@bende mataram@
Bagian 37
Dengan tertatih-tatih Willem menghampiri sungai. Sangaji membimbingnya dan
segera menunjukkan terowongan tanah. Tanpa menimbang-nimbang lebih jauh,
Willem lantas saja menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang memasuki
terowongan. Ternyata terowongan itu sebuah goa air. Di sana orang bisa
bersembunyi semaunya dan selama mungkin tanpa gangguan, asalkan membawa
makanan.
"Aku takkan menunjukkan pada siapa pun," teriak Sangaji.
Tatkala itu pasukan pengejar sudah hampir tiba di kaki gundukan. Sangaji
cepat-cepat kembali ke atas gundukan dan bertiarap di atas tanah, la pandai
berlaku tenang. Seperti, seseorang yang lagi mengintip suatu pertempuran tadi.
Tak lama kemudian pasukan pengejar tiba di atas gundukan. Mayor de Groote
yang memimpin pengejaran melihat Sangaji. la menarik kendali sambil
bertanya kasar, "Hai bocah! Kaulihat orang lari dengan kuda?"
Serdadu-serdadu lainnya lantas datang mengepung. Sangaji nampak
bergemetaran karena takut.
"Ya, aku lihat."
"Di mana?" mereka berbareng menegas.
"Ke sana!" dia menuding ke utara. "Dia kena tembakan."
"Hm," serdadu-serdadu itu sangsi. Mayor de Groote lantas memerintah
serdadu-serdadunya. "Bawa kemari bocah itu!"
Sangaji digiring menghampiri Mayor de Groote. Ia telah mengambil suatu
keputusan. Biar aku dihajar, aku takkan menunjukkan tempatnya bersembunyi.
Sangaji menatap ke Mayor de Groote dengan berani. Teringatlah dia, kalau
perwira itulah yang memimpin pasukan pengawal Gubernur Jenderal di kaki
gundukan. Dia pulalah yang berhasil merebut panji-panji VOC tetapi tiangnya
lantas kena tembak panglima yang lagi bersembunyi.
"Apa bilangnya bocah ini?" ia bertanya kepada serdadu-serdadunya dengan
kasar. Dilihatnya sekitarnya. Di sebelah utara ia melihat seekor kuda tanpa
penunggang lagi meng-gerumuti rumput. Lantas dia menuding sambil berkata
keras, "Bukankah itu kudanya? Cari dia! Pasti ada di sekitar tempat ini!"
Begitu ia memberi perintah sepuluh orang serdadu lalu menghampiri kuda.
Mereka menyebar dan menubras-nubras semak-semak. Dijenguknya sungai. Mereka
melihat percikan darah di bawa arus air.
Kuda itu kemudian dituntun oleh dua orang serdadu dan dibawa menghadap
Mayor de Groote.
"Hm," dengus Mayor de Groote. "Bukankah ini kudanya Kapten Willem
Erbefeld?" "Benar," mereka menjawab gemuruh. Mayor de Groote lantas
merampas cambuk salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke kepala Sangaji.
"Dia bersembunyi di mana? Bilang!" ia menggertak bengis. "Jangan kau
berdusta. Nyawamu ada di tanganku, kautahu setan cilik?"
Willem Erbefeld yang bersembunyi di dalam goa air, mengikuti peristiwa di
atas tebing dan mendengarkan setiap pembicaraan, la menggenggam hulu pedang
sambil menggertak gigi, tatkala mendengar cambuk meletus menampar kepala
Sangaji. la kenal tabiat Mayor de Groote yang gila pada pujian. Bocah itu
pasti akan dianiaya semaunya sampai mengaku. Biarlah aku keluar saja
mengadu nyawa, pikirnya.
Sangaji kesakitan kena cambuk. Tetapi ia tak mau merintih, la tahan rasa
sakitnya. Lantas berteriak, "Mana aku tahu dia bersembunyi di mana."
"Setan cilik! Kau dapat sogokan berapa?" bentak Mayor de Groote. Pada saat
itu masalah sogokan sudah menjadi umum. Orang menggunakan istilah itu untuk
memuaskan rasa
sangsinya.
"Aku tak tahu! Aku tak tahu!"
Tatkala itu rombongan serdadu yang melihat percikan darah segera memeriksa
sungai.
Diketemukan pula dua jejak kaki yang berlainan. Satunya bertelanjang kaki,
lainnya bersepatu. Terang itulah jejak kaki Sangaji. Serdadu-serdadu itu
lalu melaporkan.
"Hm. Apa kauhilang sekarang?" bentak Mayor de Groote. "Mau ngaku tidak?"
Sangaji tahu tak dapat dia mengelakkan tuduhan itu. Tetapi ia nekad.
Jeritnya lagi. "Apa yang harus kukatakan? Aku tak tahu! Aku tak tahu!"
Mayor de Groote mengayunkan cambuknya lagi. Mendadak didengarnya derap
barisan dari arah belakang. Itulah barisan Gubernur Jenderal P Vuyst.
Mayor de Groote mengurungkan niatnya. Cambuk dilemparkan ke tanah. Dan
bergegas ia memutar kudanya menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. Ia
melompat dari kudanya dan melihat Gubernur Jenderal Vuyst menderita karena
lukanya.
Darahnya terus merembes keluar meskipun kakinya telah dibebat
kencang-kencang. Ia nampak gusar dan memerintahkan Mayor de Groote mencari
Willem Erbefeld sampai ketemu. Ingin ia menawan kapten itu dan mau
menghukum dengan tangannya sendiri untuk memuaskan hatinya.
"Kudanya telah tertangkap. Jejaknyapun telah kami ketahui," lapor Mayor de
Groote. "Aku mau orangnya yang tertangkap, bukan kudanya. Mana dia?"
Didamprat begitu Mayor de Groote mengalihkan rasa mendongkolnya kepada
Sangaji. Serentak ia berpaling ke arah Sangaji. Kemudian dengan menghunus
pedang ia menghampiri.
"Kauhilang tidak?" bentaknya.
Sangaji tetap membandel. Karena itu Mayor de Groote menghajar kepalanya
dengan gagang pedang. Darah lantas saja mengucur. Tetapi justru melihat
darahnya sendiri keberanian Sangaji muncul.
"Tak mau aku bilang. Tak mau aku bilang," teriaknya.
Gubernur Jenderal memperhatikan bocah itu. Ia tersenyum tatkala mendengar
ucapannya. Kapten Doorslag dibisiki, "Bujuk dia dengan cara lain agar mau
mengaku. Dia berkata tak mau bilang, bukan berkata tak tahu."
Kapten Doorslag tersenyum pula. Yakinlah dia, kalau Sangaji mestinya tahu
dan berusaha membebaskan diri dari tuduhan. Hanya dia salah ucap.
"Bocah!" kata Kapten Doorslag lembut. "Berbicaralah yang benar! Kuberi
hadiah ini."
Kapten Doorslag mengangsurkan sebilah belati. Tetapi Sangaji tetap
mengulangi teriakannya, "Aku tak mau bicara!" Mayor de Groote kehilangan
kesabarannya. Ia merampas cambuk serdadu yang berada di dekatnya. Kemudian
menghajar Sangaji bolak-balik sehingga jatuh bergelimpangan. Keruan Sangaji
menderita kesakitan. Darahnya mengucur dan seluruh badannya bergarit-garit
babak-belur.
"Ceburi sungai! Aduk airnya! Gerayangi tebing-tebingnya. Pasti dia ada di
situ," perintahnya lagi.
Sangaji dengan Willem Erbefeld baru kali itu bertemu. Meskipun demikian ia
bersedia membela dan melindungi. Ada dua sebab. Pertama, karena ia kagum
kepada kegagahan Willem Erbefeld. Kedua, jelas karena pengucapan naluriah,
la memiliki jiwa luhur. Sesuatu hal yang tak dapat diajarkan oleh manusia.
Demikianlah, tatkala mendengar Mayor de Groote memberi perintah mengaduk
sungai, ia jadi nekat. Kenekadan ini timbul dengan mendadak. Hal ini
disebabkan letupan rasa amarah karena dianiaya sampai kesakitan.
"Jangan aduk! Jangan aduk!" teriaknya berulang kali.
Mayor de Groote lantas saja dapat menebak teka-teki itu. Ia tertawa
berkakakkan sambil menghajar lebih keras sebagai hukuman orang berdusta.
Mendadak di luar dugaannya Sangaji terus menubruk kakinya dan menggigit
keras-keras. Keruan dia berkaok-kaok kesakitan. Cambuknya diayunkan dan
disambarkan seja-di-jadinya sambil berusaha merenggutkan diri. Tetapi
Sangaji sudah nekat, la memeluk kaki Mayor de Groote erat-erat dan
menggigit lebih keras lagi sampai giginya bergetaran.
Mayor de Groote kelabakan. Ia berputar-putar. Mulutnya berkaok-kaok.
Menyaksikan kejadian itu Kapten Doorslag tertawa terpingkal-pingkal. Juga
Gubernur Jenderal Vuyst.
Melihat Gubernur Jenderal tertawa, serdadu-serdadu yang bersikap segan
kepada Mayor de Groote lantas saja tertawa meledak. Mereka tak segan-segan
lagi.
Karena rasa sakit tak terperikan lagi Mayor de Groote melemparkan cambuk.
Kini mengalihkan pedangnya yang digenggam di tangan kiri ke tangan
kanannya. Kemudian menum-buki kepala Sangaji dengan gagang pedang. Dua kali
ia menumbuk kepala Sangaji. Dengan mendadak didengarnya suara beriuh.
Ternyata Willem Erbefeld muncul dari tebing sungai. Dengan menekan dada ia
menghampiri Mayor de Groote dan menendang perutnya. Mayor de Groote
terpental. Sangaji ikut pula terbanting. Gigitannya lantas saja terlepas.
Sambil membangunkan Sangaji, Willem Erbefeld mendamprat. "Kausiksa seorang
kanak-kanak, apa tidak malu?"
Mayor de Groote tertatih-tatih bangun, la menderita kesakitan luar biasa.
Daging pupunya semplak. Darahnya merembesi celananya. Perutnya seakan-akan
terasa hampir meledak pecah. Ia tak dapat berbicara. Wajahnya pucat.
Napasnya tersengal-sengal.
Serdadu-serdadu lantas saja mengepung Willem Erbefeld rapat-rapat. Tetapi
Willem Erbefeld tak mengenal takut. Dengan tenang ia menyapukan pandangan.
Kemudian berkata kepada Gubernur Jenderal Vuyst dengan meludah. "Sayang!
Sayang! Mengapa VOC akhirnya jatuh ke tangan manusia-manusia rendah semacam
ini."
Semenjak VOC dibentuk Oldenbarneveld pada tanggal 20 Maret 1602 "kekuasaan
di Indonesia dipegang oleh Gubernur Jenderal dengan dibantu oleh Raad van
Indie. Sekarang tiba-tiba orang mendamprat begitu rupa kepada seorang
Gubernur Jenderal. Keruan saja Gubernur Jenderal Vuyst menjadi gusar.
"Apa kauhilang?"
"Aku bilang, manusia-manusia ini tak mempunyai moral," sahut Willem
Erbefeld. "Dia sudah dapat menyiksa seorang anak di bawah umur. Dan seorang
macam itu kau gunakan sebagai perwira pengawal pribadi. Bukankah pengawal
itu mencerminkan hati yang dikawal?"
Gubernur Jenderal P Vuyst lantas menghunus pedang. Willem Erbefeld tidak
gentar. Ia tentang pedang itu dengan pandang tajam.
"Kau bunuhlah aku! Aku takkan melawan." katanya dengan keras.
Gubernur Jenderal menggigil menahan marah. Tetapi ia mengurungkan niatnya
menyabet pedang. Ia pandang Willem Erbefeld tanpa berkedip.
"Siapa kau sebenarnya!"
"Willem! Willem Erbefeld. Aku keluarga pemberontak. Leluhurku dihukum
pancung. Nah, hukumlah aku!" sahut Willem Erbefeld dengan berani. "Tetapi
aku mau mati secara kesatria. Sayang, di sini tidak seorangpun yang berhati
jantan."
Gubernur Jenderal Vuyst berpaling kepada Mayor de Groote.
"De Groote! Kau kena tendangnya. Kau kuberi kehormatan untuk berduel. Hukum
dia!" perintahnya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar