para tetamu nampak gelisah. Nyatalah kini, bahwa
kedatangan mereka benar-benar bukan untuk mengucap-kan kata-kata selamat
hari ulang tahun kepada guru besar Kyai Kasan Kesambi, tetapi hendak
memperoleh keterangan tentang berita pusaka Bende Mataram. Meskipun mereka
tiada bersekutu, tetapi tujuan kedatangannya adalah sama. Hanya
saja mereka tak berani bertindak ceroboh, mengingat nama perguruan Kyai
Kasan Kesambi termasyhur di seluruh Nusantara. Masing-masing takut
menanggung akibatnya apabila dengan terang-terangan hendak menerbitkan
bibit permusuhan. Tetapi seumpama mereka seia-sekata dalam suatu tindakan,
rasanya ada juga yang berani tampil ke muka sebagai pembukaan jalan.
Maklumlah, jumlah mereka melebihi seratus orang. Masakan mereka tak bisa
merobohkan Kyai Kasan Kesambi dengan sekalian anak muridnya, andaikata
sampai terjadi suatu pertumpahan darah. Maka beberapa saat, mereka saling
memandang minta pertimbangan. Akhirnya, saling berbisik menyatakan gerutu
hatinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar