@bende mataram@
Bagian 58
"Kau tahu mengapa dua tahun yang lalu aku menaruh perhatian kepada barisan
kompeni yang sedang sibuk menyongsong tamu. Secara tak langsung aku
mendapatkan penjelasan dari dia, ketika dia lagi ngobrol dengan
teman-temannya. Ternyata kemudian aku melihat dia hadir juga
dalam pesta di gedung negara." "Hm," dengus Jaga Saradenta.
"Dia pun salah seorang penyambut tamu agung. Dia dicalonkan oleh
teman-temannya menjadi pengantar dan teman bicara Pangeran Bumi Gede.
Mestinya dia tahu juga tentang pembicaraan resmi antara Pangeran Bumi Gede
dan Pemerintah Belanda." la berhenti sebentar. Wajahnya nampak keruh dan
seolah-olah merindukan sesuatu. Dengan menghela napas dia meneruskan,
"Tubuhku ada di sini tapi hatiku ada di sana. Di Yogya dan di sekitar
Gunung Damar."
Jaga Sarendata merenung. Tahulah dia kalau kawannya yang muda ini telah
rindu pada kampung halamannya. Dia menjadi terharu. Hatinya-pun teringat
pula kepada dusunnya dan kewajibannya menjadi Gelondong Segaluh.
"Apa si bangsat Pringgasakti ada juga di dalam gedung pemndingan?" la
mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Aku tahu benar, dia berada di sana. Dan aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri, Sonny ada juga di dalam gedung negara," sahut Wirapati.
Diingatkan akan sepak terjang musuh besarnya, Jaga Saradenta tergentar
hatinya. Lantas saja benaknya mulai menduga-duga lenyapnya iblis
Pringgasakti yang tak karuan rimbanya.
"Ah," katanya menyerah. "Dalam segala hal otakmu lebih encer daripadaku.
Aku si orang tua ini masih saja terburu nafsu. Baiklah, urusan si Sonny
tidak akan kusinggung-singgung lagi."
Sonny saat itu berjalan berendeng dengan Sangaji. Ia berbicara banyak.
Suaranya riang menyenangkan, la mengajak berjalan menyusur pantai dan dari
sana membelok ke pasar ikan.
"Sangaji kamu ditunggu Ayah," katanya lincah. "Mengapa?"
"Pada hari Mnggu besok kamu mau diajak pergi berburu ke hutan Tanggerang."
"Mengapa aku diajaknya??? Hari Mnggu justru aku lagi sibuk."
"Akulah yang mengusulkan."
Sangaji tercengang-cengang. Tak dapat dia menduga maksud Sonny mengajak
berburu.
Sebenarnya hal itu adalah suatu penghormatan besar baginya. Pada masa itu
tak mudah seorang Bumiputera diajak berburu oleh bangsa Belanda, jika bukan
salah seorang yang termasuk sahabat karib.
Ternyata Kapten De Hoop adalah seorang perwira Belanda yang ramah dan
berwibawa. Tubuhnya tinggi jangkung, tegap dan berpengaruh. Ia diiringi
oleh dua orang anaknya laki-laki yang berumur kira-kira 24 tahun dan 22
tahun. Mereka bernama Judy dan Bobby.
Hutan yang tumbuh di sekitar Tanggerang cukup padat. Binatang-binatang
buruan tak terhitung jumlahnya. Mereka semua—kecuali Sonny —pandai menembak.
Sangaji sangat gembira. Ia dapat mempraktekkan ilmu menembak ajaran Willem
Erbefeld. Tembakannya tak pernah meleset. Makin lama bahkan makin tepat
mengenai sasaran bidikan yang dikehendaki. Dua ekor rusa yang lari cepat
berjajar mati berbareng kena tembakannya dari samping.
Kapten Hoop kagum menyaksikan ketangkasannya si bocah. Semenjak itu ia
berjanji dalam hati akan selalu membawa dia pergi berburu. Kepada Sonny dia
berkata memuji, "Sonny! Pintar kamu memilih kawan berburu. Penglihatanmu
tajam dan tepat."
Karena pujian itu Sony kegirangan. Pertama-tama, ia kini akan selalu
bersama bila pergi berburu. Kedua, pergaulannya dengan anak Bumiputera
telah diketahui ayahnya, la akan lebih dapat bergaul dengan bebas dan
terang-terangan. Seperti diketahui Sonnylah yang mengusulkan agar ayahnya
mengajak Sangaji pergi berburu.
"Dia pandai menembak, Ayah," katanya merengek. "Seringkali aku melihatnya
berlatih menembak. Kapten Willem Erbefeld yang melatih dan mengajar."
"Hai, mengapa Kapten Willem Erbefeld?" ayahnya heran berbareng
menduga-duga. "Dia adik angkatnya."
"Ah!" kini ayahnya mengerti. Tetapi ia ingin melihat apakah adik angkat
Kapten Willem Erbefeld benar-benar pandai menembak. Itulah sebabnya, saat
ia menyaksikan ketangkasan Sangaji, dengan tulus hati ia menyatakan pujiannya.
Malam itu juga mereka kembali ke Jakarta. Sangaji mendapat bagian seekor
rusa dan dibawa pulang ke ibunya. Ia akan mengundang kedua gurunya untuk
ikut berpesta. Dengan sangat ia meminta agar ibunya memasak masakan yang enak.
"Aku nanti akan membantu, Bu," katanya.
"Kamu bisa bantu apa?" sahut Rukmini. Dia menyayangi putra tunggalnya itu.
Maka setelah Sangaji pergi meninggalkan rumah untuk mengundang gurunya,
diam-diam ia memanggil tetangganya untuk diminta datang membantu. Melihat
rusa begitu gemuk tetangganya sudah barang tentu tak dapat menolak. Lantas
saja mereka datang dengan membawa alat-alat dapur.
Sangaji sendiri waktu itu sudah berada di jalan besar. Ia berjalan
meloncat-loncat karena kegirangan sambil melatih kegesitan tubuhnya.
Mendadak ia ditegor oleh seorang pemuda kira-kira berumur 20 tahun dengan
bahasa Jawa.
"He, anak muda ! Kalau kau berani, ayo kita berkelahi!"
Heran Sangaji tiba-tiba ditantang seseorang. Rumah pondokan kedua gurunya
tinggal beberapa langkah di depannya. Hatinya lantas bimbang. Mengundang
kedua gurunya dulu ataukah meladeni tantangan pemuda itu.
"Kamu siapa ?" ia mencoba bertanya.
Pemuda itu tertawa perlahan. Menjawab setengah merendahkan, "Tak peduli
siapa diriku, tapi kamu kutantang. Kau laki-laki, kan? Seorang laki-laki
ditantang seseorang, kok seperti perempuan ?"
Merah muka Sangaji direndahkan demikian. Ia menghampiri dan masih mencoba
meyakinkan pemuda itu.
"Kalau aku berkelahi, aku harus berkelahi dengan jelas. Antara kau dan aku
belum saling kenal. Kurasa, tak ada alasan untuk berkelahi"
Kembali lagi pemuda itu tertawa perlahan. Mendadak saja dia menyerang.
Sebat gerakannya. Tahu-tahu kakinya telah mengirimkan tendangan dan
tangannya menyambar urat leher.
Sangaji terperanjat diserang demikian. Masih sempat dia berkisar dari
tempatnya. Tangan kanannya menangkis sambaran dan tinju kirinya mengarah
dada. Inilah salah satu jurus ajaran Jaga Sarandeta.
Pemuda itu terpaksa mengurungkan serangannya. Cepat-cepat ia menarik diri
dan mengulangi gerakan yang lain. Gerak-geriknya enteng dan gesit. Sebentar
bergerak ke kiri, sebentar pula ke kanan. Tangannya menyambar-nyambar tiada
henti seperti gerak-gerik seekor garuda menyambar mangsa. Karuan saja
Sangaji kena terdesak mundur. Mendadak teringatlah ia pada jurus ajaran
Wirapati yang belum pernah dilakukannya. Jurus itu diciptakan Wirapati
untuk mempertahankan diri dari serangan maut sambil membalas. Sebenarnya
khusus disiagakan untuk menghadapi serangan Pringgasakti manakala muncul
dengan tiba-tiba. Hebatnya tak terkirakan. Dan sekarang Sangaji menggunakan
jurus maut itu karena merasa diri terdesak telak.
Meskipun demikian ia mencoba memberi peringatan. "Awas! Lenganmu bisa
patah! Rahangmu bisa mencong!"
Jelas, maksudnya tak ingin mencelakakan si pemuda, hanya semata-mata
membebaskan diri dari serangan bertubi-tubi. Pemuda itu terperanjat bukan
kepalang. Tak dapat lagi ia meloloskan diri. la lantas nekad. Dengan
membabi buta ia menyerang muka Sangaji.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar