From: A.Syauqi Yahya
Quote
"Apakah polisi bisa profesional kalau seperti ini? Nggak bisa. Saya menjadi saksi, polisi naik tingkat karena titipan DPR. Omong kosong yang diajukan jadi Kapolri ke DPR tidak road show ke partai politik sehingga akhirnya bisa deal. Junior saya untuk jadi Jenderal harus apa? Lebih baik dekat saja dengan politisi," kata mantan Kapolda Maluku itu.
Unquote
Rabu, 04/03/2015 20:23 WIB
Purnawirawan Jenderal ini Usul Polri Direformasi Lagi, Berikut Alasannya
Elza Astari Retaduari - detikNews
FOKUS BERITA
Komjen BG Menang di Praperadilan
Jakarta - Politisasi yang masih membudaya dalam tubuh kepolisian membuat miris Irjen Pol (Purn) Farouk Muhammad, apalagi menyusul kisruh KPK dengan Polri belakangan ini. Wakil Ketua DPD itu pun mengusulkan perlu adanya reformasi jilid II di Polri karena reformasi pertama sejak berpisah dari ABRI masih dianggap belum berhasil.
"Perlu ada reformasi jilid dua. Menunggu reformasi kultural. Masih ada kendala strukural, kalau ada kelemahan-kelemahan dalam tugas Polri, maka perbaiki itu. Sebab polisi adalah bayi yang dilahirkan oleh masyarakat. Polisi mengabdi kepada masyarakat," ujar Farouk dalam seminar Peradaban Polisi dan Politik di Gedung Gading Marina Function Hall, Jl Boulevard Barat, Kelapa Gading, Jakut, Rabu (4/3/2015).
Praktik politik yang masih mengakar di Polri sudah bukan lagi rahasia. Itu yang disebutnya menjadi alasan mengapa polisi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
"Apakah polisi bisa profesional kalau seperti ini? Nggak bisa. Saya menjadi saksi, polisi naik tingkat karena titipan DPR. Omong kosong yang diajukan jadi Kapolri ke DPR tidak road show ke partai politik sehingga akhirnya bisa deal. Junior saya untuk jadi Jenderal harus apa? Lebih baik dekat saja dengan politisi," kata mantan Kapolda Maluku itu.
Ia pun mengisahkan, saat Kapolri dijabat oleh Dai Bachtiar, pernah ada satu aturan yang tengah dikaji Polri terhadap bagaimana standar perangkapan Wakapolri atau pejabat eselon 1 saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Ia mengatakan seharusnya ada lembaga khusus yang dibentuk untuk mengawasi kinerja Polri.
"Saya tanya ke BG waktu itu masih jadi ajudannya Megawati, katanya ibu Mega nggak berkenan. Saya bilang ke pak Dai tahu nggak itu Bu Mega tentang aturan itu. Akhirnya saya bilang ke BG ambil saja udah berkasnya. Kewenangan Kapolri begitu hebat, menentukan segala-galanya," tutur Farouk.
"Padahal di negara maju yang demokratis ada lembaga yang buat kebijakannya untuk mengawasi polisi. Jadi ada pengawasannya," sambungnya.
Dengan peraturan seperti saat ini di mana baik kewenangan dan operasional dalam tubuh Polri di bawah langsung Presiden seolah-olah menjadikan Kapolri, termasuk Panglima TNI masuk dalam kabinet pemerintahan. Padahal Polisi dan TNI bukan pembuat kebijakan tapi pelaksana sebagai alat negara.
"Lama-lama melembaga seolah-olah Panglima dan Kapolri part of kabinet. Nggak ada Panglima dan Kapolri menentukan kebijakan, hanya melaksanakan. Kewenangan harus ada kontrolnya," ucap mantan Gubernur PTIK ini.
Untuk itu Farouk mengusulkan perlu adanya reformasi jilid II di Kepolisian di mana Polri secara administratif tetap berada di bawah Presiden namun kebijakannya ada pada sebuah komisi atau lembaga. Itu sistem yang dinilai Farouk ideal.
"Rombak sistemnya. Kapolri bawah presiden secara administratif, pelaksanannya di bawah komisi bisa 1-7 orang isinya. Idaman saya ke depan. Saya rasa dengan begitu polisi akan lebih baik. (Sekarang) polisi masih lebih takut kepada atasannya dibanding rakyat. Tunggulah dunia ini hancur kalau kita masih mempertahankan kondisi seperti itu," tukas Farouk.
Hal senada diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie yang juga menjadi pembicara dalam seminar. Selain setuju dengan adanya reformasi jilid II di Polri, ia juga menyebut right of confirm pada DPR perlu ditelaah lebih baik lagi.
"Problemnya tidak bisa bangun jiwa korsa kalau strukturnya tidak dibangun dengan baik. Reformasi Polri masih belum dimulai, kepolisian belum direformasi secara sungguh-sungguh sejak dipisahkan dari ABRI. Atau jangan-jangan belum mulai. Hanya baru dipisahkan saja," ungkap Jimly dalam kesempatan yang sama.
"Harus dibenahi plus tambal sulam dibangunnya komisi kepolisian dan dibangun right of confirm di DPR. Supaya politik dan polisi bisa disapih, dipisah, berjalan sesuai konstitusionalnya dengan independen," imbuhnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu mengingatkan bahwa sama seperti TNI, Polri adalah alat negara dan bukan alat pemerintah. Sebab pada akhirnya profesionalisme menjadi PR besar yang harus diperbaiki di tubuh institusi kepolisian.
"TNI dan Polri itu alat negara, bukan alat pemerintah, apalagi alat politik atau alat politik golongan, lebih-lebih alat pribadi. Ini sekarang trennya seperti itu. Intinya harus membangun kepolisian secara profesionalisme diimbangi dengan reformasi kepolisian," tegas.
"Polri menyerap doktrin dan praktik politik sejak disatukan dalam ABRI pada saat Orba. Polisi sangat rentan terhadap politisasi sejak pasca orba, contohnya kasus Kapolri Bimantoro vs Chaeruddin Ismail 2001, briefing Polwil Banyumas untuk memilih capres megawati 2004, dan pencalonan BG sebagai Kapolri," tambah Slamet Effendy Yusuf yang juga menjadi pembicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar