@bende mataram@
Bagian 339
Fatimah pun mendapat gilirannya pula. Dengan demikian, ingatannya kepada
Titisari agak berkurang. Fatimah pulih dengan cepat. Tenaganya kini bahkan
makin bertambah berkat tenaga sakti Sangaji. Ia sudah mulai berlatih lagi
menekuni ilmu kepandaiannya di bawah pengawasan gurunya Suryaningrat.
Wirapati pun sudah memperoleh kesehatannya kembali. Ia seolah-olah bangun
kembali dari liang kubur. Tubuhnya nampak kuat dan perkasa. Pandangnya
berseri-seri di antara wajahnya yang bersih suci. Ia selalu bersama Jaga
Saradenta, membicarakan pengalamannya dan Sangaji. Apabila mendengar kabar
tentang kemajuan Sangaji, ia nampak berbahagia. Senyumnya puas luar biasa.
Ia merasa diri telah sampai pada puncak kemampuan dalam menunaikan tugas
yang dipikulnya selama itu. Sangaji sendiri tak mau berpisah dari dia. Anak
muda itu bisa membawa diri. Tak pernah ia membicarakan tentang
kemajuan-kemajuannya. Kecuali apabila dia sedang berlatih. Juga masalah
yang sedang dihadapi tak pernah pula disinggungnya. Namun betapapun juga,
akhirnya Wirapati mendengar juga. Ini terjadi sewaktu gurunya itu mendadak
teringat kepada anak Adipati Surengpati. Belum lagi Sangaji memberi
keterangan, si sembrono Jaga Saradenta sudah membeberkan peristiwa yang
disaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Maka terpaksalah Sangaji
meriwayatkan kisah perhubungannya. Dan mendengar hal itu, wajah Wirapati
nampak suram. "Jadi engkau harus kembali ke Jakarta?" tanyanya penuh
perasaan. Sangaji mengangguk. "Hebat! Sungguh hebat persoalanmu," katanya
lagi perlahan. Ia tak mengerti sendiri bagaimana penyelesaiannya kelak.
Sebagai seorang guru yang sudah bergaul semenjak Sangaji masih menjadi
pemuda tanggung, ia tahu belaka keadaan hati muridnya. Pemuda itu hanya
menganggap Sonny de Hoop sebagai kawannya bermain. Sebaliknya terhadap
Titisari, agaknya Sangaji mempunyai pengucapan naluriah yang lain. Tetapi
dia harus berani menemui Sonny. Sebagai seorang guru, sudah tentu ia
mengharap muridnya berhati jantan dan berwatak ksatria sejati. Dan seorang
ksatria harus bisa mengatasi kepentingannya sendiri demi panggilan
nilai-nilai hidup. Dia pun pernah memberikan contohnya. Memikir demikian,
tak terasa ia menghela napas. "Ocapan seorang laki-laki memang tak ternilai
harganya." Akhirnya dia berkata. "Lainlah halnya, apabila Sonny ternyata
mengingkari janji..." ia berhenti merenung-renung. Lalu menegakkan kepala
seraya minta ketegasan. "Kapan engkau berangkat?" Sesungguhnya semenjak ia
berpisah dari Ki Tunjungbiru segera ia ingin berangkat. Tetapi bukan untuk
Sonny melainkan oleh rasa rindunya kepada ibunya. Maka begitu mendengar
pertanyaan Wirapati, ia seperti tergugah. Menjawab singkat, "Sekiranya guru
mengizinkan, esok pagi aku akan berangkat." "Aku sudah sehat kembali. Kau
tak perlu lagi memikirkan aku. Dua tiga bulan lagi aku akan pulih seperti
sedia kala," kata Wirapati dengan tertawa gelak. "Ha—bagus!" sambung Jaga
Saradenta. "Meskipun kepandaianku kini tak nempil dengan ilmu kepandaianmu,
tapi aku masih berani menggerembengimu. Nah, berangkatlah! Aku tak
menginginkan engkau masih menjadi anak tolol. Sekiranya kau kelak jadi
orang, jenguklah kuburanku kalau aku sudah tak bernyawa lagi. Saat itulah
kau baru benar-benar bebas dari pengawasanku." Sangaji tahu, gurunya yang
satu itu berwatak uring-uringan dan keras hati. Namun diantara bunyi bait
kekerasannya, sesungguhnya bersembunyi suatu rasa cinta kasih mendalam.
Karena itu, tak terasa ia menitikkan air matanya begitu mendengar
ucapannya. Ia segera duduk bersimpuh menyembah. "Eh, apa artinya ini?"
damprat Jaga Saradenta. "Aku menghendaki engkau jadi seorang laki-laki yang
tegak perkasa. Bukan sebagai makhluk yang hanya pandai main sembah dan
berpura-pura." Wirapati tertawa panjang. Dengan menepuk pundak Sangaji ia
berkata: "Tentang hal ini, biarlah aku nanti membicarakan dengan eyang
gurumu. Kau sekarang berkemaslah! Dan kelak kalau bertemu dengan ibumu,
sampaikan salamku dari jauh. Akupun akan titip oleh-oleh sedikit untuk
ibumu ..." Wirapati kemudian memasuki kamarnya dan kembali dengan membawa
sebuah mata tombak yang sudah berkarat. Itulah mata tombak yang ditemukan,
sewaktu dia singgah di rumah keluarga Sangaji di Karangtinalang. "Menurut
Nuraini, inilah mata tombak almarhum ayahmu. Sewaktu dipergunakan untuk
melawan gerombolan orang-orang Banyumas, benda ini ternyata selamat dari
lautan api yang membakar rumahmu." Diingatkan tentang peristiwa keluarganya
dan mendengar pula asal-usul mata tombak yang sudah berkarat itu, Sangaji
tergetar hatinya. Tatkala menerima benda itu, ia gemetaran. Maka hatinya
bertambah terharu. Terus saja ia menangis terisak-isak. "Hm, sudah! Sudah!"
kata Jaga Saradenta. "Dunia ini tak cukup hanya kau tangisi belaka. Kau mau
pulang kepangkuan bunda kini. Lebih baik engkau memikirkan bagaimana caramu
hendak menggembirakan hati ibumu. Sebaliknya kalau datang-datang lantas
menangis, ibumu akan rontok hatinya." Sebenarnya di balik kegarangannya,
orang tua itu bersedih hati akan berpisahan dengan muridnya. Namun sebagai
seorang tua yang sudah banyak pengalamannya, tak sudi ia memperlihatkan
kesedihan hatinya. Sangaji sendiri tak pandai berbicara. Apalagi hendak
mengutarakan keadaan hatinya. Karena itu setelah isaknya berhenti, ia hanya
diam berlongong-longong. Wirapati selamanya bersikap lembut kepadanya.
Melihat muridnya dalam kesulitan ia segera berkata mengalihkan pembicaraan.
"Nah, sekarang berkemaslah! Aku akan menghadap eyang gurumu!" Terhadap
gurunya yang bersikap lembut, Sangaji memujanya sebagai dewa, meskipun ilmu
kepandaiannya kini jauh melampauinya. Maka dengan memaksa diri, ia bangkit
dan memasuki kamarnya untuk berkemas-kemas. Keesokan harinya, Sangaji
menghadap eyang gurunya. Orang tua itu telah mendapat keterangan jelas
tentang persoalan cucu muridnya. Namun dia tak berkata sepatah katapun. Ia
hanya memberi pangestu. Setelah itu memberi isyarat kepada sekalian
murid-muridnya agar mengantarkannya turun gunung. Pagi hari itu sangatlah
cerahnya. Sarwa alam terang benderang. Angin menyanyi di sepanjang deret
tetanaman. Gunung Sumbing nampak gagah perkasa di antara bukit-bukit yang
mengelilingi pertapaan Gunung Damar. Di seberang menyeberang jalan,
terdengarlah suara gemericik air meraba sawah dan ladang yang telah mulai
menghijau. Di udara awan putih nampak berarak-arak di antara tirai biru
yang melingkupi segenap cakrawala. Namun semuanya itu tak dapat merasuk ke
dalam lubuk hati Sangaji. Hati Sangaji penuh rasa haru. Tatkala dia harus
berpisah dari kedua gurunya serta paman-paman gurunya, hampir saja ia
menangis. Jaga Saradenta lalu menghampiri dan membentak. "Ah, anak tolol!
Apakah engkau berpikir, bahwa selama hidupmu kami semua harus menyertaimu?
Memang, dahulu hari kau bersama kami memasuki wilayah Jawa Tengah. Kini kau
sudah menjadi laki-laki penuh. Kau harus berani menempuh perjalanan dengan
seorang diri, seperti waktu kau dilahirkan di dunia. Seperti kelak saatnya
kau kembali kepangkuan hidup, engkau hanyalah seorang diri tanpa teman dan
tanpa penasihat. Karena itu engkau harus belajar mempunyai keputusan cepat,
tegas dan tepat. Hidup ini tak ubah gelanggang perkelahian. Kau akan diajak
dan didorong untuk berkelahi. Dan satu-satunya senjata untuk menentukan
segala hal, adalah keputusanmu. Lamanya hanya sedetik dua detik. Kalau kau
selalu beragu, kalau kau tak mempunyai suatu keputusan, kalau kau selalu
kasep menentukan suatu sikap, engkau akan digulung dan dipilin-pilin. Ah,
tolol! Kulihat engkau pandai bertempur sewaktu melawan pendekar besar Kebo
Bangah. Dan engkau menang. Siapakah yang menentukan kemenanganmu ini?
Itulah keputusanmu yang cepat, tegas dan tepat. Karena itu, hayo tegakkan
kepalamu! Di depanmu tergelar banyak persoalan yang pelik. Dan semuanya
menunggu keputusanmu. Mati atau hidup, bukan soal. Kalau kau mati, matilah
sebagai ksatria. Karena semuanya ini hanya tergantung kepada keputusanmu
belaka, maka eyang gurumu hanya memberimu pangestu. Kau mengerti? Nah,
berangkatlah dengan genderang dada laki-laki tulen!" Hebat kata-kata Jaga
Saradenta sampai semua yang mendengar ikut tergetar hatinya. Memang
kadangkala, guru yang sok uring-uringan itu bisa menemukan butir-butir
mustika dunia yang tak ternilai harganya. Itulah disebabkan, karena ia
sendiri sesungguhnya berat berpisahan dengan muridnya. Kata katanya yang
garang berwibawa itu, lebih membidik dirinya sendiri. Tak mengherankan,
bahwa setelah berkata demikian, napasnya jadi tersengal-sengal. Sangaji
terhenyak di atas punggung Willem. Dasar ia tak pandai berbicara, maka ia
tak tahu apa yang harus dilakukan. Mendadak saja ia melihat Jaga Saradenta
menarik cempulingnya, kemudian dihantamkan ke paha Willem. Kalau ia mau
mengelak atau menangkis, mudahnya seperti membalik tangan sendiri. Karena
kini, ilmu kepandaiannya tiada taranya dalam jagat. Tetapi ia tak berani
menghalang-halangi gerakan gurunya. Tahu-tahu, Willem melompat tinggi di
udara dan melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari gendewanya. Selama
hidupnya, Willem tak pernah diperlakukan dengan kasar.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar