@bende mataram@
Bagian 59
"Hai!" Sangaji terkejut Sama sekali tak diduganya, kalau si pemuda malahan
menyerang untuk membebaskan diri. Karena tak bermaksud mencelakai orang,
buru-buru serangannya ditarik. Kini ia membenturkan sikunya sambil
menendang pinggang.
Melihat perubahan jurus Sangaji, pemuda itu mengira berhasil menggagalkan
serangannya. Keberaniannya bangkit dan hatinya menjadi besar. Tidak
memberinya ampun lagi, ia mengelak dan menggempur pundak.
Sangaji terhuyung. Pundaknya terasa sakit, la melompat mundur sambil
membentak, "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku anak Jawa seperti kamu," jawab si pemuda. "Ayo, kita terus berlatih."
"Berlatih?" diam-diam Sangaji berpikir. "Apa dia clikirim guru mencoba
kecakapanku?"
Mendapat pikiran begitu segera ia bersiaga dan kini berkelahi dengan
sungguh-sungguh, la tak membiarkan diri diserang lagi. Dicobanya
mempengaruhi gerakan lawan seperti yang dilakukan terhadap keempat pemuda
Belanda. Dibandingkan dengan dua tahun yang lalu, gerak-geriknya kali ini
jauh lebih berbahaya dan bertenaga. Tetapi aneh! Menghadapi pemuda ini,
jurus-jurusnya seperti tak berjalan.
Pemuda itu dapat membebaskan diri dengan leluasa dan kadang-kadang bisa
membalas menyerang. Sangaji jadi kelabakan dan terdesak mundur. Tetapi ia
dapat berlaku tenang. Perhatiannya dipusatkan dan perlahan-lahan ia mulai
dapat menyelami kecakapan lawan.
Tiga puluh jurus sudah lewat begitu cepat. Ia kini bergerak berputar
seperti gelombang. Kadang-kadang ia berhasil mendesak dan menendang lawan.
Tapi sering pula kena dirangsak bertubi-tubi. Mendadak terdengar suara
bentakan Jaga Sarandeta, "Serang bagian bawah, tolol!"
Mendengar suara gurunya bangkitlah semangat tempur Sangaji. Dengan cepat ia
memusatkan serangannya di bagian bawah. Penglihatan gurunya ternyata tepat.
Segera juga ia mendesak si pemuda. Dan dengan suatu gerakan sebat si pemuda
kena dihantam dan ditendang sampai jafuh berjungkir-balik.
Melihat si pemuda jatuh berjungkir-balik, Sangaji lalu mendekati. Kedua
lengannya disodorkan hendak mencengkeram pundak. Terdengar suara Wirapati
memperingatkan, "Awas! Jangan sembrono!"
Sangaji kurang berpengalaman. Musuhnya kali ini bukan seperti keempat
pemuda Belanda yang hanya mengutamakan kekuatan tubuh dan tenaga tinju.
Sebaliknya seorang pemuda yang mengenal dan mengerti ilmu berkelahi. Begitu
ia hendak mencengkeram, si pemuda menggulingkan tubuhnya dengan sebat.
Kemudian menendang perut sambil meloncat bangun. Tak ampun lagi, Sangaji
jatuh terbalik. Perutnya terasa nyeri bukan kepalang. Namun ia gesit. Belum
sampai tubuhnya terbanting di atas tanah. Kedua ka-kinya menjejak dan ia
berdiri tegak. Serentak ia mengerat gigi dan bersiaga hendak melompat
menerkam. Tetapi kedua gurunya sudah mendahului. Gesit seperti ikan mereka
lantas saja mengepung si pemuda.
"Siapa kamu, berani kurang ajar di hadapanku?" bentak Jaga Sarandeta.
Sangaji terkejut berbareng heran. Jelas—mendengar bentakan gurunya—pemuda
itu bukan dikirim gurunya untuk mencoba kecakapannya.
Pemuda itu tak mengenal takut, la berjaga-jaga diri sambil menjawab, "Aku
bernama Surapati. Atas perintah guruku aku datang menghadap Tuan." "Siapa
gurumu?"
Pemuda yang bernama Surapati sekonyong-konyong menundukkan kepala sambil
menyembah. Jaga Sarandeta sangsi. Tak mau ia membalas Surapati. Ia menoleh
kepada
Wirapati minta pertimbangan.
"Ayo, kita bicara di dalam," ajak Wirapati tegas.
Mereka berempat memasuki rumah. Jaga Sarandeta nampak muram, karena
menyaksikan muridnya bisa dikalahkan. Sedangkan Wirapati sibuk menduga-duga.
"Nah ulangi, ada apa kamu datang kemari?" katanya menegas.
Dengan hormat Surapati menjawab, "Beberapa hari yang lalu kami serombongan
dari Yogyakarta datang ke Jakarta. Selain menunaikan tugas Gusti Patih, aku
diperintahkan guruku menghadap Tuan."
"Siapa gurumu?" "Hajar Karangpandan."
Mendengar jawaban Surapati, Wirapati dan Jaga Sarandeta terperanjat sampai
berjingkrak. Jaga Saradenta seorang laki-laki yang berwatak keburu nafsu,
lantas saja menyambar baju si pemuda sambil membentak, "Bilang yang benar!
Kami tak mau kaupermainkan. Siapa kau?"
Dengan tenaga Surapati menjawab, "Namaku Surapati. Cukup jelas? Aku murid
Hajar Karang-pandan. Ayahku salah seorang hamba istana Kepatihan Danurjan."
Jaga Saradenta tertegun. Malu, ia diperlakukan demikian oleh Surapati. Ia
menyiratkan pandang kepada Wirapati.
"Bagaimana kamu tahu kami berdua berada di sini?"
"Hal itu tak dapat kumengerti. Aku hanya menjalankan perintah belaka.
Guruku berkata, kalau aku harus menyampaikan rasa terima kasih
sebesar-besarnya, karena Tuan sekalian sudah bercapai lelah."
Perlahan-lahan Jaga Saradenta melepaskan cengkeramannya, la duduk terhenyak
di atas kursi. Pandangannya muram luar biasa.
Wirapati bersikap lain. Tak mau ia mendesak Surapati. Ia mengalihkan
pembicaraan.
"Kudengar kamu datang dengan maksud baik. Kenapa merobohkan Sangaji? Apa
kamu diperintah gurumu untuk mencoba kecakapan Sangaji sebelum hari
pertandingan tiba?"
Surapati tak menjawab, la hanya mengulurkan sepucuk surat yang terbungkus
rapi. Wirapati menerimanya dengan takzim dan membaca isinya. Diterangkan
oleh Hajar Karangpandan, kalau dia mengetahui keberadaannya berkat
keterangan Pangeran Bumi Gede yang datang di Jakarta dua tahun yang lalu.
Pangeran Bumi Gede secara kebetulan melihat Sangaji sedang berlatih. Dia
mengenal Wirapati, tapi dia heran atas hadirnya Jaga Saradenta. Untuk capai
lelah itu Hajar Karangpandan menghaturkan terima kasih.
Kemudian ia mengingatkan kembali, bahwa masa bertanding tinggal dua tahun
lagi. Tentang hasil jerih payahnya mencari Sanjaya ia menerangkan, si anak
sudah diketemukan semenjak delapan tahun yang lalu. Itu terjadi secara
kebetulan, karena Pangeran Bumi Gede sedang mencari seorang pemimpin
perajurit. Mengingat si anak dia terpaksa menerima jabatan itu.
Setelah selesai membaca surat Hajar Karangpandan, Wirapati terperanjat.
Dengan masgul dia berkata kepada Jaga Saradenta, "Jaga Sardenta! Dalam
perlombaan mencari si anak kita berdua sudah kalah jauh."
"Tidak!" potong Jaga Saradenta penasaran. "Soalnya bukan kita yang kalah,
tetapi karena nasib dia lebih bagus."
Tetapi setelah berkata demikian tubuhnya menjadi lemas. Dalam hal mengadu
kelicinan benar-benar dia merasa kalah. Mestinya Hajar Karangpandan pun
mengalami kesulitan juga tak beda dengan dirinya.
"Wirapati! Siapa mengira, kalau Pangeran Bumi Gede secara sembunyi
mengetahui keadaan kita. Benar-benar licin dia seperti katamu. Dia
mengetahui kita, sedang kita tak mengetahui
sesuatu pun tentang dirinya."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar