5.02.2019

@bende mataram@ Bagian 38




@bende mataram@
Bagian 38


Perintah itu mana menyenangkan hati Mayor de Groote. Ia lagi kesakitan.
Tapi mengingat Willem Erbefeld luka parah pula, timbullah keberaniannya.
Lantas saja ia mencari pedangnya yang terpental dari tangan. Lalu maju
menghampiri dengan menahan perutnya yang terasa sakit luar biasa.


Willem Erbefeld telah menghunus pedang. Maka kedua Orang itu lantas saja
bertarung. Para serdadu membuat pagar arena. Mereka menahan napas. Dalam
hatinya, mereka menyokong Mayor de Groote. Sebaliknya Sangaji berdoa untuk
kemenangan Willem Erbefeld.


Willem Erbefeld tak berani bergerak dan menggunakan tenaga yang tak perlu.
Ia hanya menangkis dan berkisar seperempat atau setengah langkah. Tetapi
sabetan pedangnya cepat dan bertenaga.


Mayor de Groote mana mau mengalah bertempur di depan Gubernur Jenderal
Vuyst. Meskipun perut dan kakinya kesakitan, ia berkelahi dengan penuh
semangat. Ia cerdik lagi. Tahu kalau musuhnya luka parah di dadanya, ia
merangsak hebat. Ia mau mengaduk tenaga lawannya. Dengan cara demikian ia
mengharap lawannya letih sendiri karena kehilangan banyak darah.


Willem Erbefeld sadar akan kelemahannya sendiri. Tetapi ia seorang kapten
yang gagah berani. Ia melayani rangsakan Mayor de


Groote dengan tenang. Mendadak pundaknya kena tersabet pedang, la jatuh
miring. Sangaji terperanjat. Sebaliknya serdadu-serdadu bersorak penuh
kemenangan.


Mayor de Groote berbesar hati melihat ti-kamannya mengenai. Tetapi ia
terlalu tergesa-gesa membusungkan dadanya. Ia kehilangan kewaspadaan.
Tatkala menyabetkan pedang hendak mengakhiri pertarungan hatinya sudah
beralih kepada Gubernur Jenderal mengharap mendapat pujian.


Ia lengah. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Willem Erbefeld.
Memang ia mengetahui tabiat lawannya itu yang merupakan titik kelemahan.
Sengaja ia membiarkan pundaknya terkena tikaman pedang. Tetapi mendadak ia
menusuk tubuhnya dengan menggulungkan diri. Pedang Mayor de Groote menusuk
tanah. Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan pedangnya sampai tertancap
kuat. Willem Erbefeld lantas saja mem-babatkan pedangnya ke lengannya.
Mayor de Groote memekik terkejut. Sedetik itu ia sadar akan kesalahannya.
Tetapi pedang tak mempunyai mata dan pendengaran. Dalam sedetik itu
lengannya terputung menjadi dua. la memekik tinggi dan tubuhnya roboh di
atas tanah.


Para serdadu gusar bukan main. Mereka merangsak maju. Tetapi Gubernur
Jenderal melarang mereka bertindak.


"Aku mau ia mati puas. Jangan sampai kita disebut perempuan," katanya nyaring.


Willem Elbefeld nampak kehabisan tenaga. Darahnya menyemburi dadanya.
Wajahnya pucat. Tubuhnya bergoyang-goyang. Napasnya naik ke leher. Meskipun
demikian ia memaksa diri untuk berbicara.


"Aku bisa membunuhnya. Tapi aku menghendaki suatu pertukaran." "Apa maksudmu?"


"Satu nyawa ditukar dengan satu nyawa."


Serdadu-serdadu menggerendeng mendengar perkataanya. Tetapi Gubernur
Jenderal Vuyst tersenyum.


"Kamu ingin kubebaskan? Baiklah. Akupun seorang laki-laki. Kamu kubebaskan."


Tetapi Willem Erbefeld menggelengkan kepala. Sahutnya, "Bukan untukku. Tapi
aku menghendaki agar anak itu dibebaskan dari segala hukuman."


Gubernur Jenderal Vuyst tercengang-cengang mendengar kata-kata Willem
Erbefeld. Sampai-sampai ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri.
Diam-diam ia mengagumi. Sekarang kesannya berbalik. Kalau tadi ia menaruh
dendam, kini mendadak merasa sayang.


"Hm. Kau tak sayang nyawamu sendiri. Jangan menyesal! Pertimbangkan lagi.
Apa gunanya membela bocah Bumiputra?"


Willem Erbefeld tersenyum pahit.


"Bocah ini belum pernah berkenalan denganku. Namun ia berani mengorbankan
keselamatannya sendiri. Kalau bocah sekecil ini sudah berani mengorbankan
nyawa, aku yang sudah berumur hampir setengah abad mengapa sayang pada
nyawa sendiri. Aku dididik keluargaku untuk menghormati jiwa besar dan
watak jantan. Aku merasa takluk padanya. Dan bukan kepada ancaman
serdadu-serdadu rendahan tak berarti ini."


Tajam perkataannya, tetapi Gubernur Jenderal Vuyst malahan kian tertarik.


"Baiklah, bocah itu kami bebaskan dari segala hukuman. Sekarang tentang
dirimu sendiri. Siapa yang kautantang lagi? Pilihlah di antara
perwira-perwiraku."


Tanpa berkedip Willem Erbefeld menjawab, "Semuanya maju berbareng, itulah
permintaanku." "Kauherani melawan?" Gubernur Jenderal Vuyst menebak-nebak.


"Aku tidak melawan. Tidak ada gunanya aku melawan, karena aku sedang luka
parah."


Kesunyian terjadi. Gubernur Jenderal Vuyst mengalihkan pandang ke Kapten
Doorslag, "Kau maju! Habisi dia!"


Kapten Doorslag menghunus pedang. Kemudian berkata dengan takzim. "Perintah
Gubernur Jenderal akan kami lakukan. Tetapi izinkan kami berbicara."


"Bicaralah!"


"Dia terluka parah. Dengan sekali tebas kami sanggup menghabisinya. Tetapi
bagi kami itu bukan tugas yang terhormat. Bagaimana tidak? Karena aku pasti
tak mendapat perlawanan yang layak. Namaku akan dikutuk-nya sampai ke alam
baka sebagai laki-laki rendahan. Sebaliknya dia mati sebagai seorang
laki-laki. Mati karena dikerubut banyak orang. Itulah sebabnya apabila
Gubernur Jenderal menyetujui, ampunilah dia."


Gubernur Jenderal menjatuhkan pedangnya ke tanah. Ia mendengar rintih Mayor
de Groote. Timbulah pikirannya, perwira pengawalku tidak dapat memenuhi
tugasnya lagi dengan sempurna. Dia telah cacat. Mengapa aku tak
mengharapkan bantuan orang itu?


Mendapat pikiran begitu lantas dia berkata nyaring kepada Willem Erbefeld.
"Apakah kamu masih akan melawan kami?"


Dengan memaksa diri Willem Erbefeld maju tertatih-tatih.


"Aku menghendaki mati terhormat. Seumpama seseorang dijatuhi hukuman mati,
perkenankan aku memohon satu kali permintaan." Ia berhenti mengesankan.
"Tak sudi dan tak rela aku, kalau yang membunuh diriku adalah seorang yang
sederajat denganku. Aku minta agar Gubernur Jenderal sendiri yang
menjatuhkan hukuman."


Mendengar permintaan orang itu, Gubernur Jenderal Vuyst tertegun. Memang ia
ingin menghukum orang itu dengan tangannya sendiri. Tapi justru karena
orang itu meng-ucap demikian, hatinya seperti kena ditusuk kaget.


"Mengapa aku?" tanyanya tergagap.


"Aku sudah menembak dan melukai Gubernur Jenderal. Sudah sepantasnya
Gubernur Jenderal sendiri yang menghukum aku," sahut Willem Erbefeld. Dan
ia lantas berlutut di hadapannya mengangsurkan lehernya.


Jawaban Willem Erbefeld tanpa disadari mengenai tepat relung hati Gubernur
Jenderal Vuyst lagi. Dia makin tertegun. Akhirnya setelah berdiam
menimbang-nimbang, ia berkata agak lunak.


"Aku melihat keperwiraanmu. Aku kagum padamu. Ingin aku mempunyai seorang
perwira seperti dirimu. Seumpama kamu kuberi ampun, bagaimana?"


Pemberian ampun ini sama sekali tak terduga. Sekaligus terlihatlah dua
kesan pengucapan


yang bernilai besar. Yang pertama, membuktikan kebijaksanaan Gubernur
Jenderal Vuyst yang dapat melihat jauh. Kedua, mem7 peroleh kesetiaan penuh
dari seorang perwira yang sama sekali tak mengharapkan hidup lagi.


Willem Erbefeld menggigil seluruh tubuhnya. Lantas saja dia membungkuk
hormat sambil menjawab pertanyaan Gubernur Jenderal setengah bersumpah.


"Mulai hari ini aku bersedia mati untuk Gubernur Jenderal Vuyst. Aku
berhutang nyawa."


Gubernur Jenderal Vuyst tertawa berkakak-kan. Serdadu-serdadu dan para
perwira tercengang-cengang karena sama sekali tak mengira kalau peristiwa
besar itu berakhir demikian rupa. Mereka sampai tertegun dengan kepala kosong.


Gubernur Jenderal Vuyst lantas mengangsurkan pedangnya sambil merogoh saku.


"Pedangku ini kuberikan kepadamu. Mulai sekarang kau ikut aku. Dan ini
terimalah gajimu yang pertama."


Ternyata Gubernur Jenderal Vuyst mengeluarkan sekantung uang emas dan
dilemparkan kepada Willem Erbefeld. Dengan senang hati, Willem Erbefeld
menerima pedang dan diciumnya. Sedang terhadap kantung emas dia berkata,
"Izinkanlah saya menghadiahkan uang emas ini kepada si bocah. Dialah
jem-batan emas bagi kami."


Mendengar kata-kata Willem Erbefeld, Sangaji terperanjat. Ia berteriak,
"Tak boleh aku menerima uang jasa! Tak boleh aku menerima uang jasa!"


Semenjak tadi Gubernur Jenderal Vuyst tertarik kepada Sangaji. Mendengar
ucapannya, ia bertanya, "Siapa yang melarang?"


"Ibu. Ibu."


Gubernur Jenderal Vuyst tertawa lebar. Ia memberi isyarat kepada sekalian
serdadunya meninggalkan gundukan itu. Kepada Willem Erbefeld dia berkata,
"Emas itu adalah gajimu. Kau boleh mempergunakan sesuka hatimu. Bawalah
anak itu menghadap padaku."


Lalu berangkatlah dia mengarah ke kota. Barisan pengawal segera mendampingi
dan mengiringi. Sedangkan serdadu-serdadu bawahan Mayor de Groote
mengangkat tubuh Mayor de Groote hati-hati.


Willem Erbefeld girang bukan main. Ia seperti kejatuhan rembulan dari
langit. Sesudah nyawanya lolos dari kematian, ia mendapat majikan yang
bijaksana. Karena girangnya ia membiarkan diri mendekam di atas tanah
sambil beristirahat. Kemudian memanggil Sangaji.


"Adikku yang baik ... mulai sekarang kau adalah bagian jiwaku. Di mana
rumahmu? Yuk, kita pulang bersama ..."


Sangaji habis mendapat ganjaran cambuk dan hulu pedang. Tadi tak dirasakan
penderitaannya, karena hatinya marah dan tegang. Kini—sesudah marabahaya
berlalu dan mendengar suara panggilan lembut—rasa sakitnya mulai terasa
merunyam dalam dirinya. Langkahnya sempoyongan. Tatkala hampir menyentuh
tubuh Willem Erbefeld, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.


Bersambung




Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar