@bende mataram@
Bagian 62
Waktu itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal
tiba. Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi
kemajuannya terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan
perburuan. Semalam dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati. Jurus itu
indah, tetapi sulit luar biasa. Gntuk dapat menirukan gayanya saja dia
harus sanggup berlaku sebat dan gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu,
hari-hari perburuan yang biasanya bisa membangkitkan suatu kegembiraan
terasa menjadi tawar.
Ia kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia
berdiri di tepi jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-
36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah suara
dingin di belakangnya. "Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil."
Sangaji menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya
hitam legam. Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan
mulutnya berbibir tebal.
"Apa katamu?" kata Sangaji heran.
Laki-laki itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong
menubruk dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji
menjadi kaku dan tak bergerak lagi.
Sangaji pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya
tak perlu ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan
ialah, gerakan laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat
dilakukan dengan gampang dan sempurna.
"Nah, lihat! Apa susahnya?" katanya sambil tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi
membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan
memanjat dengan cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke
dahan dan melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu
ternganga-nganga me-nyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas
tubuhnya tak bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang
mau menubruk si gadis.
Sangaji terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap
melontarkan serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi
serangan Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak
meneruskan menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati
jurang. Sebab jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di
bawah sana.
"Bagaimana? Apakah dia ..." tanyanya perlahan.
"Lihat! ia meloncat-loncat begitu gampang," sahut Sangaji.
Mendengar keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu
ia melihat tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari
tebing jurang dan tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Sonny memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu
laki-laki berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar
sambil berkata, "Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar."
Waktu itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun.
Laki-laki gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut.
Dengan tertawa ia menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
"Inilah buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik.
Di kemudian hari akan banyak manfaatnya."
Sonny kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede
itu berkata lagi, "Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan
kepada siapa pun juga tentang diriku. Kalian kularang juga menceritakan
perwujudanku. Kalian berjanji?"
Sonny berwatak polos. Lantas saja dia me-manggut. Sedang Sangaji sibuk
menebak-nebak siapakah laki-laki itu.
Sonny kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la
bermaksud hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan
mulut ternganga-nganga, kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki
berkepala gede.
Laki-laki berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak
meninggalkan. Sangaji buru-buru menyanggah.
"Aki...! Janganlah pergi dahulu!"
Laki-laki itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh
dari Jaga Saradenta. Ia bergerak dan menghadap padanya.
"Mengapa?"
Sangaji menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai berbicara. Tapi hanya
sejenak. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menangis terisak.
Laki-laki berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud
si bocah. Segera ia membangunkan.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aki! Aku seorang anak bebal. Sudah kucoba jurus-jurus ini. Selalu saja aku
gagal. Benar
dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi aku belum berhasil." Jawab Sangaji
sambil berisak sedih.
"Ah! Itu yang kamu risaukan?" Sahut laki-laki berkepala gede. "Akupun akan
mengalami nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wa-jan"
"Apakah gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?" Sangaji heran
sambil membersihkan air matanya.
"Justru itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara
wajar sekali.
Napasku tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga."
Keterangan laki-laki berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai
mulutmya ternganga. Katanya meninggi, "Bagaimana mungkin tak mengeluarkan
tenaga?"
"Benar tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong."
"Bukan aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama
menyusahkan kedua guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang
dan malam aku berlatih., tapi selalu saja aku..."
"Apa kamu ingin saranku?" potong laki-laki berkepala gede. "Benar," sahut
Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki berkepala gede itu tersenyum lebar. "Kulihat kamu jujur dan
benar-benar berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukji-jatan.
Begini saja, tiga hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah
sampan. Datanglah pada tengah malam. Aku akan membawamu pergi."
"Aku mau dibawa ke mana?" Sangaji bertanya tinggi.
"Itupun kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau
tidak, jangan lagi berharap berjumpa denganku," kata laki-laki berkepala
gede mengesankan. Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di
tebing sana.
Sangaji kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan
Wirapati empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya.
Akhirnya ia merasa diri yang tolol. Katanya menyesali diri sendiri, Guru
tak berada di sebelah bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan
sungguh-sungguh. Ah, dasar aku yang tolol dan tak berguna...
Kemudian dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat
dikuasai. Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian
kalinya. Dengan putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny
datang menjenguknya.
Tiga hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta.
Jurus itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja
berlatih empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin
sedih. Sekaligus ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus
ke-14 ajaran kedua gurunya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar