@bende mataram@
Bagian 56
la lantas mengendapkan kepala seperti hendak menyerahkan gundulnya untuk
dihantam. Mendadak kedua tinjunya dilontarkan cepat ke pinggang lawan
sambil menyerbu masuk. Jan De Groote kaget. Buru-buru ia mengelak, sedang
Tako Weidema cepat-cepat menangkis. Tetapi justru karena berubahnya tata
berkelahi ini, mereka jadi keripuan.
Sangaji lantas saja dapat mempraktekkan ajaran-ajaran ilmu Wirapati dan
Jaga Saradenta dengan berbareng. Dengan gesit dan penuh tenaga ia
menyerang. Sebentar dia menghampiri Karel Speelman, mendadak pula menyambar
Tako Weidema. Sebentar pula menghantam Jan De Groote dan tiba-tiba memukul
Piter De Jong.
Keruan saja mereka terkejut dan cara bertempurnya jadi kacau.
Di tepi lapangan kini banyak orang-orang yang datang melihat. Mereka
bersikap diam. Penduduk kota sudah barang tentu memihak kepada Sangaji
karena rasa kebangsaannya. Tetapi serdadu-serdadu Belanda yang sedang
berlatih menembak, memihak sebaliknya. Mereka heran juga menyaksikan
kegesitan si anak Bumiputera.
Makin lama makin seru perkelahian itu. Masing-masing tak sudi memberi hati.
Mereka mengerahkan tenaga dan segenap perhatiannya, Sangaji nampak bahkan
makin tenang dan mantap. Semua ajaran-ajaran gurunya meskipun masih
sederhana, berkelebatan tiada henti di ruang benaknya. Kini, ia telah dapat
mengenai tubuh lawan dengan benturan-benturan dahsyat. Ia meloncat gesit
berpindah tempat. Lambat-laun dapat meresapi ilmu kegesitan Wirapati.
Tetapi keempat pemuda Belanda itu, bagaimana mau mengaku kalah? Pertama,
mereka merasa berumur lebih dewasa. Kedua, ditonton seorang gadis mungil
yang menggairahkan. Meskipun cara berkelahi mereka tak teratur, namun cukup
bernafsu dan sungguh-sungguh.
Melihat kenyataan itu Sangaji kini bersikap hati-hati. Ia berlaku sabar,
tetapi bukan kendor.
Kecepatan tetap dipertahankan, begitu juga kekerasannya. Hanya hatinya tak
mau dipengaruhi nafsu dan rasa amarah yang menyala-nyala. Sedikit demi
sedikit ia mendesak tenis dan mempengaruhi gerakan-gerakan lawan. Jurus-
jurus yang dimainkan tak lebih dari tiga puluh jurus. Tetapi selalu diulang
dan diulang dan dicampur baur serta disesuaikan. Untung, lawannya bukan
termasuk barisan pendekar. Seumpama begitu, sudah lama dia bisa
dikalahkan.
Jan De Groote yang memimpin ketiga kawannya mulai heran dan berkecil hati.
Semua serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh, tapi selalu meleset
luput. Mulailah dia menduga-duga, kalau kali ini ia dan kawan-kawannya akan
menumbuk batu.
Karena ragu gerakannya mulai ayal. Sangaji bermata tajam. Begitu melihat
gerakan Jan De Groote jadi lemah, segera ia melontarkan pukulan telak.
Gugup Jan De Groote mencoba menangkap gempuran itu. Ia kaget, tatkala kena
dorongan tenaga dahsyat. Cepat-cepat ia melepaskan. Tapi justru itu,
gempuran Sangaji meluncur tak tertahankan lagi. Dadanya kena benturan dan
seketika itu juga ia berbatuk-batuk sesak. Rasanya seperti nyaris meledak.
Kawan-kawannya terkejut. Mereka lalu me-rangsak maju untuk melindungi.
Sangaji sebaliknya sudah mendapat kepercayaan. Ia mulai menyerang lagi dan
mempengaruhi mereka dengan gerakan-gerakan gesit.
Benar saja Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong jadi keripuhan.
Mereka menangkis dan menyerang tanpa pegangan. Gerakannya kacau dan membabi
buta.
Sangaji kegirangan. Diam-diam ia mengubah cara berkelahinya. Kini hendak
mempraktekkan ajaran Jaga Saradenta. Ia menangkap lengan lawan danmemijit
urat nadi. Kemudian ia menyiku lawan yang lain. Setelah itu tangan kanannya
menyambar tenggorokan lawan yang merang-sak dari sebelah kanan. Fatal
akibatnya.
Mereka mengerang kesakitan. Kemudian dengan meram, mereka menyerang kalang
kabut. Tak peduli Sangaji lebih unggul dalam tata berkelahi, tetapi
demikian tak urung pundaknya kena terhajar.
Sangaji kaget. Pundaknya terasa sakit. Terpaksa ia menggulingkan diri
sambil berpikir, kalau begini terus-menerus mana bisa aku mengalahkan
mereka. Lebih baik kutangkap salah seorang dari mereka.
Lalu ia mengarah kepada Jan De Groote yang masih berbatuk-batuk. Cepat ia
menyerang dan menangkap lengannya. Grat nadinya segera dipi-jitnya. Sedang
tangan kanannya mencekek leher.
"Kalau kalian tidak mengaku kalah, akan kucekek temanmu ini," ancamnya.
Besar juga pengaruh ancaman Sangaji. Karel Speelman, Tako Weidema dan
Pieter De Jong sesungguhnya hanya menjadi pembantu Jan De Groote. Melihat
Jan De Groote bisa ditangkap Sangaji, hatinya jadi kecut.
CIntung, waktu itu di pinggir jalan nampaklah seorang laki-laki tegap duduk
di atas pelana kuda. Dialah Willem Erbefeld. Dia sudah berada di situ
beberapa waktu menyaksikan perkelahian mereka. Ia heran, menyaksikan
Sangaji sanggup melawan empat orang lawan yang jauh lebih besar
daripadanya. Diam-diam ia berpikir, anak ini pandai berkelahi. Darimanakah
dia memperoleh kepandaian itu?
Tatkala melihat Sangaji hendak mencekek lawan, segera ia menghampiri dan
membentak pemuda-pemuda Belanda.
"Hai! Mengapa kalian mengkerubut seorang bocah?"
Karel Speelman, Tako Weidema dan Pieter De Jong tak kepalang kagetnya
melihat datangnya Willem Erbefeld. Sangajipun tak terkecuali. Tetapi ia
bergirang hati. Segera ia melepaskan Jan De Groote dan berkata mengadu.
"Mereka datang dan lantas saja menyerang. Dua bulan yang lalu aku dikerubut
mereka berempat. Aku diseret dan dilemparkan ke parit."
"Apa perkaranya?"
"Mereka pasti diperintah Major De Groote. Dulu Major De Groote merampas
pistol ini."
Willem Erbefeld lantas saja dapat mengerti persoalannya. Cekatan ia
melompat dari punggung kuda. Tanpa berkata sepatah katapun ia menghampiri
keempat pemuda Belanda dan
dihajarnya kalang kabut.
"Nah, bilanglah pada De Groote! Kapan saja dia boleh datang," bentaknya.
Kena hajaran Willem Erbefeld, keempat pemuda Belanda itu jatuh
terjengkang-jengkang. Mukanya babak-belur dan segera lari meninggalkan
lapangan dengan peringisan.
"Adik yang baik. Kau dimusuhi orang karena aku. Mulai sekarang janganlah
kamu berlatih seorang diri, bila aku tidak ada di rumah." Kata Willem
Erbefeld penuh perasaan. Mendadak ia melihat si Sonny yang berdiri tertegun
tak jauh daripadanya. Ia heran. "Eh ... bukankah kamu anak Kapten De Hoop?"
tanyanya.
Sonny mengangguk.
"Mengapa kamu ada di sini pula?"
Sonny jadi kebingungan. Tak tahu dia harus menjawab bagaimana. Matanya
mengarah kepada Sangaji hendak menyelidiki kesan si bocah. Sangaji ternyata
cukup lapang dada. Melihat Sonny kebingungan timbul rasa ibanya. Lantas
saja dia menyahut, "Dia melihat aku berlatih."
"Oho..." Willem Erbefeld tertawa. "Pantas kamu bersemangat. Apa kalian
sudah lama berkenalan?"
Sangaji tergugu mendapat pertanyaan demikian. Sebaliknya Sonny mendapat
kesan bagus karena pembelaannya. Dasar dia seorang peranakan Belanda.
Hatinya polos dan gerak-geriknya bebas. Begitu melihat Sangaji tergugu,
dengan cepat dapat menebak hatinya. Dengan mengeluarkan sapu tangan kecil
ia menghampiri Sangaji dan mengusap keringat dan pasir yang menempel di
pipi. Keruan saja muka Sangaji merah padam. Sebagai seorang berperasaan
timur, tak bisa ia mendapat perlakuan begitu. Tetapi Willem Erbefeld
malahan berkesan gembira. Katanya girang, "Ah! Kalian sudah berteman lama.
Mengapa baru kali ini aku melihat pergaulan kalian."
Mereka berdua diajak beristirahat di bawah pohon. Willem Erbefeld merenungi
keduanya.
"Sangaji! Mulai minggu depan kamu harus belajar naik kuda. Kamu cukup
tangkas. Kulihat kau tadi ... oya ... dari mana kamu bisa belajar berkelahi?"
Tak berani Sangaji berbohong terhadap Willem Erbefeld. Sebaliknya tak
berani ia melanggar pesan gurunya. Karena itu ia jadi kebingungan. Willem
Erbefeld heran berbareng curiga. Katanya lagi, "Apa selama kau
kutinggalkan, seringkali berkelahi sehingga mendapat pengalaman membela diri?"
"Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan." "Apakah kamu berguru pada
ahli-ahli silat dan pencak?" "Tidak! Tidak! Tapi tak berani aku mengatakan."
Willem Erbefeld tak mendesak lagi. la cukup kenal tabiat adik angkatnya.
Dulu ia berani membandel ketika di desak Mayor De Groote dengan mengucapkan
kata-kata itu. Akhirnya dia berkata perlahan, "Aku tak menyalahkanmu.
Seandainya benar begitu, alangkah senangku bila aku bisa berkenalan dengan
guru-gurumu."
"Aku tak berguru kepada siapa pun juga," bantah Sangaji gemetaran.
Willem Erbefeld bersikap seolah-olah- tak mendengarkan. Ia kemudian
mengalihkan pembicaraan tentang rencana latihan menunggang kuda dan ilmu
pedang. Sangaji jadi berlega hati. Segera ia menyambung pembicaraan.
Kesannya menggirangkan hati.
"Hai!" kata Willem Erbefeld kepada Sonny. "Kau boleh melihat latihan itu."
"Mengapa hanya melihat?" sahut Sonny. "Sonny pun ingin belajar naik, kuda."
"Bagus! Mintalah izin ayahmu dulu. Kalian berdua boleh belajar naik kuda
bersama-sama." "Tapi Willem sangat galak," sambung Sangaji.
"Willem?" Sonny menebak-nebak.
"Ya, Willem." Sahut Willem Erbefeld tertawa berkakakan. "Willem nama kuda
Sangaji. Bukan Willem namaku."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar