@bende mataram@
Bagian 39
SEMENJAK hari itu Sangaji hidup dalam tangsi dengan Willem Erbefeld. Ia
diambil adik angkat. Ia mendapat hak-hak pendidikan dari Gubernur Jenderal
sendiri sebagai keluarga seorang perwira.
Rukmini tidak keberatan. Pikirnya, tak dapat aku memberi pendidikan penuh
kepadanya. Barangkali dengan jalan ini ia dapat pula mendapat pendidikan
dan pengajaran militer. Di
kemudian hari pasti ada gunanya jika sudah tiba waktunya mencari jejak
pembunuh ayahnya.
Memang—Sangaji kini diperkenankan belajar menembak, Willem Erbefeld seorang
penembak mahir. Rahasia-rahasia menembak jitu diajarkan ke Sangaji sebagai
balas jasa dan balas budi. Tak mengherankan, dalam jangka waktu setengah
tahun saja ia telah mahir me- . nembak melebihi perwira-perwira muda.
Sangaji diajar pula belajar membaca dan menulis berbahasa Belanda. Meskipun
belum dapat digolongkan anak-anak berotak cemerlang, ia mulai bisa
menghafalkan huruf latin dan membaca kata-kata bahasa Belanda. Ia girang
mendapat kepandaian ini. Ibunyapun bersyukur dalam hati.
"Ibu—doakan selalu agar aku pandai dalam segala hal. Setelah aku pandai
kubawa Ibu pulang ke Jawa. Akan kucari musuh Ayah sampai ketemu."
Willem Erbefeld benar-benar seorang yang berhati tulus. Ternyata ia tidak
hanya merencanakan menurunkan seluruh kemahirannya menembak jitu. Tetapi
dengan diam-diam ia hendak mengajar pula ilmu menunggang kuda, ilmu
melempar belati, berenang dan menembak pistol.
Pada suatu hari ia membeli seekor kuda Sumbawa. Kuda itu berwarna hitam
kecoke-lat-cokelatan. Gagah-perkasa dan larinya cepat luar biasa.
"Sangaji! Kauberi nama apa dia?" tanyanya.
Sangaji sangat bergirang hati, sampai-sampai tak kuasa menjawab pertanyaan itu.
"Kau harus mencari sebuah nama yang bagus menurut kata hatimu," Willem
Erbefeld mendesak.
Sangaji kemudian berpikir. Hari itu belum juga ia menemukan suatu nama yang
tepat bagi kuda pemberian Willem. Akhirnya ia pulang ke rumah untuk minta
pertimbangan ibunya. Ibunya berotak sederhana. Tak dapat dia membantu
mencarikan nama yang bagus. Diusulkan dua tiga nama, namun Sangaji tak
menyetujui.
"Ibu! Nama kudaku itu harus selalu mengingatkan aku kepada kakakku Willem
Erbefeld," kata Sangaji. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya. Lantas
berkata setengah girang, "Eh ... apa salahnya kunamakan Willem pula."
"Hus! Itu nama kakakmu. Masa kamu seolah menunggangi kakakmu?" tegur ibunya.
Sangaji terkejut. Terpaksa ia menggugurkan nama itu dari ingatannya.
Akhirnya ia kembali ke tangsi dengan kepala kosong. Waktu Willem Erbefeld
menanyakan usahanya mencari sebuah nama, dengan sedih ia menggelengkan
kepalanya.
Willem Erbefeld tertawa panjang.
"Mari kubantu," katanya ringan. "Nama kudamu itu harus sebagus-bagusnya.
Setiap kali kaupanggil namanya, ingatanmu lantas saja terkenang pada
sesuatu. Nama itu harus kau kasihipula. Umpamanya kauberi nama: Susi, Anny,
Dudi, Bibo ..."
"Tidak! Tak suka aku nama-nama itu," potong Sangaji. "Dalam hidupku ini
hanya kakakiah yang kusayang dan kucintai selain Ibu."
Willem Erbefeld tercengang. Ia merenungi Sangaji seakan-akan mencoba
menyelidiki, kata hatinya. Kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Benarkah kamu suka pada namaku? Willem Erbefeld? Ah! Kamu tahu arti
Erbefeld? Dia seorang pemberontak yang dihukum pancung VOC. Kepalanya
dipasang di atas gapura. Nah, sukakah kamu kepada keluarga pemberontak?"
"Paman Willem berontak juga. Akupun kelak juga berontak," sahut Sangaji cepat.
Willem Erbefeld terperanjat mendengar ucapan Sangaji. Dengan mata terbeliak
ia berkata, "Ah, anak yang baik. Kau belum tahu arti kata-kata berontak.
Hm. Kau akan berontak pada siapa?"
"Pada pembunuh ayahku."
"Apa kauhilang?" Willem Erbefeld tercengang-cengang karena sama sekali tak
mengira mendapat jawaban demikian.
Sangaji mengulangi ucapannya. Kemudian mengisahkan riwayat keluarganya
hasil pemberitahuan ibunya. Dia sendiri hanya teringat lapat-lapat. Tatkala
sampai pada kisah penderitaannya di Jakarta, matanya merah.
Willem Erbefeld termenung sejenak. Tiba-tiba memeluknya erat sambil berkata
penuh perasaan. "Adikku yang baik hati ... Mulai sekarang berjanjilah
kepadaku ... hendaklah kamu berbakti kepada ibumu ... dan ..." Ia tak
meneruskan perkataannya. Terbayanglah saat-saat Sangaji membela dirinya
setengah tahun yang lalu. Seumpama dia sampai tewas, bukankah dirinya
menambah kepedihan hati ibunya? Memikirkan ini, ia menggigil. Ia heran
kenapa si anak sendiri tak memikirkan kepentingan diri sendiri. Sekaligus
bertambahlah kekagumannya pada keluhuran jiwa Sangaji. Pastilah keluarganya
mengutamakan keluhuran budi, pikirnya menebak-nebak. Kemudian ia
mengalihkan pembicaraan.
"Eh ... tentang nama kudamu, mengapa tak kauberi nama Untung atau Surapati?
Seabad yang lalu di Jakarta ini hidup seorang anak laki-laki yang bernasib
tak beda denganmu, namanya Untung. Dia diketemukan di Pulau Bali oleh
Kapten Beber. Barangkali diapun anak Bali. Mungkin pula seorang anak suku
Jawa yang dihuncang nasibnya ke Bali. Kelak dia menjadi seorang perajurit
tiada tara. Lantas namanya berubah menjadi Untung Surapati setelah berhasil
membunuh anak-angkat Sultan Cirebon yang bengis bernama Surapati. Diapun
mengenal tata cara keprajuritan di dalam tangsi kompeni. Karena dia diambil
anak-angkat seorang Mayor bernama Moor."
"Lantas?" Sangaji tertarik.
"Di kemudian hari dia menjadi raja Jawa Timur bergelar Wiranegara. Dialah
yang mengilhami leluhurku pada tahun 1721. Dialah yang dipuja leluhurku
sampai mati. Akupun mengagumi keperwiraannya."
"Dia keturunan orang Bali?" Sangaji menegas.
"Begitulah menurut cerita orang. Tapi ada yang bilang, dia berasal dari
Jawa. Pada suatu hari dia bermain-main di tepi laut dan dibawa lari orang
ke Pulau Bali. Dia dijual kepada seorang pedagang sutra dari Pulau Bawean.
Kemudian dibeli Kapten Beber di Makassar. Setelah itu dijualnya pula kepada
Mayor Moor."
Sangaji diam merenung. Pikirnya, kenapa perjalanan hidupnya hampir sama
dengan diriku.
Willem Erbefeld tahu membaca hatinya. Diapun sebenarnya lagi membandingkan
riwayat perjalanan hidup Untung Surapati dengan adik angkatnya.
"Ayahmu seorang Bali pula. Kamupun kini hidup pula di dalam tangsi. Siapa
tahu di kemudian hari kamu menjadi Gntung Surapati."
Justru oleh kata-kata Willem Erbefeld ini renungan Sangaji bubar berderai.
Ia merasa diri malu. Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan.
"Kudaku memang bagus kalau kunamakan si Gntung. Atau si Gntung Surapati.
Tetapi aku belum kenal dia. Sebaliknya yang kukenal dan kukagumi adalah
kakak. Kakakpun memuja pahlawan Gntung Surapati. Apa bedanya, ya?"
"Hm. Jadi kudamu akan kauberi nama Willem?"
Wajah Sangaji berubah merah. Gap-gap ia mau membuka mulut, tetapi Willem
Erbefeld mendahului tertawa terbahak-bahak. "Baiklah! Namakan saja Willem,
kalau kau memang suka nama itu."
Sangaji girang dalam hati. Tetapi ia segan menerima pembenaran itu. la
menundukkan kepala. "Adikku yang baik. Janganlah kamu merasa telah
menghinaku. Sama sekali tidak. Aku tak
merasa kauhina. Bahkan aku bangga dan berterima kasih, karena aku merasa
kauhargai."
Sangaji merawat kudanya dengan kesungguhan hati. Tetapi belum berani ia
mencoba menungganginya. Si Willem masih liar dan galak. Melihat si anak
matanya mengancam.
Willem Erbefeld pada hari-hari itu nampak sibuk. Keadaan pemerintahan
Belanda sedang guncang, menghadapi pemulihan tata-tertib akibat pengambilan
alih VOC. Meskipun VOC sudah dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Bataafsche
Republiek dengan pengawasan penuh, namun sepak terjang bekas
anggota-anggotanya yang curang dan sudah biasa bermain sogok tidakiah mudah
diatasi. Masih saja terjadi bentrokan-bentrokan dengan perkelahian senjata
dan adu kuasa. Terpaksalah pemerintah Belanda menggunakan tenaga militer.
Itulah sebabnya Willem Erbefeld jarang di rumah. Dengan sendirinya belum
dapat mengajar Sangaji ilmu menunggang kuda. Namun ia masih mengusahakan
diri untuk mengisi kekosongan itu. Sambil lalu ia menurunkan melempar
belati dan menembak pistol.
Demikianlah selama dua bulan penuh si Willem tetap berada dalam kandangnya.
Sangaji hanya berlatih melempar belati dan menembak pistol di tengah
lapangan dekat pantai40).
Pada suatu hari tatkala dia lagi sibuk berlatih tiba-tiba datanglah seorang
perwira Belanda dengan empat anak laki-laki tanggung, berumur 17 tahunan.
Perwira itu berlengan kutung. Dialah Mayor de Groote.
Mayor de Groote menaruh dendam kepada Willem Erbefeld dan Sangaji.
Maklumlah, ia tergeser kedudukannya. Dan malapetakanya disebabkan gara-gara
Sangaji pula. Dalam masa perawatan ia sudah mereka-reka hendak membalas
dendam. Terhadap Willem Erbefeld ia benar-benar segan dan merasa tak mampu
melawan, kecuali dengan fitnah-fitnah tertentu. Untuk ini dia belum
memperoleh kesempatan. Tetapi terhadap Sangaji, ia dapat berpikir penuh.
Dia mengharap akan dapat berjumpa di tengah jalan atau di tengah lapangan.
Di sanalah dia mau melampiaskan dendam. Tetapi sebagai seorang perwira
tinggi rasanya kurang pantas pula melampiaskan dengan secara langsung.
Sebab kalau hal itu diketahui Willem Erbefeld bisa berabe. Maka ia berpikir
lain. la mengumpulkan empat orang anak terdiri dari dua orang anaknya
sendiri dan dua kemenakannya. Ia ingin menggunakan tenaga mereka secara tak
langsung.
Begitulah ia menghampiri Sangaji. Tanpa bilang sesuatu patah katapun ia
merampas pistolnya. "Pistol dari mana ini?" tegurnya garang.
Sangaji mempunyai kesan tertentu terhadap Mayor de Groote. la benci dan
muak. Meskipun demikian agak segan juga terhadap pangkatnya. Namun ia
menjawab dengan berani.
"Pistol kakakku. Mengapa?"
"Kakakmu seorang militer. Tapi kau bukan! Mana boleh bermain-main dengan
pistol?"
Sangaji tak dapat menjawab. Memang ia tak mengetahui peraturan militer.
Masih ia mencoba menjawabnya.
"Tapi kakakku sendiri yang memberi..."
"Bohong! Kau setan cilik pintar bohong! Kau mencuri dari saku kakakmu,
bukan? Hayo, mengaku tidak!"
"Tidak! Tidak!"
"Kau pintar bohong! Tangkap dia! Hajar sampai pingsan, biar tahu rasa."
Karena perintah itu lantas saja ke empat pemuda tanggung menerjang. Memang
sebelumnya mereka telah dibisiki dan dipompa dengan hasutan-hasutan dendam
kesumat. Keruan saja mereka menerjang tanpa segan-segan lagi.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar