10.13.2019

@bende mataram@ Bagian 226

@bende mataram@
Bagian 226


Diam-diam Suryaningrat mengedepi Bagus Kempong agar masuk ke dalam kamar.


"Kangmas Kempong, bagaimana kesan Kangmas? Adakah suatu tanda-tanda yang
mencurigakan?"


"Agaknya kedatangan mereka sudah saling berjanji dahulu. Setidak-tidaknya,
masing-masing mempunyai rencana tertentu," kata Bagus Kempong dengan tenang.


"Benar. Kedatangan mereka tiada sungguh-sungguh hendak menghaturkan selamat
hari ulang tahun kepada guru. Terang sekali dengan dalih itu, mereka
menyembunyikan maksud hati masing-masing."


"Apakah engkau bisa membaca maksud mereka?" Bagus Kempong berganti
bertanya. Suryaningrat adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang kelima.
Meskipun sikapnya masih berbau kekanak-kanakan, tetapi otaknya cerdas dan
cekatan. Dalam kebanyakan hal, ia pandai mengambil kesimpulan dengan cepat
dan tepat. Hal itu disebabkan, karena dia memiliki pembawaan prarasa yang
kuat. Maka menjawablah dia. "Kukira mereka datang bukan untuk mengucapkan
selamat hari ulang tahun. Juga bukan mengungkat-ungkat peristiwa pembunuhan
orang-orang Banyumas dahulu. Tetapi kedatangan Kangmas Wirapati dan Sangaji
yang membawa-bawa dongengan pusaka warisan Bende Mataram, bukankah suatu
peristiwa yang amat menarik?"


"Ah betul," puji Bagus Kempong. Seko-nyong-konyong beralih, "di manakah
anak Sangaji kini berada? Bawalah dia masuk ke dalam dan jangan perkenankan
sembarangan muncul di paseban. Mengingat pengalamanku dahulu, di antara
mereka pasti ada yang lagi mengincar dirinya."


Suryaningrat terus saja keluar kamar dan memanggil salah seorang ketua
siswa. Setelah menyampaikan perintah agar membawa Sangaji masuk ke dalam,
dia kembali meng-hadap Bagus Kempong. Berkata lagi minta pertimbangan.
"Apakah yang harus kita lakukan kini?"


Bagus Kempong adalah seorang ksatria yang tenang sikapnya, berhati-hati dan
senantiasa berwaspada. Tak sembarangan dia bertindak menuruti ungkapan
pemikiran yang meletus dengan mendadak apabila hatinya belum yakin. Maka
setelah merenung-renung sejenak, dia berkata mengandung keputusan,
"'Biarlah kita berlaku hati-hati dahulu dan jangan ceroboh menentukan
sikap. Asalkan kita bersatu-padu, kekuatan kita takan mengecewakan. Anak
murid Kyahi Kasan Kesambi sudah terlalu sering mengalami gelombang badai,
masakan takut menghadapi mereka?"


Suryaningrat jadi ikut berpikir pula. Jumlah mereka kini tinggal empat
orang, tetapi masih mempunyai Sangaji yang memiliki ilmu sakti tak beda
dengan mereka. Di samping dia, masih ada pula Kyai Kesambi yang ilmu
kepandaiannya sudah mencapai tingkatan kesempurnaan. Hanya saja, dia harus
mempertimbangkan usianya yang sudah tua. Dalam menghadapi suatu kekerasan
yang maha besar, sedapat mungkin orang tua itu harus berada di luar garis.
Betapa tinggi ilmunya tetapi usianya yang sudah tua itu tak mengizinkan
otaknya terlalu keras bekerja.




Cukuplah sudah, dia memberi petunjuk-petunjuk saja yang akan diselesaikan
oleh anak muridnya. Oleh pertimbangan ini, Suryaningrat nampak berpikir
makin keras. Sadarlah dia, bahwa urusan hari ini tidaklah gampang
diselesaikan dengan begitu saja. Maklumlah, jumlah mereka sangat besar dan
nampaknya seia-sekata dalam satu tujuan tertentu. Dapatkah dia berlima
menandingi mereka? Bagaimanapun juga akibatnya, anak murid Kyai Kasan
Kesambi akan mempertahankan pamor perguruan. Namun sulitnya bukan kepalang.


Dalam pada itu Gagak Handaka dan Ranggajaya berdua, terus mendampingi
gurunya tanpa beristirahat. Diam-diam mereka bercuriga juga dan mencoba
menebak maksud kedatangan para tamu. Menyaksikan tamu datang tiada
berputusan, mereka jadi bertam-bah heran. Belum lagi mereka berhasil
menebak maksud kedatangan mereka, kem-bali lagi penjaga padepokan datang
melapor.


"Gusti Ayu Kistibantala datang atas nama Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono
II. Beliau datang dengan tiga puluh pengiring dengan membawa bingkisan raja."


Suryaningrat yang mendengar bunyi lapor-an itu, terus saja keluar dari
kamar. Keruan saja Bagus Kempong, Gagak Handaka, Ranggajaya tersenyum
memaklumi. Hati siapa tak tergerak mendengar kekasih yang dirindukan tiba
pula tanpa diundang. Sudah barang tentu muka Suryaningrat merah padam.
Sikapnya mendadak saja jadi kaku.


"Mari, mari kita berdua menyambut dia," ajak Bagus Kempong.


Gusti Ayu Kistibantala, ternyata seorang wanita yang berperawakan padat
berisi, gagah dan berwibawa. Perbawanya tak kalah dengan seorang pria.
Tatkala melihat Suryaningrat, terus saja kepalanya menunduk. Pandang
matanya berseri-seri. Wajahnya menjadi merah jambu. Suatu tanda, bahwa
hatinya ikut berbicara.


Segera Bagus Kempong maju dengan memberi hormat serta mempersilakan masuk
ke paseban. Suryaningrat sendiri, sikapnya makin kaku. Tak berani dia
memandang kekasihnya.


Tetapi tatkala sekalian tamu berdiri memberi hormat, diam-diam ia mencuri
pandang. Secara kebetulan pula, Gusti Ayu Kistibantala menoleh. Begitu
pandang mereka bertemu, masing-masing tergetar hatinya. Tiba-tiba
Ranggajaya berdehem. Keruan saja mereka berdua jadi tersipu-sipu.
Tertawalah Rangga-jaya dan terus saja berkata, "Eh, tak kukira bahwa
dehemku mengejutkan kalian. Mari kupilihkan tempat duduk sebaik-baiknya."


Suryaningrat tercekat hatinya, la khawatir, kakaknya seperguruan akan
mencarikan sebuah tempat duduk panjang yang sengaja diperuntukkan baginya.
Bukankah dia lantas akan merupakan pengantin di tengah para tamu? Tetapi,
ternyata kakaknya seperguruan hanya bergurau belaka. Dengan begitu
tenteramlah hatinya. Tatkala melihat pengiring kekasihnya yang berjumlah
tiga puluh orang, hatinya jadi bersyukur. Katanya dalam hati, dia membawa
tiga puluh pengiring. Apabila terjadi suatu kekerasan, masakan dia tak mau
membantu kita?


Begitulah dalam setengah hari saja, tetamu dari berbagai daerah datang tak
berkeputusan. Nama Kyai Kasan Kesambi sesungguhnya sangat tenar dalam
pergaulan luas. Namun kedatangan para tamu ini benar-benar luar biasa dan
tidak sewajarnya. Anak-anak murid dan sekalian cantrik Gunung Damar jadi
repot luar biasa. Persiapan-persiapan perjamuan sama sekali tiada. Karena
harus menyuguh tamu, mau tak mau mereka terpaksa hanya menyediakan
semangkok nasi dengan sedikit sayur dan tempe godok. Berulang-ulang kali
Gagak Handaka atas nama gurunya menyatakan diri sangat menyesal, karena tak
mampu menghidangkan sesuatu yang lebih baik lagi.


Tatkala itu Ranggajaya dan Bagus Kempong memperhatikan tetamu-tetamu
mereka. Mereka melihat para pemimpin atau ketuanya bisa menghargai diri
sendiri tanpa membawa senjata. Tetapi diantara anak murid atau
pe-ngiringnya dengan diam-diam menyembu-nyikan senjata di balik baju dan
kainnya. Hanya anak murid Purut Pranolo dan pengi-ring-pengiring Pangeran
Arya Blitar dan Gusti Ayu Kistibantala yang benar-benar datang dengan
bertangan kosong.




Ranggajaya yang berwatak keras, mendongkol menyaksikan mereka yang
diam-diam menyembunyikan senjata. Ini adalah suatu perbuatan rendah dan
kotor. Mestinya mereka harus meninggalkan senjata mereka tatkala hendak
mendaki gunung. Meskipun demikian, ia tak bisa berbuat lain kecuali menelan
kenyataan pahit.


Maklumlah, mereka adalah tamu. Dan Kyai Kasan Kesambi tiada mengadakan
peraturan menanggalkan senjata apabila hendak mene-mui dirinya. Hal itu
hanya diserahkan kepada pertimbangan keluhuran budi masing-masing belaka.


Hadiah-hadiah dan bingkisan-bingkisan mereka pun hanya terdiri dari
barang-barang lumrah yang mudah diperoleh di pasar terbuka atau kedai-kedai
jalan. Hadiah dan bingkisan demikian tidaklah pantas dipersembahkan kepada
Kyai Kasan Kesambi yang termasyhur sebagai guru besar pada zaman itu. Hanya
bingkisan dari Kanjeng Pangeran Arya Blitar dan Gusti Ayu Kistibantala saja
yang benar-benar di nilai. Atas nama Sri Sultan Hamengku Buwono II, Gusti
Ayu Kistibantala membawa satu peti penuh dengan 200 macam barang. Kecuali
itu, masih ada pula 10 potong jubah pertapaan, dari bahan sutra Tionghoa.


"Jubah pertapaan ini adalah hasil pekerjaan para dayang. Meskipun karya
sangat kasar, tetapi oleh dorongan hati yang sembrono, kami memberanikan
diri mempersembahkan sebagai bingkisan ulang tahun sang Panembahan," kata
Gusti Ayu Kistibantala.


Senang sekali Kyai Kasan Kesambi mendengar kata-kata Gusti Ayu
Kistibantala. Dengan tertawa ia menyahut, "Almarhum ayahanda Sri Paduka
Sultan Hamengku Buwono 11, adalah sesembahanku pada zaman Perang Giyanti.
Sekarang puteranya masih ingat memberi anugerah jubah pertapaan kepada
seorang pendeta tak berarti yang bermukim di pinggang Gunung Damar.
Benar-benar suatu anugerah tak ternilai harganya."


Dalam pada itu, Suryaningrat yang banyak tipu muslihatnya, melihat para
tetamu sering melihat keluar paseban seolah-olah menunggu kedatangan
jagonya. Diam-diam ia jadi heran dan curiga. Pikirnya, bala bantuan yang
mana lagi yang mereka tunggu? Celakalah keadaan guru. Karena tak mengira
bakal tertumbuk suatu permusuhan dalam selimut, sampai tak sempat memberi
kabar kepada sahabat sejatinya. Seumpama guru mengerti akan mengalami
peristiwa demikian masakan sahabat-sahabatnya seperti Paman Gagak Seta,
Adipati Surengpati dan Kebo Bangah tak diundang hadir. Dengan kehadiran
tiga tokoh sakti itu, tidaklah perlu menggubris sepak terjang mereka.


Sekonyong-konyong Bagus Kempong mem-bisiki, "Suryaningrat! Apakah kakakmu
Wira-pati belum ada kabar beritanya?',


Memperoleh pertanyaan itu, Suryaningrat terperanjat. Pikirnya, ya, mestinya
Kangmas Wirapati harus sudah datang. Dia telah pergi selama satu minggu.
Masakan belum sampai ke tujuan? Dengan berpikir demikian, ia menggelengkan
kepala.


Bagus Kempong nampak menghela napas panjang. Berkata dengan berbisik,
"mereka datang untuk dia. Dengan membawa pusaka Bende Mataram atau tidak,
pastilah mereka akan menerbitkan gara-gara sebagai alasan untuk mengompres
keterangan dari mulut kakakmu dan Sangaji. Yah, urusan sudah jadi begini,
terpaksa kita lawan mereka sekuat tenaga."


Di antara kelima murid Kyai Kasan Kesambi, pribadi Bagus Kempong adalah
selalu bersungguh-sungguh. Jarang sekali dia bergurau. Dan apa yang telah
terucapkan pasti mempunyai alasan kuat. Boleh jadi, mereka semua akan
mengalirkan darah di atas padepokan yang mendidik dan membesarkannya. Di
antara para tamu, apabila satu lawan satu kecuali Pangeran Arya Blitar,
mungkin tiada yang mampu menandingi anak murid Kyai Kasan Kesambi. Tetapi
perbandingan mereka adalah satu lawan 40. Maka bergegas Suryaningrat
mengajak Bagus Kempong masuk ke dalam kamar lagi. Kemudian memanggil pula
Sangaji. Bagus Kempong menurut ajakan adiknya yang bungsu, karena adiknya
ini kerap kali mempunyai akal dan tipu muslihat.




"Kangmas Bagus Kempong," ia berkata, "sebentar apabila terjadi suatu
kekerasan, biarlah kita berusaha satu melawan satu. Hanya saja mereka
nampaknya mempunyai tujuan yang sama. Dalam suatu kebutuhan yang sama
pastilah mereka akan melakukan keroyokan, apabila kita mencoba melawan."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar