Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
4.30.2019
HUMOR SIANG. ``` W A R I S A N ```
HUMOR SIANG. ``` W A R I S A N ```
*Ada seorang suami Pengusaha Susu Kacang Ijo sedang sakit di Ruang ICU* ;
Dikelilingi oleh istri beserta anak-anaknya,
(2 putra dan 1 putri)
*Dia berkata* :
"Alim, kamu putra tertuaku mewarisi Apartement Menteng."
*Kepada Putri* nya :
"Aminah, Kamu perumahan Kelapa Gading Indah."
*Kepada Si Bungsu* :
"Amril sebagai anak bungsu,
kamu perkantoran di Mulia Tower Lantai 4 s/d 15."
Tak Ketinggalan
*Kepada Istri* ~ nya :
"Maria kamu istriku yang baik,
mendapatkan tiga komplek perumahan Mewah di Pantai Indah Kapuk."
_*Suster perawat yg mendengar itu jadi takjub dan berbisik ke istri~nya*_ :
*Wow Bu*, *Ibu.....*
*Sungguh beruntung* !!!!
*Walaupun Bapak cuman pengusaha susu kacang ijo*,
*Tetapi sangat kaya, bisa mewariskan semua harta~nya ke keluarga seperti itu."*
*Istri* *nya berkata* :
"Kaya kepalamu peyang !!!
beruntung apa~nya,
kamu ga tau yach ???
Yang diwariskan itu adalah :
*Rute nganter SuSu kacang ijo~nya Tau !!!... "*
*S u s t e r :*
*Haaahh...???* ๐ฑ๐ฑ๐ฑ
๐ณ♀๐ณ♀ ๐ณ♀๐ณ♀ ๐ณ♀
๐ ๐ ๐ ๐คฃ๐๐ป๐๐ป
*TERTAWA SEJENAK* ๐๐๐
*_HATI YG GEMBIRA ADALAH OBAT YG MUJARAB_*
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
*Ada seorang suami Pengusaha Susu Kacang Ijo sedang sakit di Ruang ICU* ;
Dikelilingi oleh istri beserta anak-anaknya,
(2 putra dan 1 putri)
*Dia berkata* :
"Alim, kamu putra tertuaku mewarisi Apartement Menteng."
*Kepada Putri* nya :
"Aminah, Kamu perumahan Kelapa Gading Indah."
*Kepada Si Bungsu* :
"Amril sebagai anak bungsu,
kamu perkantoran di Mulia Tower Lantai 4 s/d 15."
Tak Ketinggalan
*Kepada Istri* ~ nya :
"Maria kamu istriku yang baik,
mendapatkan tiga komplek perumahan Mewah di Pantai Indah Kapuk."
_*Suster perawat yg mendengar itu jadi takjub dan berbisik ke istri~nya*_ :
*Wow Bu*, *Ibu.....*
*Sungguh beruntung* !!!!
*Walaupun Bapak cuman pengusaha susu kacang ijo*,
*Tetapi sangat kaya, bisa mewariskan semua harta~nya ke keluarga seperti itu."*
*Istri* *nya berkata* :
"Kaya kepalamu peyang !!!
beruntung apa~nya,
kamu ga tau yach ???
Yang diwariskan itu adalah :
*Rute nganter SuSu kacang ijo~nya Tau !!!... "*
*S u s t e r :*
*Haaahh...???* ๐ฑ๐ฑ๐ฑ
๐ณ♀๐ณ♀ ๐ณ♀๐ณ♀ ๐ณ♀
๐ ๐ ๐ ๐คฃ๐๐ป๐๐ป
*TERTAWA SEJENAK* ๐๐๐
*_HATI YG GEMBIRA ADALAH OBAT YG MUJARAB_*
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tongseng
Kulo tongsenge mawon... *monggo dahar rumiyin* ๐คค
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Es dawet
Dari namanya sepertinya enak nih๐คญ
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Gili Trawangan, Indonesia

Gili Trawangan, Indonesia
Known for its coral reefs, this is a beautiful island to visit while
touring Indonesia. But majestic reefs aren't the only thing to explore
underwater here. Not only does it have sea turtles swimming at Turtle
Point, and a sunken ship to explore at Wreck Point near Mentigi Beach, but
it also has this haunting underwater sculpture which will eventually
transform into a reef!
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Gili Trawangan, Indonesia
Known for its coral reefs, this is a beautiful island to visit while
touring Indonesia. But majestic reefs aren't the only thing to explore
underwater here. Not only does it have sea turtles swimming at Turtle
Point, and a sunken ship to explore at Wreck Point near Mentigi Beach, but
it also has this haunting underwater sculpture which will eventually
transform into a reef!
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@ Bagian 36

@bende mataram@
Bagian 36
Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst ternyata didesak mundur.
Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang menghadap Gubernur Jenderal
Vuyst.
"Pasukan pengawal tak sanggup bertahan," katanya.
"Hm," sahut Gubernur Jenderal. "Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak
mau mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup
mengurusi tanah jajahan yang tersebar luas di bumi kepu-lauan ini? Hai,
jangan sekali-kali lagi bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!"
Didamprat demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus
berubah. Mendadak saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu
dengan menghunus pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya
berputaran seperti kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote
terus menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini
ditiru oleh serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC
berkibar-kibar di tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia
melompat dan menyerang. Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil
merangsak maju. Panji-panji VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat
ia mengundurkan diri sambil membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan panji-panji itu di depan Gubernur Jenderal hendak mencari pujian.
"Sudah dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali
tembakan tanda serbuan serentak?" teriaknya.
"Bagus! Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum
tiba saatnya. Mereka belum lelah."
De Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji
kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan
Nusantara belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya.
Itulah sebabnya mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar
teriakan-teriakan mereka.
"Serbu! Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!"
Barisan pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan
mati-matian. Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat
panji-panji erat-erat. Ia belum dapat mengambil keputusan tetap.
Sekonyong-konyong dari arah timur muncullah seorang panglima dengan
mengenakan pakaian perisai. Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas
menembak. Dan tiang panjipanji VOC yang digenggam Mayor de Groote patah
berantakan.
"Bagus!" seru Gubernur Jenderal P Vuyst.
Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang bendera kebangsaan Belanda
runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur Jenderal tak
memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba menajamkan
penglihatannya.
"Bagus! Penembak jitu. Siapa dia?" Teriaknya nyaring.
Berbareng dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang
pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas.
Mayor de Groote menggigil cemas.
"Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?" Mayor de Groote
berteriak. "Sebentar lagi," sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.
Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya
kena tembakan dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia
rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.
Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas.
Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kembali. Kemudian memberi
perintah, "Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng."
Dengan perintah itu tembakan tanda serbuan dilepaskan ke udara. Dari balik
gundukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira
Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan
teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang
memimpin pengawal Gubernur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.
Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi
berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan
dirangsak dari samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.
Panglima yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua
Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak menghadang, "Jangan kacau!
Bertahan dan serang!"
Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai
kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat
digunakan lagi. Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak
mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas
Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelanggang.
"Tangkap dia!" perintah Gubernur Jenderal P Vuyst.
Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan
berbareng mendesak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan
lari mengarah ke gundukan Sangaji.
Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu
tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh
terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang.
Mereka terpaksa menyibakkan kudanya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan
demikian panglima itu dapat meloloskan diri.
Sangaji kagum melihat sepak terjang panglima itu. Pandang matanya tak
pernah lepas daripadanya.
Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena
tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia
terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.
Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji.
Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka
panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah, la terluka parah. Tetapi
ia masih berusaha merang-kak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang.
Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.
"Tolong ambilkan air!" Katanya ketika melihat Sangaji.
Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Mendadak teringatlah dia air sungai.
Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di
tepi sungai matanya celi-ngukan mencari daun. Ia mendapat daun itik.
Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu.
"Ini air sungai," katanya.
Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan terus diminum. Baru
saja mulutnya
menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya
benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. Ia
rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.
Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya
berjongkok mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia
menanggalkan bajunya dan dibuatnya membebat luka panglima itu.
Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld.
Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan
kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya39)
Beberapa saat kemudian, Willem menyenakkan mata. "Adik kecil ... kaupunya
senjata bidik?" katanya perlahan. "Punya."
"Bagus. Ambilkan aku air lagi."
Sangaji lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan
menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.
"Terima kasih, adik yang baik," bisik Willem. "Kau mengorbankan bajumu
untuk lukaku."
Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang.
Diulurkan mata uang itu kepada Sangaji. "Adik yang baik, terimalah uang ini
untukmu."
Sangaji menggelengkan kepala. "Aku tak dilarang menerima apa pun juga
sebagai balas jasa." "Siapa yang melarangmu?" "Ibu."
Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa
darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin
mendekat.
"Adik!" ia terkejut. "Mana senjata bidikmu?"
Sangaji merogoh sakunya dan mengeluarkan katapelnya. Diangsurkan katapel
itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi
lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.
"Adik yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung."
Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja
tertawa berkakakan.
"Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi
maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel."
"Senapan? Aku tak punya," ujar Sangaji.
Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang
kanak-kanak mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat
pertimbangan itu, dia tertawa lagi,
"Ah ... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan
mereka dengan pedang ini."
"Kauluka parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak
sembunyi saja?" Willem heran oleh usul itu. "Di mana aku bisa bersembunyi?"
Sekarang Sangaji yang terkejut. Ia menyapukan pandangannya. Tidak
dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan terowongan air
di dalam sungai. Gap-gap ia berkata, "Di dalam tebing sungai kulihat ada
sebuah terowongan. Mungkin goa ... mungkin pula ..."
Willem lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur
dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu
banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah bersembunyi.
"Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 36
Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst ternyata didesak mundur.
Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang menghadap Gubernur Jenderal
Vuyst.
"Pasukan pengawal tak sanggup bertahan," katanya.
"Hm," sahut Gubernur Jenderal. "Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak
mau mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup
mengurusi tanah jajahan yang tersebar luas di bumi kepu-lauan ini? Hai,
jangan sekali-kali lagi bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!"
Didamprat demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus
berubah. Mendadak saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu
dengan menghunus pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya
berputaran seperti kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote
terus menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini
ditiru oleh serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC
berkibar-kibar di tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia
melompat dan menyerang. Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil
merangsak maju. Panji-panji VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat
ia mengundurkan diri sambil membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan panji-panji itu di depan Gubernur Jenderal hendak mencari pujian.
"Sudah dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali
tembakan tanda serbuan serentak?" teriaknya.
"Bagus! Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum
tiba saatnya. Mereka belum lelah."
De Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji
kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan
Nusantara belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya.
Itulah sebabnya mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar
teriakan-teriakan mereka.
"Serbu! Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!"
Barisan pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan
mati-matian. Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat
panji-panji erat-erat. Ia belum dapat mengambil keputusan tetap.
Sekonyong-konyong dari arah timur muncullah seorang panglima dengan
mengenakan pakaian perisai. Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas
menembak. Dan tiang panjipanji VOC yang digenggam Mayor de Groote patah
berantakan.
"Bagus!" seru Gubernur Jenderal P Vuyst.
Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang bendera kebangsaan Belanda
runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur Jenderal tak
memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba menajamkan
penglihatannya.
"Bagus! Penembak jitu. Siapa dia?" Teriaknya nyaring.
Berbareng dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang
pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas.
Mayor de Groote menggigil cemas.
"Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?" Mayor de Groote
berteriak. "Sebentar lagi," sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.
Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya
kena tembakan dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia
rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.
Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas.
Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kembali. Kemudian memberi
perintah, "Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng."
Dengan perintah itu tembakan tanda serbuan dilepaskan ke udara. Dari balik
gundukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira
Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan
teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang
memimpin pengawal Gubernur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.
Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi
berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan
dirangsak dari samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.
Panglima yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua
Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak menghadang, "Jangan kacau!
Bertahan dan serang!"
Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai
kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat
digunakan lagi. Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak
mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas
Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelanggang.
"Tangkap dia!" perintah Gubernur Jenderal P Vuyst.
Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan
berbareng mendesak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan
lari mengarah ke gundukan Sangaji.
Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu
tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh
terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang.
Mereka terpaksa menyibakkan kudanya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan
demikian panglima itu dapat meloloskan diri.
Sangaji kagum melihat sepak terjang panglima itu. Pandang matanya tak
pernah lepas daripadanya.
Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena
tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia
terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.
Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji.
Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka
panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah, la terluka parah. Tetapi
ia masih berusaha merang-kak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang.
Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.
"Tolong ambilkan air!" Katanya ketika melihat Sangaji.
Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Mendadak teringatlah dia air sungai.
Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di
tepi sungai matanya celi-ngukan mencari daun. Ia mendapat daun itik.
Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu.
"Ini air sungai," katanya.
Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan terus diminum. Baru
saja mulutnya
menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya
benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. Ia
rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.
Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya
berjongkok mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia
menanggalkan bajunya dan dibuatnya membebat luka panglima itu.
Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld.
Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan
kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya39)
Beberapa saat kemudian, Willem menyenakkan mata. "Adik kecil ... kaupunya
senjata bidik?" katanya perlahan. "Punya."
"Bagus. Ambilkan aku air lagi."
Sangaji lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan
menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.
"Terima kasih, adik yang baik," bisik Willem. "Kau mengorbankan bajumu
untuk lukaku."
Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang.
Diulurkan mata uang itu kepada Sangaji. "Adik yang baik, terimalah uang ini
untukmu."
Sangaji menggelengkan kepala. "Aku tak dilarang menerima apa pun juga
sebagai balas jasa." "Siapa yang melarangmu?" "Ibu."
Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa
darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin
mendekat.
"Adik!" ia terkejut. "Mana senjata bidikmu?"
Sangaji merogoh sakunya dan mengeluarkan katapelnya. Diangsurkan katapel
itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi
lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.
"Adik yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung."
Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja
tertawa berkakakan.
"Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi
maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel."
"Senapan? Aku tak punya," ujar Sangaji.
Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang
kanak-kanak mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat
pertimbangan itu, dia tertawa lagi,
"Ah ... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan
mereka dengan pedang ini."
"Kauluka parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak
sembunyi saja?" Willem heran oleh usul itu. "Di mana aku bisa bersembunyi?"
Sekarang Sangaji yang terkejut. Ia menyapukan pandangannya. Tidak
dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan terowongan air
di dalam sungai. Gap-gap ia berkata, "Di dalam tebing sungai kulihat ada
sebuah terowongan. Mungkin goa ... mungkin pula ..."
Willem lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur
dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu
banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah bersembunyi.
"Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
4.29.2019
Ptilinopus jambu

Ptilinopus jambu
A brightly colored bird, the jambu fruit dove has green markings on the
back, wings and tail, with a bright orange beak. The species is sexually
dimorphic, meaning males and females differ in appearance. Males have a
crimson face and white chest displaying a pink patch near the throat while
females possess a light purple face and green chest.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Ptilinopus jambu
A brightly colored bird, the jambu fruit dove has green markings on the
back, wings and tail, with a bright orange beak. The species is sexually
dimorphic, meaning males and females differ in appearance. Males have a
crimson face and white chest displaying a pink patch near the throat while
females possess a light purple face and green chest.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@ Bagian 35

@bende mataram@
Bagian 35
TUJUH tahun lewatlah sudah—tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari,
di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat
belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih
dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji
—anak Rukmini dan Made Tantre.
Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi
menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta
bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya.
Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya,
ia tak akan ragu lagi untuk maju.
Dua minggu lamanya dia hidup tak berke-tentuan. Tidurnya di teritisan rumah
dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih
dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas
itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.
Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu
senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya,
kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa
pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlintas dalam
pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di desanya.
Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji
dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia,
segera Sangaji dipeluknya makin erat.
Tampak seorang laki-laki keluar pintu dengan berjalan tertatih-tatih.
Melihat Rukmini dan
Sangaji orang itu menegur, "Siapa kalian?"
Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam
bahasa Jawa. "Kula tiyang kesrakat )."
Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu ).
Ia mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini
terpaksa mengisahkan riwayaj: perjalanannya.
"Masyaallah ... di dunia ini kenapa ada kejadian begitu," haji itu mengeluh
dalam. "Mengapa di Jawa-pun ada peristiwa semacam pembakaran kampung Cina )!"
Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia seorang yang berhati baik. Mendengar
riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini
masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu
Rukmini ikut padanya.
Dua tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan
jumlah-nya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris, la
kini sudah dapat menye-suaikan diri dengan kampung halamannya yang baru.
Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri, la menyewa sebuah rumah
sederhana. Kemudian membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa.
Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini.
Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan
hidupnya timbul tenggelam tak menentu, la tetap gigih sampai lima tahun
lagi lewat tanpa suara.
Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik.
Gerak-gerik-nya cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang
serba cepat. Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli
kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan ).
Pada hari itu ia lagi iseng, la dolan keluar kota dengan membawa katapel36)
dan pan-cing. Kalau aku bisa membawa pulang beberapa ekor burung dan ikan,
alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji.
Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke
kali. Tat-kala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar
semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya terowongan itu.
la berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan?—pikirnya. Atau
sarang kura-kura?
Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap
kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking
terompet. Lantas suara gen-derang, disusul tembakan-tembakan senapan.
Sangaji terperanjat, la lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya
melihat ke jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah
suatu pasukan kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung.
Hanya kepala pasukan itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan
perintah. Pasukan itu lantas terpecah menjadi dua bagian—ke timur dan ke
barat. Yang mengarah ke timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang
mengarah ke barat berpakaian hitam lekam.
Sangaji tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena
serdadu-serdadu kerap-kali melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan
terus mengintai.
Tak lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur
rapi. Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian
beberapa barisan lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak
kegemuk-gemukan. Perwira itu berpakaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu
putih sebagai penutup leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.
Barisan yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka
menunggu. Begitu pasukan yang datang dari arah selatan tiba, mereka
menyerbu dengan cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi ).
Pihak penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri.
Meskipun berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi
dari arah belakang, datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga
pasukan besar. Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka
berimbang. Masing-masing pantang menyerah.
Sekonyong-konyong terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali.
Mereka menyerang kemudian berteriak-teriak nyaring. "Barisan menyibak!
Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst datang!"
Mendengar teriakan itu, seluruh pertempuran berhenti dengan tiba-tiba.
Mereka meng-alihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan
besar yang datang de-ngan perlahan-lahan.
Sangaji ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat
berwibawa. Nampak pula sehelai bendera raksasa berwarna merahputih-biru
berkibar-kibar ditiup angin. Lantas terdengar suara teriakan nyaring,
"Serang! Gubernur Jenderal berkenan menyaksikan!
Mendengar teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu.
Pertempuran sengit berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup
penglihatan. Pasukan penyerang kali ini nampak bersemangat. Mereka tak
kenal takut lagi. Dengan semangat bertempur itu, mereka dapat mengacaukan
lawannya.
Panji-panji raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah
gundukan tinggi. Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke
atas gundukan. Di sana ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk
tenang-tenang di atas pelana kudanya. Perwira itu mengenakan pakaian baju
perang yang dilapisi perisai. Kain lehernya ditebali oleh seg-ulung kain
putih. Lengan pergelangan tangan dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada
pinggangnya tergantung seleret pedang panjang, la menumpahkan seluruh
perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disamping-nya berdiri dua regu
kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.
Tak lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang
dipukul mundur. Perwira berkain leher putih
yang memimpin serangan memutar kudanya dan lari mendaki bukit. Ia meloncat
dari kudanya dan berteriak nyaring kepada Gubernur Jenderal Vuyst.
"Musuh tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan )."
Gubernur Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.
"Bawalah dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus
pasukan berkuda pimpinan Kapten DoOrslag, suruhlah melarikan diri ke arah
barat. Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau
mendengar bunyi tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng."
Katanya memberi perintah.
Perwira muda itu lantas saja mengundurkan diri. Ia mencari Kapten Doorslag
dan menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu
keributan. Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar
seolah-olah kalah perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak
gemuruh.
Dengan pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke
gundukan tinggi di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan
pengawal Gubernur Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan
diri dengan dipimpin Mayor de Groote.
"Lindungi Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!" perintahnya garang.
Pertempuran kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai
tujuan. Pedang, golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa
pembunuhan mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.
Sangaji tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut
berkebat-kebit. Ia melihat
suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya
menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang
tentu pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan
dan bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian
menubras-nubras sejadi-jadinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 35
TUJUH tahun lewatlah sudah—tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari,
di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat
belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih
dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji
—anak Rukmini dan Made Tantre.
Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi
menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta
bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya.
Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya,
ia tak akan ragu lagi untuk maju.
Dua minggu lamanya dia hidup tak berke-tentuan. Tidurnya di teritisan rumah
dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih
dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas
itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.
Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu
senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya,
kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa
pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlintas dalam
pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di desanya.
Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji
dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia,
segera Sangaji dipeluknya makin erat.
Tampak seorang laki-laki keluar pintu dengan berjalan tertatih-tatih.
Melihat Rukmini dan
Sangaji orang itu menegur, "Siapa kalian?"
Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam
bahasa Jawa. "Kula tiyang kesrakat )."
Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu ).
Ia mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini
terpaksa mengisahkan riwayaj: perjalanannya.
"Masyaallah ... di dunia ini kenapa ada kejadian begitu," haji itu mengeluh
dalam. "Mengapa di Jawa-pun ada peristiwa semacam pembakaran kampung Cina )!"
Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia seorang yang berhati baik. Mendengar
riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini
masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu
Rukmini ikut padanya.
Dua tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan
jumlah-nya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris, la
kini sudah dapat menye-suaikan diri dengan kampung halamannya yang baru.
Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri, la menyewa sebuah rumah
sederhana. Kemudian membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa.
Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini.
Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan
hidupnya timbul tenggelam tak menentu, la tetap gigih sampai lima tahun
lagi lewat tanpa suara.
Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik.
Gerak-gerik-nya cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang
serba cepat. Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli
kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan ).
Pada hari itu ia lagi iseng, la dolan keluar kota dengan membawa katapel36)
dan pan-cing. Kalau aku bisa membawa pulang beberapa ekor burung dan ikan,
alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji.
Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke
kali. Tat-kala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar
semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya terowongan itu.
la berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan?—pikirnya. Atau
sarang kura-kura?
Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap
kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking
terompet. Lantas suara gen-derang, disusul tembakan-tembakan senapan.
Sangaji terperanjat, la lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya
melihat ke jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah
suatu pasukan kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung.
Hanya kepala pasukan itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan
perintah. Pasukan itu lantas terpecah menjadi dua bagian—ke timur dan ke
barat. Yang mengarah ke timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang
mengarah ke barat berpakaian hitam lekam.
Sangaji tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena
serdadu-serdadu kerap-kali melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan
terus mengintai.
Tak lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur
rapi. Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian
beberapa barisan lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak
kegemuk-gemukan. Perwira itu berpakaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu
putih sebagai penutup leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.
Barisan yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka
menunggu. Begitu pasukan yang datang dari arah selatan tiba, mereka
menyerbu dengan cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi ).
Pihak penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri.
Meskipun berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi
dari arah belakang, datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga
pasukan besar. Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka
berimbang. Masing-masing pantang menyerah.
Sekonyong-konyong terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali.
Mereka menyerang kemudian berteriak-teriak nyaring. "Barisan menyibak!
Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst datang!"
Mendengar teriakan itu, seluruh pertempuran berhenti dengan tiba-tiba.
Mereka meng-alihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan
besar yang datang de-ngan perlahan-lahan.
Sangaji ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat
berwibawa. Nampak pula sehelai bendera raksasa berwarna merahputih-biru
berkibar-kibar ditiup angin. Lantas terdengar suara teriakan nyaring,
"Serang! Gubernur Jenderal berkenan menyaksikan!
Mendengar teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu.
Pertempuran sengit berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup
penglihatan. Pasukan penyerang kali ini nampak bersemangat. Mereka tak
kenal takut lagi. Dengan semangat bertempur itu, mereka dapat mengacaukan
lawannya.
Panji-panji raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah
gundukan tinggi. Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke
atas gundukan. Di sana ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk
tenang-tenang di atas pelana kudanya. Perwira itu mengenakan pakaian baju
perang yang dilapisi perisai. Kain lehernya ditebali oleh seg-ulung kain
putih. Lengan pergelangan tangan dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada
pinggangnya tergantung seleret pedang panjang, la menumpahkan seluruh
perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disamping-nya berdiri dua regu
kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.
Tak lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang
dipukul mundur. Perwira berkain leher putih
yang memimpin serangan memutar kudanya dan lari mendaki bukit. Ia meloncat
dari kudanya dan berteriak nyaring kepada Gubernur Jenderal Vuyst.
"Musuh tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan )."
Gubernur Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.
"Bawalah dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus
pasukan berkuda pimpinan Kapten DoOrslag, suruhlah melarikan diri ke arah
barat. Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau
mendengar bunyi tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng."
Katanya memberi perintah.
Perwira muda itu lantas saja mengundurkan diri. Ia mencari Kapten Doorslag
dan menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu
keributan. Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar
seolah-olah kalah perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak
gemuruh.
Dengan pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke
gundukan tinggi di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan
pengawal Gubernur Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan
diri dengan dipimpin Mayor de Groote.
"Lindungi Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!" perintahnya garang.
Pertempuran kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai
tujuan. Pedang, golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa
pembunuhan mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.
Sangaji tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut
berkebat-kebit. Ia melihat
suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya
menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang
tentu pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan
dan bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian
menubras-nubras sejadi-jadinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Castbar
Lakone yo sing sepuh dewe to ya...
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
4.27.2019
Kotes
Ni ambil geratis edisi gada tempat, lok jombor.....japri aja
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Spoiler avenger
Film Avengers: Endgame dibuka dengan adegan Hawkeye yang sedang
bercengkrama dengan keluarganya. Namun sekejap kemudian, istri dan
anak-anaknya menghilang. keluarganya lenyap menjadi korban jentikan tangan
Thanos.
Yang sudah mengikuti Avenger: Infinity War, tentu sudah tak asing dengan
sosok Thanos, makhluk yang mengumpulkan semua batu ajaib untuk menguasai
dan menghancurkan universe alias alam semesta.
Dilanjutkan dengan adegan Iron Man yang sedang bermain dengan Nebula di
dalam pesawat yang terombang-ambing di luar angkasa. Keduanya kini
berkawan. Putus asa, karena tidak bisa kembali ke bumi. Rocket sang rakun
juga ada di pesawat tersebut.
Di sinilah kemudian muncul tokoh baru, Captain Marvel. Menyelamatkan
keduanya dan membawa pesawat tersebut kembali ke bumi. Tokoh Captain Marvel
(Brie Larson) dibuatkan film tersendiri sebelum Endgame rilis.
Di bumi, para Super Hero sudah berkumpul sesudah bencana Thanos yakni Black
Widow, Captain America, Hulk, War Machine, dan Thor, yang sangat bersedih
kehilangan banyak orang. Iron Man kembali bertemu dengan Pepper yang
ternyata masih hidup.
Dari hasil diskusi, diketahui Thanos sudah ada di salah satu planet, hidup
menyendiri. Avengers pun mendatangi Thanos dan mencari batu-batu.
Sayangnya, kelima batu tersebut sudah hancur. Mereka pun membunuh Thanos
dan Thanos tewas.
Ant Man Muncul
Cerita kemudian dibawa ke lima tahun ke depan. Para Avengers terpecah belah
dan mencoba melanjutkan hidup. Sampai kemudian muncul lah Ant Man di depan
pintu markas. Ant Man yang dikira tewas ternyata masih hidup.
Ant Man tidak mncul di Infinity War dan pada Edgame menjadi salah satu
kunci dari film karena ia membawa teori mesin waktu, untuk mengambil
kembali batu tersebut. Dengan adanya kelima batu tersebut, orang-orang yang
hilang dari jentikan Thanos bisa kembali.
Captain America, dan Black Widow pun mendatangi Iron Man untuk minta
bantuan. Namun Iron Man yang sudah memiliki putri usia lima pun menolak,
karena enggan mengubah keadaan.
Mereka pun minta batuan Hulk. Dalam kondisi ini, Hulk tampil hijau, tapi
tidak marah-marah. Bruce mencoba membantu membuat mesin waktu tersebut,
namun tidak berhasil. Iron Man datang ke markas, setelah memutuskan untuk
membantu.
Dengan adanya mesin waktu, Avengers pun dikumpulkan. Termasuk Hawkeye yang
menjadi pembunuh, dan Thor, yang sudah menjadi gendut karena depresi. Yah,
Thor yang gagah menjadi gendut dan pemabuk.
Berpencar di Masa Lalu
Akhirnya semua Avengers pun berkumpul, dan memutuskan untuk mencari
batu-batu tersebut di masa lalu dengan menggunakan mesin waktu. Mereka
berpencar.
Hulk, Captain America, Ant Man, dan Iron Man pergi ke New York, di mana ada
tiga batu di sana. Hulk bertemu dengan Ancient One untuk mengambil Time
Stone. Ia berhasil.
Sementara Captain dan Iron Man bertemu dengan diri mereka di masa lalu
untuk mencari dua batu yang tersisa, dengan dibantu , Ant Man. Misi gagal,
sehingga mereka harus kembali ke tahun 70-an untuk mencari satu batu yang
tersisa. Di sini Iron Man bertemu ayahnya dan Captain bertemu cinta
sejatinya di masa lalu.
Nebula dan War Machine pergi ke luar angkasa. Batu berhasil didapatkan,
namun sayangnya, Nebula berhasil ditangkap oleh Thanos di masa lalu itu,
Nebula masa itu bersama Gomora.
Di sini juga Thanos berhasil mengetahui rencana para Avengers. Ia mengirim
Nebula masa itu yang masih jahat, menyamar sebagai Nebula yang sudah baik.
Sementara Black Widow dan Hawkeye mencari soul stone. Seperti halnya ketika
Thanos mengorbankan Gamora di seri Infinity Wars, untuk mendapatkan batu
tersebut salah seorang harus berkorban.
Di sini momen haru. Baik Hawkeye maupun Black Widow sama-sama berkorban
untuk mati. Akhirnya, Black Widow lah yang tewas terjatuh.
Sementara Thor dan Rocket ke Asgard, mencari reality stone. Thor yang
pemabuk bertemu dengan ibunya yang sudah meninggal. Ini momen ia menjadi sadar.
Kembali ke Masa Sekarang
Dengan lima batu di tangan, mereka pun kembali ke masa sekarang. Sayangnya
Black Widow tidak bisa kembali. Kesedihan pun menyelimuti anggota Avengers.
Namun mereka terus melaju dengan rencana awal.
Kelima batu diletakkan di sarung tangan khusus buatan Iron Man. Hulk
dipercaya untuk menggunakannya, dan menjentikkan jari. Untuk mengembalikan
semua yang hilang, namun tanpa mengubah peristiwa yang sudah berjalan
selama lima tahun.
Hulk terluka parah karena pengaruh kekuatan batu. Namun usaha tidak
sia-sia. Karena tak lama, istri Hawkeye menelpon, menandakan ia sudah kembali.
Serangan Thanos
Namun film belum selesai di sini. Tanpa sepengetahuan mereka, Nebula yang
jahat (berasal dari masa lalu) membuka portal mesin waktu. Dan Thanos pun
datang. Bom dari pesawatnya menghancurleburkan markas Avengers.
Semua selamat, namun tercerai berai. Hawkeye mendapatkan sarung tangan
tersebut, namun dikejar pasukan Thannos.
Hawkeye bertemu Nebula (jahat), yang mengira ia adalah rekan. Sarung tangan
diserahkan kepadanya. Saat itulah diketahui bahwa ia jahat. Hawkeye nyaris
tewas.
Namun diselamatkan oleh Nebula (baik) yang bekerjasama dengan Gamora
melarikan diri dari penjara di kapal Thannos. Nebula (baik) membunuh Nebula
(jahat).
Sementara Thor, Captain America, dan Iron Man, bertemu Thannos. Pertempuran
besar tak terhindarkan. Thor nyaris tewas, namun diselamatkan oleh Captain
America, yang kini bisa menggunakan palu milik Thor.
Ketiganya nyaris kalah. Sampai kemudian mereka mendapat kabar baik.
Sementara Hulk, War Machine, dan Rocket nyaris tenggelam.
Munculnya Avengers yang Hilang
Avengers nyaris kalah. Thanos pun mendatangkan ribuan pasukannya. Ia
berjanji akan menghancurkan seluruh isi bumi. Para Avengers nyaris berputus
asa.
Sampai kemudian ada sambungan komunikasi masuk. Bala bantuan datang. Hulk,
War Machine, dan Rocket diselamatkan oleh Ant Man yang menjadi raksasa.
Tak lama, muncullah bulatan-bulatan kuning khas para penjaga waktu. Dari
dalam lingkaran tersebut satu persatu muncullah para pahlawan Avengers yang
sebelumnya hilang dihapus dari dunia oleh Thanos.
Mulai dari Dr Strange, Spiderman, Falcon, Star Lord dan anggota Guardians
of The Galaxy lainya, The Wasp, Scarlet Witch, dan Black Panther.
Muncul juga tokoh-tokoh yang membantu seperti Bucky, Pepper dengan baju
besi Iron Man, Valkyrie dari Asgard, Wong, Okoye dan Shuri serta pasukan
dari Wakanda, dan masih banyak lagi. Ditambah dengan kembali munculnya
Captain Marvel.
Kedatangan para jagoan ini pun menghancurkan pasukan Thanos. Pertempuran
seru terjadi. Ditambah dengan keharuan dari pertemuan tersebut.
Ada adegan seru di mana semua tokoh wanita bersatu mempertahankan sarung
tangan yang lengkap dengan batu, agar tidak jatuh kembali ke tangan Thanos.
Pertempuran Berakhir
Namun sayang, usaha mereka mempertahankan sarung tangan tidak berhasil.
Sarung tangan bersama batu-batu ajaib tersebut berhasil didapatkan oleh Thanos.
Sebagai usaha terakhir, atas kerjasama Dr Strange dan Iron Man, kelima batu
yang ada di sarung tangan tersebut berhasil direbut oleh Iron Man.
Jadi, ketika Thanos kembali menjentikkan jari untukmenghapus semua
kehidupan di alam semesta, tidak bisa terjadi.
Kelima batu tersebut terpasang di sarung tangan baju besi Iron Man.
Kekuatan besar dari batu-batu tersebut menyiksa Iron Man. Ia kesakitan, dan
sebagian tubuhnya menghitam.
Namun, ia berhasil menahan sakit tersebut dan menjentikkan jari. Bersamaan
dengan itu seluruh pasukan Thanos menjadi abu. Termasuk juga Thanos.
Pertempuran berakhir.
Selamat Tinggal Iron Man
Pertempuran berakhir, Avengers menang. Namun kondisi Iron Man sangat
memprihatinkan. Ia kritis. Ia pun tewas di pelukan Pepper. Kesedihan
berlanjut di pemakaman Iron Man, yang dihadiri juga oleh Nick Furry.
Sementara Avengers yang lain, berbahagia bersama keluarganya, yang kembali
dipersatukan setelah lama menghilang.
Adegan terakhir adalah saat Captain America bersama Bucky dan Hulk,
menggunakan kembali mesin waktu tersebut, untuk mengembalikan semua batu ke
tempatnya.
Captain America
Tapi, di saat yang ditentukan, Captain America tidak kembali. Yang justru
muncul kembali adalah seorang pria tua.
Ternyata ia adalah Captain America yang menjalani hidupnya di tahun 70-an,
bersama cinta sejatinya di masa itu.
Tips yang ingin menonton, jangan alihkan fokus Anda. Karena alur film ini
maju dan mundur, bahkan jauh ke depan dan endingnnya di tahun 1970-an.
Selamat menikmati. (*)
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
bercengkrama dengan keluarganya. Namun sekejap kemudian, istri dan
anak-anaknya menghilang. keluarganya lenyap menjadi korban jentikan tangan
Thanos.
Yang sudah mengikuti Avenger: Infinity War, tentu sudah tak asing dengan
sosok Thanos, makhluk yang mengumpulkan semua batu ajaib untuk menguasai
dan menghancurkan universe alias alam semesta.
Dilanjutkan dengan adegan Iron Man yang sedang bermain dengan Nebula di
dalam pesawat yang terombang-ambing di luar angkasa. Keduanya kini
berkawan. Putus asa, karena tidak bisa kembali ke bumi. Rocket sang rakun
juga ada di pesawat tersebut.
Di sinilah kemudian muncul tokoh baru, Captain Marvel. Menyelamatkan
keduanya dan membawa pesawat tersebut kembali ke bumi. Tokoh Captain Marvel
(Brie Larson) dibuatkan film tersendiri sebelum Endgame rilis.
Di bumi, para Super Hero sudah berkumpul sesudah bencana Thanos yakni Black
Widow, Captain America, Hulk, War Machine, dan Thor, yang sangat bersedih
kehilangan banyak orang. Iron Man kembali bertemu dengan Pepper yang
ternyata masih hidup.
Dari hasil diskusi, diketahui Thanos sudah ada di salah satu planet, hidup
menyendiri. Avengers pun mendatangi Thanos dan mencari batu-batu.
Sayangnya, kelima batu tersebut sudah hancur. Mereka pun membunuh Thanos
dan Thanos tewas.
Ant Man Muncul
Cerita kemudian dibawa ke lima tahun ke depan. Para Avengers terpecah belah
dan mencoba melanjutkan hidup. Sampai kemudian muncul lah Ant Man di depan
pintu markas. Ant Man yang dikira tewas ternyata masih hidup.
Ant Man tidak mncul di Infinity War dan pada Edgame menjadi salah satu
kunci dari film karena ia membawa teori mesin waktu, untuk mengambil
kembali batu tersebut. Dengan adanya kelima batu tersebut, orang-orang yang
hilang dari jentikan Thanos bisa kembali.
Captain America, dan Black Widow pun mendatangi Iron Man untuk minta
bantuan. Namun Iron Man yang sudah memiliki putri usia lima pun menolak,
karena enggan mengubah keadaan.
Mereka pun minta batuan Hulk. Dalam kondisi ini, Hulk tampil hijau, tapi
tidak marah-marah. Bruce mencoba membantu membuat mesin waktu tersebut,
namun tidak berhasil. Iron Man datang ke markas, setelah memutuskan untuk
membantu.
Dengan adanya mesin waktu, Avengers pun dikumpulkan. Termasuk Hawkeye yang
menjadi pembunuh, dan Thor, yang sudah menjadi gendut karena depresi. Yah,
Thor yang gagah menjadi gendut dan pemabuk.
Berpencar di Masa Lalu
Akhirnya semua Avengers pun berkumpul, dan memutuskan untuk mencari
batu-batu tersebut di masa lalu dengan menggunakan mesin waktu. Mereka
berpencar.
Hulk, Captain America, Ant Man, dan Iron Man pergi ke New York, di mana ada
tiga batu di sana. Hulk bertemu dengan Ancient One untuk mengambil Time
Stone. Ia berhasil.
Sementara Captain dan Iron Man bertemu dengan diri mereka di masa lalu
untuk mencari dua batu yang tersisa, dengan dibantu , Ant Man. Misi gagal,
sehingga mereka harus kembali ke tahun 70-an untuk mencari satu batu yang
tersisa. Di sini Iron Man bertemu ayahnya dan Captain bertemu cinta
sejatinya di masa lalu.
Nebula dan War Machine pergi ke luar angkasa. Batu berhasil didapatkan,
namun sayangnya, Nebula berhasil ditangkap oleh Thanos di masa lalu itu,
Nebula masa itu bersama Gomora.
Di sini juga Thanos berhasil mengetahui rencana para Avengers. Ia mengirim
Nebula masa itu yang masih jahat, menyamar sebagai Nebula yang sudah baik.
Sementara Black Widow dan Hawkeye mencari soul stone. Seperti halnya ketika
Thanos mengorbankan Gamora di seri Infinity Wars, untuk mendapatkan batu
tersebut salah seorang harus berkorban.
Di sini momen haru. Baik Hawkeye maupun Black Widow sama-sama berkorban
untuk mati. Akhirnya, Black Widow lah yang tewas terjatuh.
Sementara Thor dan Rocket ke Asgard, mencari reality stone. Thor yang
pemabuk bertemu dengan ibunya yang sudah meninggal. Ini momen ia menjadi sadar.
Kembali ke Masa Sekarang
Dengan lima batu di tangan, mereka pun kembali ke masa sekarang. Sayangnya
Black Widow tidak bisa kembali. Kesedihan pun menyelimuti anggota Avengers.
Namun mereka terus melaju dengan rencana awal.
Kelima batu diletakkan di sarung tangan khusus buatan Iron Man. Hulk
dipercaya untuk menggunakannya, dan menjentikkan jari. Untuk mengembalikan
semua yang hilang, namun tanpa mengubah peristiwa yang sudah berjalan
selama lima tahun.
Hulk terluka parah karena pengaruh kekuatan batu. Namun usaha tidak
sia-sia. Karena tak lama, istri Hawkeye menelpon, menandakan ia sudah kembali.
Serangan Thanos
Namun film belum selesai di sini. Tanpa sepengetahuan mereka, Nebula yang
jahat (berasal dari masa lalu) membuka portal mesin waktu. Dan Thanos pun
datang. Bom dari pesawatnya menghancurleburkan markas Avengers.
Semua selamat, namun tercerai berai. Hawkeye mendapatkan sarung tangan
tersebut, namun dikejar pasukan Thannos.
Hawkeye bertemu Nebula (jahat), yang mengira ia adalah rekan. Sarung tangan
diserahkan kepadanya. Saat itulah diketahui bahwa ia jahat. Hawkeye nyaris
tewas.
Namun diselamatkan oleh Nebula (baik) yang bekerjasama dengan Gamora
melarikan diri dari penjara di kapal Thannos. Nebula (baik) membunuh Nebula
(jahat).
Sementara Thor, Captain America, dan Iron Man, bertemu Thannos. Pertempuran
besar tak terhindarkan. Thor nyaris tewas, namun diselamatkan oleh Captain
America, yang kini bisa menggunakan palu milik Thor.
Ketiganya nyaris kalah. Sampai kemudian mereka mendapat kabar baik.
Sementara Hulk, War Machine, dan Rocket nyaris tenggelam.
Munculnya Avengers yang Hilang
Avengers nyaris kalah. Thanos pun mendatangkan ribuan pasukannya. Ia
berjanji akan menghancurkan seluruh isi bumi. Para Avengers nyaris berputus
asa.
Sampai kemudian ada sambungan komunikasi masuk. Bala bantuan datang. Hulk,
War Machine, dan Rocket diselamatkan oleh Ant Man yang menjadi raksasa.
Tak lama, muncullah bulatan-bulatan kuning khas para penjaga waktu. Dari
dalam lingkaran tersebut satu persatu muncullah para pahlawan Avengers yang
sebelumnya hilang dihapus dari dunia oleh Thanos.
Mulai dari Dr Strange, Spiderman, Falcon, Star Lord dan anggota Guardians
of The Galaxy lainya, The Wasp, Scarlet Witch, dan Black Panther.
Muncul juga tokoh-tokoh yang membantu seperti Bucky, Pepper dengan baju
besi Iron Man, Valkyrie dari Asgard, Wong, Okoye dan Shuri serta pasukan
dari Wakanda, dan masih banyak lagi. Ditambah dengan kembali munculnya
Captain Marvel.
Kedatangan para jagoan ini pun menghancurkan pasukan Thanos. Pertempuran
seru terjadi. Ditambah dengan keharuan dari pertemuan tersebut.
Ada adegan seru di mana semua tokoh wanita bersatu mempertahankan sarung
tangan yang lengkap dengan batu, agar tidak jatuh kembali ke tangan Thanos.
Pertempuran Berakhir
Namun sayang, usaha mereka mempertahankan sarung tangan tidak berhasil.
Sarung tangan bersama batu-batu ajaib tersebut berhasil didapatkan oleh Thanos.
Sebagai usaha terakhir, atas kerjasama Dr Strange dan Iron Man, kelima batu
yang ada di sarung tangan tersebut berhasil direbut oleh Iron Man.
Jadi, ketika Thanos kembali menjentikkan jari untukmenghapus semua
kehidupan di alam semesta, tidak bisa terjadi.
Kelima batu tersebut terpasang di sarung tangan baju besi Iron Man.
Kekuatan besar dari batu-batu tersebut menyiksa Iron Man. Ia kesakitan, dan
sebagian tubuhnya menghitam.
Namun, ia berhasil menahan sakit tersebut dan menjentikkan jari. Bersamaan
dengan itu seluruh pasukan Thanos menjadi abu. Termasuk juga Thanos.
Pertempuran berakhir.
Selamat Tinggal Iron Man
Pertempuran berakhir, Avengers menang. Namun kondisi Iron Man sangat
memprihatinkan. Ia kritis. Ia pun tewas di pelukan Pepper. Kesedihan
berlanjut di pemakaman Iron Man, yang dihadiri juga oleh Nick Furry.
Sementara Avengers yang lain, berbahagia bersama keluarganya, yang kembali
dipersatukan setelah lama menghilang.
Adegan terakhir adalah saat Captain America bersama Bucky dan Hulk,
menggunakan kembali mesin waktu tersebut, untuk mengembalikan semua batu ke
tempatnya.
Captain America
Tapi, di saat yang ditentukan, Captain America tidak kembali. Yang justru
muncul kembali adalah seorang pria tua.
Ternyata ia adalah Captain America yang menjalani hidupnya di tahun 70-an,
bersama cinta sejatinya di masa itu.
Tips yang ingin menonton, jangan alihkan fokus Anda. Karena alur film ini
maju dan mundur, bahkan jauh ke depan dan endingnnya di tahun 1970-an.
Selamat menikmati. (*)
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
4.25.2019
4.19.2019
4.18.2019
@bende mataram@ Bagian 33

@bende mataram@
Bagian 33
Si pemuda nampak merenung. Hatinya tak tenteram, memikirkan perusuh yang
memasuki istana kepatihan. Dia tak dapat menebak siapa orang itu. Kalau
tadi mengira salah seorang kawanan rombongan penari, hanyalah karena
pikiran selintas yang berkelebat dalam benaknya. Lambat-laun setelah
dipikirkan bolak-balik hatinya jadi bimbang.
Tak lama kemudian perjalanan sampai ke kota. Itulah kota Yogyakarta.
"Nyonya, di sini banyak orang menjual pakaian," kata Pangeran Bumi Gede.
"Kita cari penginapan dulu, lalu beli dua atau tiga perangkat pakaian.
Pakaian Nyonya kelihatan banyak debunya. Juga pakaian Sanjaya. Alangkah
enak dipandang mata sekiranya Nyonya mengenakan pakaian baru."
Sapartinah memeriksa pakaiannya. Benar, pakaiannya kelihatan berdebu dan
usang. Tetapi masa dia harus menerima pakaian pemberian orang. Ia ingin
menolak, tiba-tiba si pemuda berkata lagi.
"Keadaan di kota jauh berlainan dengan di desa. Orang harus pandai merawat
diri. Wajah seperti Nyonya, kuranglah pantas jika hanya mengenakan pakaian
bahan murahan. Bukankah itu berarti menyia-nyiakan karunia Tuhan?"
Sapartinah terkejut mendengar ucapan itu. Tapi diam-diam ia senang mendapat
pujian tentang kecantikannya. Ia menundukkan kepala. Kemudian mengerling
kepada si pemuda hati-hati. Ingin ia menyelidiki arah ucapan si pemuda.
Tetapi ia tak mendapatkan kesan lain yang mencurigakan. Si pemuda
benar-benar berkata dengan setulus hati. Karena kesan itulah ia menjadi tak
enak sendiri, terus mencurigai kawan seperjalanan.
"Kudengar tadi kau seorang Pangeran," ia mengalihkan pembicaraan. "Tak
pantas aku berjalan bersama seorang pangeran. Biarlah kami ditinggalkan di
sini. Karena aku bisa mencari penghidupan dalam kota ini."
"Eh, apa kata Nyonya?" si pemuda kaget. "Kenapa Nyonya bisa mempunyai
pikiran begitu. Apa Nyonya ingin melupakan dendam suami Nyonya." Diingatkan
perkara suaminya, Sapartinah jadi lemah hati dan berkata menyerah.
"Aku seorang perempuan. Apa dayaku mau membalaskan dendam. Kurasa lebih
baik aku memusatkan diri kepada ajaran dan pendidikan Sanjaya sebagai balas
budi."
"Itupun pendirian mulia. Tetapi bagaimana Nyonya sampai hati menyiksa arwah
suami Nyonya di alam baka."
"Mengapa aku menyiksa dia?" Sapartinah terkejut.
"Kita belum membalaskan dendamnya," jawab si pemuda.
"Karena itu berilah kesempatan padaku, untuk membalaskan dendamnya atas
nama Nyonya. Sekali pukul aku telah menebus dua nyawa sekaligus."
Mendengar alasan si pemuda masuk akal, Sapartinah kian tunduk. Air matanya
berlinang untuk sesuatu perasaan tanpa alamat. Mendadak terdengarlah
Sanjaya berseru-seru heran. Dengan menuding-nuding ia menyatakan rasa
herannya melihat pemandangan yang baru dilihatnya pertama kali. "Bu! Apa itu?"
Sapartinah sendiri baru untuk pertama kali memasuki kota Yogyakarta. Banyak
peman¬dangan baru yang masih asing baginya. Ia tak pandai menerangkan. Maka
si pemuda menolong menerangkan keheranan si bocah dengan lancar dan
cekatan. Sikapnya tak beda seperti kata-kata seorang ayah belaka. Kesan itu
meluluhkan hati Sapartinah. Dia bersikap sopan kepadaku. Ternyata sayang
juga kepada Sanjaya, baiklah aku ber¬sikap mengimbangi. Apa salahnya aku
ber¬sikap demikian terhadap seorang pangeran. pikir Sapartinah.
Pada jaman itu penduduk memandang sangat tinggi martabat orang-orang
ningrat. Kalau ditimbang-timbang adalah suatu kebetulan belaka Sapartinah
dapat berjalan berjajar dengan si pemuda. Sekiranya tidak ada peristiwa
pusaka sakti, sekiranya wajah Sapar¬tinah tidak cantik manis, sekiranya si
pemuda tidak tertambat hatinya untuk melihatnya yang pertama kali, takkan
mungkin terjadi pergaulan sebebas itu.
Maka tatkala mereka menginap di sebuah penginapan mahal, Sapartinah
diperlakukan sebagai isteri seorang ningrat. la mendapat
pelayanan-pelayanan luar biasa buat ukurannya. Maklumlah, semenjak bayi ia
dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi dewasa dan bersuamikan seorang
penduduk biasa yang memilih hidup sebagai petani. Ia biasa bekerja sendiri
tanpa seorang pembantu pun.
Tak heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun
otaknya sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu
memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah
masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu
menggugah dan mengingatkan hatinya kepa¬da suaminya yang sangat
mencintainya. Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara
tiba-tiba direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada
suaminya, berpura-puralah dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia
menangis sedih sekali.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 33
Si pemuda nampak merenung. Hatinya tak tenteram, memikirkan perusuh yang
memasuki istana kepatihan. Dia tak dapat menebak siapa orang itu. Kalau
tadi mengira salah seorang kawanan rombongan penari, hanyalah karena
pikiran selintas yang berkelebat dalam benaknya. Lambat-laun setelah
dipikirkan bolak-balik hatinya jadi bimbang.
Tak lama kemudian perjalanan sampai ke kota. Itulah kota Yogyakarta.
"Nyonya, di sini banyak orang menjual pakaian," kata Pangeran Bumi Gede.
"Kita cari penginapan dulu, lalu beli dua atau tiga perangkat pakaian.
Pakaian Nyonya kelihatan banyak debunya. Juga pakaian Sanjaya. Alangkah
enak dipandang mata sekiranya Nyonya mengenakan pakaian baru."
Sapartinah memeriksa pakaiannya. Benar, pakaiannya kelihatan berdebu dan
usang. Tetapi masa dia harus menerima pakaian pemberian orang. Ia ingin
menolak, tiba-tiba si pemuda berkata lagi.
"Keadaan di kota jauh berlainan dengan di desa. Orang harus pandai merawat
diri. Wajah seperti Nyonya, kuranglah pantas jika hanya mengenakan pakaian
bahan murahan. Bukankah itu berarti menyia-nyiakan karunia Tuhan?"
Sapartinah terkejut mendengar ucapan itu. Tapi diam-diam ia senang mendapat
pujian tentang kecantikannya. Ia menundukkan kepala. Kemudian mengerling
kepada si pemuda hati-hati. Ingin ia menyelidiki arah ucapan si pemuda.
Tetapi ia tak mendapatkan kesan lain yang mencurigakan. Si pemuda
benar-benar berkata dengan setulus hati. Karena kesan itulah ia menjadi tak
enak sendiri, terus mencurigai kawan seperjalanan.
"Kudengar tadi kau seorang Pangeran," ia mengalihkan pembicaraan. "Tak
pantas aku berjalan bersama seorang pangeran. Biarlah kami ditinggalkan di
sini. Karena aku bisa mencari penghidupan dalam kota ini."
"Eh, apa kata Nyonya?" si pemuda kaget. "Kenapa Nyonya bisa mempunyai
pikiran begitu. Apa Nyonya ingin melupakan dendam suami Nyonya." Diingatkan
perkara suaminya, Sapartinah jadi lemah hati dan berkata menyerah.
"Aku seorang perempuan. Apa dayaku mau membalaskan dendam. Kurasa lebih
baik aku memusatkan diri kepada ajaran dan pendidikan Sanjaya sebagai balas
budi."
"Itupun pendirian mulia. Tetapi bagaimana Nyonya sampai hati menyiksa arwah
suami Nyonya di alam baka."
"Mengapa aku menyiksa dia?" Sapartinah terkejut.
"Kita belum membalaskan dendamnya," jawab si pemuda.
"Karena itu berilah kesempatan padaku, untuk membalaskan dendamnya atas
nama Nyonya. Sekali pukul aku telah menebus dua nyawa sekaligus."
Mendengar alasan si pemuda masuk akal, Sapartinah kian tunduk. Air matanya
berlinang untuk sesuatu perasaan tanpa alamat. Mendadak terdengarlah
Sanjaya berseru-seru heran. Dengan menuding-nuding ia menyatakan rasa
herannya melihat pemandangan yang baru dilihatnya pertama kali. "Bu! Apa itu?"
Sapartinah sendiri baru untuk pertama kali memasuki kota Yogyakarta. Banyak
peman¬dangan baru yang masih asing baginya. Ia tak pandai menerangkan. Maka
si pemuda menolong menerangkan keheranan si bocah dengan lancar dan
cekatan. Sikapnya tak beda seperti kata-kata seorang ayah belaka. Kesan itu
meluluhkan hati Sapartinah. Dia bersikap sopan kepadaku. Ternyata sayang
juga kepada Sanjaya, baiklah aku ber¬sikap mengimbangi. Apa salahnya aku
ber¬sikap demikian terhadap seorang pangeran. pikir Sapartinah.
Pada jaman itu penduduk memandang sangat tinggi martabat orang-orang
ningrat. Kalau ditimbang-timbang adalah suatu kebetulan belaka Sapartinah
dapat berjalan berjajar dengan si pemuda. Sekiranya tidak ada peristiwa
pusaka sakti, sekiranya wajah Sapar¬tinah tidak cantik manis, sekiranya si
pemuda tidak tertambat hatinya untuk melihatnya yang pertama kali, takkan
mungkin terjadi pergaulan sebebas itu.
Maka tatkala mereka menginap di sebuah penginapan mahal, Sapartinah
diperlakukan sebagai isteri seorang ningrat. la mendapat
pelayanan-pelayanan luar biasa buat ukurannya. Maklumlah, semenjak bayi ia
dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi dewasa dan bersuamikan seorang
penduduk biasa yang memilih hidup sebagai petani. Ia biasa bekerja sendiri
tanpa seorang pembantu pun.
Tak heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun
otaknya sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu
memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah
masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu
menggugah dan mengingatkan hatinya kepa¬da suaminya yang sangat
mencintainya. Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara
tiba-tiba direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada
suaminya, berpura-puralah dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia
menangis sedih sekali.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Langganan:
Postingan (Atom)