Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
6.30.2019
@bende mataram@ Bagian 62

@bende mataram@
Bagian 62
Waktu itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal
tiba. Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi
kemajuannya terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan
perburuan. Semalam dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati. Jurus itu
indah, tetapi sulit luar biasa. Gntuk dapat menirukan gayanya saja dia
harus sanggup berlaku sebat dan gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu,
hari-hari perburuan yang biasanya bisa membangkitkan suatu kegembiraan
terasa menjadi tawar.
Ia kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia
berdiri di tepi jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-
36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah suara
dingin di belakangnya. "Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil."
Sangaji menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya
hitam legam. Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan
mulutnya berbibir tebal.
"Apa katamu?" kata Sangaji heran.
Laki-laki itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong
menubruk dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji
menjadi kaku dan tak bergerak lagi.
Sangaji pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya
tak perlu ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan
ialah, gerakan laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat
dilakukan dengan gampang dan sempurna.
"Nah, lihat! Apa susahnya?" katanya sambil tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi
membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan
memanjat dengan cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke
dahan dan melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu
ternganga-nganga me-nyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas
tubuhnya tak bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang
mau menubruk si gadis.
Sangaji terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap
melontarkan serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi
serangan Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak
meneruskan menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati
jurang. Sebab jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di
bawah sana.
"Bagaimana? Apakah dia ..." tanyanya perlahan.
"Lihat! ia meloncat-loncat begitu gampang," sahut Sangaji.
Mendengar keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu
ia melihat tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari
tebing jurang dan tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Sonny memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu
laki-laki berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar
sambil berkata, "Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar."
Waktu itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun.
Laki-laki gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut.
Dengan tertawa ia menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
"Inilah buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik.
Di kemudian hari akan banyak manfaatnya."
Sonny kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede
itu berkata lagi, "Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan
kepada siapa pun juga tentang diriku. Kalian kularang juga menceritakan
perwujudanku. Kalian berjanji?"
Sonny berwatak polos. Lantas saja dia me-manggut. Sedang Sangaji sibuk
menebak-nebak siapakah laki-laki itu.
Sonny kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la
bermaksud hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan
mulut ternganga-nganga, kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki
berkepala gede.
Laki-laki berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak
meninggalkan. Sangaji buru-buru menyanggah.
"Aki...! Janganlah pergi dahulu!"
Laki-laki itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh
dari Jaga Saradenta. Ia bergerak dan menghadap padanya.
"Mengapa?"
Sangaji menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai berbicara. Tapi hanya
sejenak. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menangis terisak.
Laki-laki berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud
si bocah. Segera ia membangunkan.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aki! Aku seorang anak bebal. Sudah kucoba jurus-jurus ini. Selalu saja aku
gagal. Benar
dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi aku belum berhasil." Jawab Sangaji
sambil berisak sedih.
"Ah! Itu yang kamu risaukan?" Sahut laki-laki berkepala gede. "Akupun akan
mengalami nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wa-jan"
"Apakah gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?" Sangaji heran
sambil membersihkan air matanya.
"Justru itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara
wajar sekali.
Napasku tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga."
Keterangan laki-laki berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai
mulutmya ternganga. Katanya meninggi, "Bagaimana mungkin tak mengeluarkan
tenaga?"
"Benar tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong."
"Bukan aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama
menyusahkan kedua guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang
dan malam aku berlatih., tapi selalu saja aku..."
"Apa kamu ingin saranku?" potong laki-laki berkepala gede. "Benar," sahut
Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki berkepala gede itu tersenyum lebar. "Kulihat kamu jujur dan
benar-benar berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukji-jatan.
Begini saja, tiga hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah
sampan. Datanglah pada tengah malam. Aku akan membawamu pergi."
"Aku mau dibawa ke mana?" Sangaji bertanya tinggi.
"Itupun kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau
tidak, jangan lagi berharap berjumpa denganku," kata laki-laki berkepala
gede mengesankan. Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di
tebing sana.
Sangaji kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan
Wirapati empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya.
Akhirnya ia merasa diri yang tolol. Katanya menyesali diri sendiri, Guru
tak berada di sebelah bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan
sungguh-sungguh. Ah, dasar aku yang tolol dan tak berguna...
Kemudian dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat
dikuasai. Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian
kalinya. Dengan putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny
datang menjenguknya.
Tiga hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta.
Jurus itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja
berlatih empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin
sedih. Sekaligus ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus
ke-14 ajaran kedua gurunya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 62
Waktu itu bulan pertama tahun 1803. Satu tahun lagi hari pertandingan bakal
tiba. Meskipun Sangaji lebih maju daripada tahun yang lampau, tetapi
kemajuannya terasa lambat. Pada suatu hari ia berada lagi dalam hutan
perburuan. Semalam dia baru menerima jurus ke-36 dari Wirapati. Jurus itu
indah, tetapi sulit luar biasa. Gntuk dapat menirukan gayanya saja dia
harus sanggup berlaku sebat dan gesit. Ia selalu merasa gagal, karena itu,
hari-hari perburuan yang biasanya bisa membangkitkan suatu kegembiraan
terasa menjadi tawar.
Ia kemudian menyisihkan diri dari mereka. Dengan membawa senapannya ia
berdiri di tepi jurang. Kemudian mulailah dia berlatih jurus ke-
36. Ia gagal lagi dan gagal lagi. Sekonyong-konyong terdengarlah suara
dingin di belakangnya. "Seratus tahun lagi masa kamu tidak berhasil."
Sangaji menoleh. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar. Kulitnya
hitam legam. Rambutnya terurai panjang. Kepalanya gede. Matanya tajam dan
mulutnya berbibir tebal.
"Apa katamu?" kata Sangaji heran.
Laki-laki itu tersenyum. Tak lagi ia mengulangi ujarnya. Sekonyong-konyong
menubruk dengan suatu kehebatan mengagumkan. Tahu-tahu tubuh Sangaji
menjadi kaku dan tak bergerak lagi.
Sangaji pernah melihat kegesitan Wirapati empat tahun yang lalu. Sebenarnya
tak perlu ia kagum pada kegesitan laki-laki itu. Tetapi yang diherankan
ialah, gerakan laki-laki itu adalah jurusnya ke-36. Jurus itu dapat
dilakukan dengan gampang dan sempurna.
"Nah, lihat! Apa susahnya?" katanya sambil tersenyum. Kemudian ia bergerak lagi
membebaskan rasa kaku Sangaji. Setelah itu menyambar batang pohon dan
memanjat dengan cepat seperti seekor kera. Berpindah-pindah dari dahan ke
dahan dan melompat-lompat tanpa menerbitkan suatu suara.
Ketika itu Sonny tiba-tiba muncul pula tak jauh daripadanya. Gadis itu
ternganga-nganga me-nyaksikan kehebatan laki-laki itu. Dengan menahan napas
tubuhnya tak bergerak. Mendadak saja laki-laki berkepala gede itu melayang
mau menubruk si gadis.
Sangaji terperanjat. Cepat ia melompat menghadang di depan Sonny dan siap
melontarkan serangan maut yang dipersiagakan Wirapati untuk menghadapi
serangan Pringgasakti. Tetapi ternyata laki-laki berkepala gede itu tak
meneruskan menubruk. Ia melesat dan melompati jurang pulang balik.
Sonny memejamkan mata. Tak tahan ia menyaksikan laki-laki itu melompati
jurang. Sebab jika tak berhasil, tubuhnya pasti akan jatuh hancur luluh di
bawah sana.
"Bagaimana? Apakah dia ..." tanyanya perlahan.
"Lihat! ia meloncat-loncat begitu gampang," sahut Sangaji.
Mendengar keterangan Sangaji, Sonny membuka matanya. Justru pada waktu itu
ia melihat tubuh laki-laki berkepala gede seolah-olah terpeleset dari
tebing jurang dan tubuhnya terpelanting jatuh ke bawah.
Sonny memekik. Sekonyong-konyong terasalah kesiur angin. Tahu-tahu
laki-laki berkepala gede itu telah berada di hadapannya, la tertawa lebar
sambil berkata, "Kamu mestinya harus bisa bergerak begini wajar."
Waktu itu di atasnya bergerak sepasang lutung kira-kira berumur satu tahun.
Laki-laki gede itu lantas saja melesat menangkap kedua lutung tersebut.
Dengan tertawa ia menyerahkan kedua lutung itu kepada Sonny dan Sangaji.
"Inilah buah tanganku. Masing-masing seekor. Peliharalah dengan baik-baik.
Di kemudian hari akan banyak manfaatnya."
Sonny kegirangan. Segera ia mau menerimanya, tapi laki-laki berkepala gede
itu berkata lagi, "Kalian harus berjanji dulu. Kalian kularang mengabarkan
kepada siapa pun juga tentang diriku. Kalian kularang juga menceritakan
perwujudanku. Kalian berjanji?"
Sonny berwatak polos. Lantas saja dia me-manggut. Sedang Sangaji sibuk
menebak-nebak siapakah laki-laki itu.
Sonny kemudian menerima kedua ekor lutung itu dan dibawa lari menjauh, la
bermaksud hendak kembali dulu ke perkemahan. Sangaji mengawaskan dengan
mulut ternganga-nganga, kemudian diam-diam memuji ketangkasan laki-laki
berkepala gede.
Laki-laki berkepala gede mengawaskan dirinya, lalu bergerak hendak
meninggalkan. Sangaji buru-buru menyanggah.
"Aki...! Janganlah pergi dahulu!"
Laki-laki itu memang pantas dipanggil aki, karena umurnya tak terpaut jauh
dari Jaga Saradenta. Ia bergerak dan menghadap padanya.
"Mengapa?"
Sangaji menggaruk-garuk kepala. Sulit ia hendak mulai berbicara. Tapi hanya
sejenak. Sekonyong-konyong ia membungkuk dan menangis terisak.
Laki-laki berkepala gede itu keheran-heranan. Tak dapat ia menebak maksud
si bocah. Segera ia membangunkan.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aki! Aku seorang anak bebal. Sudah kucoba jurus-jurus ini. Selalu saja aku
gagal. Benar
dugaan Aki, mungkin seratus tahun lagi aku belum berhasil." Jawab Sangaji
sambil berisak sedih.
"Ah! Itu yang kamu risaukan?" Sahut laki-laki berkepala gede. "Akupun akan
mengalami nasib sepertimu juga kalau hanya berlatih secara wa-jan"
"Apakah gerakan-gerakan Aki yang begitu gesit tidak wajar?" Sangaji heran
sambil membersihkan air matanya.
"Justru itulah gerak-gerakan wajar. Menurut perasaanku aku bergerak secara
wajar sekali.
Napasku tak usah memburu. Tak perlu pula aku mengeluarkan tenaga."
Keterangan laki-laki berkepala gede itu mengherankan Sangaji sampai
mulutmya ternganga. Katanya meninggi, "Bagaimana mungkin tak mengeluarkan
tenaga?"
"Benar tak mengeluarkan tenaga. Aku tidak bohong."
"Bukan aku tak percaya kepada keterangan Aki, tapi... aku sudah lama
menyusahkan kedua guruku. Ingin aku menyenangkan hati beliau berdua. Siang
dan malam aku berlatih., tapi selalu saja aku..."
"Apa kamu ingin saranku?" potong laki-laki berkepala gede. "Benar," sahut
Sangaji bersemangat sambil memanggut-manggut.
Laki-laki berkepala gede itu tersenyum lebar. "Kulihat kamu jujur dan
benar-benar berlatih, hanya saja belum menemukan suatu kemukji-jatan.
Begini saja, tiga hari lagi aku ada di tepi pantai. Aku akan membawa sebuah
sampan. Datanglah pada tengah malam. Aku akan membawamu pergi."
"Aku mau dibawa ke mana?" Sangaji bertanya tinggi.
"Itupun kalau kamu berhasil melompat dari pantai ke dalam sampanku. Kalau
tidak, jangan lagi berharap berjumpa denganku," kata laki-laki berkepala
gede mengesankan. Setelah itu ia melesat meloncati jurang dan lenyap di
tebing sana.
Sangaji kebingungan diperlakukan demikian. Teringatlah dia akan perlakuan
Wirapati empat tahun yang lalu setelah memperlihatkan kepandaiannya.
Akhirnya ia merasa diri yang tolol. Katanya menyesali diri sendiri, Guru
tak berada di sebelah bawah laki-laki itu. Diapun mengajarku dengan
sungguh-sungguh. Ah, dasar aku yang tolol dan tak berguna...
Kemudian dia berlatih dengan bernafsu. Tapi jurus ke-36 tetap belum dapat
dikuasai. Intisarinya belum tersentuh dan ia merasa gagal untuk kesekian
kalinya. Dengan putus asa ia duduk berdiam diri di bawah pohon sampai Sonny
datang menjenguknya.
Tiga hari kemudian Sangaji menerima ajaran jurus ke-14 dari Jaga Saradenta.
Jurus itu kuat luar biasa dan sebentar saja menghabiskan tenaga. Baru saja
berlatih empat lima kali napasnya sudah naik sampai ke leher, la makin
sedih. Sekaligus ia merasa tak sanggup melakukan jurus ke-36 dan jurus
ke-14 ajaran kedua gurunya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
ML
*Tips ML usia di atas 60 tahun agar tetap... Menyenangkan ***
1. ML tidak bisa dilakukan sendiri, maka dari itu hendaknya berpasangan
2. Carilah pasangan yang bisa diajak komunikasi, demi kelancaran ML. Kalau
mungkin carilah pasangan yang bertubuh kuat dan gesit.
3. Ingat ya ML itu bikin capek, berkeringat dan pasti bikin ngos-ngosan.
Karena harus naik turun dan geser-geser. Maka dari itu komunikasi antar
pelaku harus lancar agar segera mungkin "sampai tujuan".
4. Jangan dipaksa kalau capek di tengah-tengah ML, mending istirahat, atur
napas, jika perlu minum sejenak sambil nonton TV atau WA-an.
5. Posisi bisa gantian dengan pasangan ML, bisa di depan, di belakang atau
di pinggir sesuai kondisi agar menyenangkan
6. Disarankan dalam kondisi mood yang bagus dan persiapan yang baik agar
proses ML sukses dengan menyenangkan.
7. Intinya...dalam ML harus happy, fokus dan terkoordinasi dengan pasangan.
Kalau tidak maka kurang efektif hasilnya, tidak enak, gak menyenangkan,
malah bisa-bisa sakit pinggang atau bertengkar dengan pasangan.
8. Disarankan untuk alas ML, gunakan tikar atau karpet agar tidak lecet dan
merusak.
Demikian & Selamat Mencoba....
Tips "ML" ( *Mindahin Lemari* ) yg enak, dipersembahkan oleh OLYMPIC
Furniture.ojo mikir sing ngeres2.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
1. ML tidak bisa dilakukan sendiri, maka dari itu hendaknya berpasangan
2. Carilah pasangan yang bisa diajak komunikasi, demi kelancaran ML. Kalau
mungkin carilah pasangan yang bertubuh kuat dan gesit.
3. Ingat ya ML itu bikin capek, berkeringat dan pasti bikin ngos-ngosan.
Karena harus naik turun dan geser-geser. Maka dari itu komunikasi antar
pelaku harus lancar agar segera mungkin "sampai tujuan".
4. Jangan dipaksa kalau capek di tengah-tengah ML, mending istirahat, atur
napas, jika perlu minum sejenak sambil nonton TV atau WA-an.
5. Posisi bisa gantian dengan pasangan ML, bisa di depan, di belakang atau
di pinggir sesuai kondisi agar menyenangkan
6. Disarankan dalam kondisi mood yang bagus dan persiapan yang baik agar
proses ML sukses dengan menyenangkan.
7. Intinya...dalam ML harus happy, fokus dan terkoordinasi dengan pasangan.
Kalau tidak maka kurang efektif hasilnya, tidak enak, gak menyenangkan,
malah bisa-bisa sakit pinggang atau bertengkar dengan pasangan.
8. Disarankan untuk alas ML, gunakan tikar atau karpet agar tidak lecet dan
merusak.
Demikian & Selamat Mencoba....
Tips "ML" ( *Mindahin Lemari* ) yg enak, dipersembahkan oleh OLYMPIC
Furniture.ojo mikir sing ngeres2.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Penipuan
Hati2 ya temen2. Barusan saya (David) di telpon dari nomor +62218827738,
begitu diangkat lsg disambut oleh mesin "anda terhubung dengan komisi
pemberantasan korupsi, anda memiliki satu transaksi yg terindikasi tidak
wajar....." (saya ga gitu inget isinya), "tekan 0 untuk berbicara dengan
petugas" lalu saya terhubung dengan seorang laki2 yg menyatakan petugas KPK
yg mencurigai saya ada transaksi tidak wajar pada rekening saya. Tapi si
petugas ini tidak tau sama sekali saya siapa (ingat jangan pernah
memberitahukannama dan data2 asli anda), saya asal sebut nama, tempat
tinggal dll yg dia minta. Nah abis itu dia tanya saya pernah pergi ke
balikpapan, saya jawab pernah (padahal ga pernah sama sekali), akhirnya
saya mute dalam waktu yg lama, lalu telp dia matikan. Kemudian ngotot
nelpon lagi dari nomor +62162125578300 dan akhirnya saya bilang kalau dia
penipu karena data2 yg saya berikan tidak benar dan dia tidak tau (harusnya
seorang petugas beneran tau dong data2 target operasi dia).
Intinya hati2 ya temen2, penipuan makin canggih sekarang.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
begitu diangkat lsg disambut oleh mesin "anda terhubung dengan komisi
pemberantasan korupsi, anda memiliki satu transaksi yg terindikasi tidak
wajar....." (saya ga gitu inget isinya), "tekan 0 untuk berbicara dengan
petugas" lalu saya terhubung dengan seorang laki2 yg menyatakan petugas KPK
yg mencurigai saya ada transaksi tidak wajar pada rekening saya. Tapi si
petugas ini tidak tau sama sekali saya siapa (ingat jangan pernah
memberitahukannama dan data2 asli anda), saya asal sebut nama, tempat
tinggal dll yg dia minta. Nah abis itu dia tanya saya pernah pergi ke
balikpapan, saya jawab pernah (padahal ga pernah sama sekali), akhirnya
saya mute dalam waktu yg lama, lalu telp dia matikan. Kemudian ngotot
nelpon lagi dari nomor +62162125578300 dan akhirnya saya bilang kalau dia
penipu karena data2 yg saya berikan tidak benar dan dia tidak tau (harusnya
seorang petugas beneran tau dong data2 target operasi dia).
Intinya hati2 ya temen2, penipuan makin canggih sekarang.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
6.29.2019
@bende mataram@ Bagian 61

@bende mataram@
Bagian 61
MALAM itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan
pengalamannya pergi berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan
gurunya yang sedang kecewa. Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap.
Baru keesokan harinya daging rusa telah tersulap menjadi beberapa macam
masakan yang sedap menusuk hidung.
Namun Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi.
Pandangannya berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai
anaknya. Sebagai seorang ibu tahulah ia kalau anaknya sedang berduka.
Pikirannya menduga-duga, semalam ia kelihatan gembira kenapa sekarang
berubah dengan tiba-tiba?"
Didekati anaknya dan ia berkata sayang, "Mana gurumu? Apakah mereka tak
datang hari ini?" Dengan pendek Sangaji menjawab, "Guru sedang sibuk benar."
Sehabis berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi
pantai dan mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang
merangkak-rangkak tak peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti
kemasukan setan. Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal
hari sampai terde-ngar suara menegor, "Sejam lagi napasmu bisa putus."
Sangaji mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri
berseri-seri tak jauh dari tem-patnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk
memberi hormat.
"Eh, Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami
berpesta?" kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. "Ibumu sampai
memerlukan datang ke pondok sendiri."
Sangaji heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia
menghaturkan maaf dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta
karena mereka sedang sibuk.
"Ayo pulang!" ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang
bersama. Di rumah Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging
rusa akhirnya dapat juga diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan
keriangan.
"Mulai besok kamu akan benar-benar sibuk," kata Jaga Saradenta. "Kami
berdua telah menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu."
"Bagaimana beratnya aku akan mencoba," sahut Sangaji girang.
Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran
gerak badan dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya.
Semuanya jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang
lalu. Kali ini benar-benar meminta tenaga dan kesungguhan. Tubuhnya cepat
letih dan bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya
yang bersikap garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan
napas. Mendadak terdengarlah suara riang menusuk telinganya,
"Sangaji! Kau disiksa guru-gurumu lagi?"
Sangaji terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu,
kalau kedua gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit
bibirnya. Lalu menyahut setengah memohon, "Sonny! Biarkan aku di sini dulu.
Nanti aku bertandang ke rumahmu."
"Ayah memanggilmu," sahut Sonny tak per-duli. 'Ya—bilanglah, aku lagi
sibuk. Sebentar lagi aku datang."
"Mengapa begitu? Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?" "Sonny!
Benar-benar aku sedang sibuk."
Sonny mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah. "Aku akan
menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai."
Benar-benar hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny
seorang gadis Indo yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang
teguh tata-susila ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka
nampak kurang senang. Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi
menjauhi. Di sana mereka mencoba memberi latihan-latihan baru.
Tetapi bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu
singkat. Selain ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian
menipis. Akhirnya mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan
mas-gul.
Menyaksikan perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa
panjang dan matanya bersinar-sinar. Katanya, "Kamu disesali gurumu? Aku
senang melihatmu kena dampratan."
Sangaji sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut,
"Sonny! Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit."
"Kamu mau ke mana, sih? Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi? Apa
mau jadi seorang jagoan?"
Dihujani pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar
mengungkurkan sambil membentak, "Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi
diriku?"
Sonny terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji
berbicara sekeras itu.
"Apakah aku mengganggumu? Aku datang ke mari semata-mata untuk
kepentinganmu. Ayah memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?"
Sangaji terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia
menyabarkan diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny
mendahului, "Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini
aku takkan menghampiri dirimu lagi."
Sangaji terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan
membersit dari hati nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil
berkata menyanggah, "Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku
berbicara."
Ia kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa
pertandingan dua tahun yang akan datang tak diterangkan.
Sonny dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian
berjanji tidak akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus
ikut menghadap ayahnya.
Di rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu
hari ulang tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam
benda kesayangan. Sonny mengucapkan terima kasih.
"Ayah, pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?"
"Tentu, tentu!" sahut ayahnya cepat.
"Pertama-tama, maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah
sepucuk senapan berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku
Sangaji. Ternyata dia pandai menembak dengan tidak ada celanya."
Permohonan Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya.
Ternyata ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi
salah seorang anggota regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan
malu. Tetapi Sonny sebaliknya bergembira. Ia datang menghampiri dan
membawanya berdiri di depan kawan-kawannya. Kemudian dia mengajak
kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu kehormatan pelantikan itu.
Mau tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang
makin lama makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap
hari Minggu wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 61
MALAM itu jadi Sangaji berpesta. Tak kuasa ia ingin membanggakan
pengalamannya pergi berburu dengan keluarga Kapten de Hoop di hadapan
gurunya yang sedang kecewa. Ketika pulang ke rumah, masakanpun belum siap.
Baru keesokan harinya daging rusa telah tersulap menjadi beberapa macam
masakan yang sedap menusuk hidung.
Namun Sangaji kehilangan nafsu makan. Ia duduk berjuntai di atas kursi.
Pandangannya berkelana di kejauhan. Rukmini heran menyaksikan perangai
anaknya. Sebagai seorang ibu tahulah ia kalau anaknya sedang berduka.
Pikirannya menduga-duga, semalam ia kelihatan gembira kenapa sekarang
berubah dengan tiba-tiba?"
Didekati anaknya dan ia berkata sayang, "Mana gurumu? Apakah mereka tak
datang hari ini?" Dengan pendek Sangaji menjawab, "Guru sedang sibuk benar."
Sehabis berkata demikian, Sangaji meninggalkan rumah. Ia menuju ke tepi
pantai dan mulai berlatih dengan sungguh-sungguh. Matahari yang
merangkak-rangkak tak peduli dari timur ke barat tak diindahkan. Ia seperti
kemasukan setan. Tenaganya penuh dan terus berputar-putar tiada mengenal
hari sampai terde-ngar suara menegor, "Sejam lagi napasmu bisa putus."
Sangaji mengenal suara siapa itu. Ia menoleh dan gurunya berdiri
berseri-seri tak jauh dari tem-patnya. Segera ia menghampiri dan membungkuk
memberi hormat.
"Eh, Sangaji! Mengapa semalam tak bilang, kalau kamu mau mengundang kami
berpesta?" kata Jaga Saradenta dengan wajah berseri-seri. "Ibumu sampai
memerlukan datang ke pondok sendiri."
Sangaji heran bercampur girang mendengar kata-kata gurunya. Cepat ia
menghaturkan maaf dan berkata kalau ia tak berani mengundang berpesta
karena mereka sedang sibuk.
"Ayo pulang!" ajak Wirapati kemudian. Dan mereka bertiga lalu pulang
bersama. Di rumah Rukmini menjemput mereka dengan gembira. Pesta daging
rusa akhirnya dapat juga diselenggarakan dengan bernapas kegirangan dan
keriangan.
"Mulai besok kamu akan benar-benar sibuk," kata Jaga Saradenta. "Kami
berdua telah menyusun rencana pelajaran. Barangkali terlalu berat untukmu."
"Bagaimana beratnya aku akan mencoba," sahut Sangaji girang.
Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Jaga Sarandeta benar belaka. Pelajaran
gerak badan dan ilmu-ilmu yang diturunkan semenjak itu bukan main sulitnya.
Semuanya jauh berbeda dengan apa yang pernah dipelajari dua tahun yang
lalu. Kali ini benar-benar meminta tenaga dan kesungguhan. Tubuhnya cepat
letih dan bergemetaran. Namun ia tak berani mengeluh di depan kedua gurunya
yang bersikap garang dan memaksa, la mencoba dan akhirnya hampir kehilangan
napas. Mendadak terdengarlah suara riang menusuk telinganya,
"Sangaji! Kau disiksa guru-gurumu lagi?"
Sangaji terkejut dan cemas. Yang datang ialah si Sonny. Gadis itu tak tahu,
kalau kedua gurunya kini bersikap garang. Karena cemas ia sampai menggigit
bibirnya. Lalu menyahut setengah memohon, "Sonny! Biarkan aku di sini dulu.
Nanti aku bertandang ke rumahmu."
"Ayah memanggilmu," sahut Sonny tak per-duli. 'Ya—bilanglah, aku lagi
sibuk. Sebentar lagi aku datang."
"Mengapa begitu? Tidak senang ya aku datang menjengukmu berlatih?" "Sonny!
Benar-benar aku sedang sibuk."
Sonny mencibirkan bibirnya. Ia kemudian duduk di atas tanah. "Aku akan
menunggu kamu di sini sampai latihanmu selesai."
Benar-benar hati Sangaji risau diperlakukan demikian oleh Sonny. Sonny
seorang gadis Indo yang polos dan bebas. Sedang kedua gurunya memegang
teguh tata-susila ketimuran. Ketika ia melihat hadirnya si gadis, mereka
nampak kurang senang. Segera mereka memanggil Sangaji dan diajaknya pergi
menjauhi. Di sana mereka mencoba memberi latihan-latihan baru.
Tetapi bagaimana mereka bisa memasukkan semua ajarannya dalam waktu
singkat. Selain ajaran-ajarannya sangat sulit tenaga Sangaji kian lama kian
menipis. Akhirnya mereka mengeluh dan meninggalkan lapangan latihan dengan
mas-gul.
Menyaksikan perangai kedua guru Sangaji, Sonny nampak geli. la tertawa
panjang dan matanya bersinar-sinar. Katanya, "Kamu disesali gurumu? Aku
senang melihatmu kena dampratan."
Sangaji sedih bukan kepalang. Dengan napas tersengal-sengal ia menyahut,
"Sonny! Mengapa kamu menggangguku sedang berlatih. Waktuku tinggal sedikit."
"Kamu mau ke mana, sih? Apa perlu kamu begitu tekun berlatih berkelahi? Apa
mau jadi seorang jagoan?"
Dihujani pertanyaan demikian hati Sangaji jadi kalang-kabut. Ia berputar
mengungkurkan sambil membentak, "Sonny! Mulai hari ini maukah kamu menjauhi
diriku?"
Sonny terperanjat dibentak demikian. Belum pernah sekali juga Sangaji
berbicara sekeras itu.
"Apakah aku mengganggumu? Aku datang ke mari semata-mata untuk
kepentinganmu. Ayah memanggilmu. Apa aku salah menyampaikan kabar ini?"
Sangaji terhenyak mendengar ujar Sonny yang kekanak-kanakan. Terpaksa ia
menyabarkan diri sambil menelan ludah. Tatkala hendak membuka mulut, Sonny
mendahului, "Baiklah, kalau kamu tak suka berkawan denganku, mulai hari ini
aku takkan menghampiri dirimu lagi."
Sangaji terperanjat, la tahu watak Sonny polos. Apa yang dikatakan
membersit dari hati nuraninya. Karena itu, buru-buru ia menghampiri sambil
berkata menyanggah, "Sonny! Janganlah kamu salah paham. Dengarkan, aku
berbicara."
Ia kemudian membujuk agar Sonny mengerti masalahnya. Tetapi tentang masa
pertandingan dua tahun yang akan datang tak diterangkan.
Sonny dengan cepat dapat menerima semua penjelasan Sangaji. Ia kemudian
berjanji tidak akan datang mengganggu lagi. Tetapi hari itu Sangaji harus
ikut menghadap ayahnya.
Di rumah Sonny ternyata banyak juga kawan-kawan Sonny yang datang. Hari itu
hari ulang tahun Sonny yang ke-18. Ayahnya memberi hadiah bermacam-macam
benda kesayangan. Sonny mengucapkan terima kasih.
"Ayah, pada hari ulang tahun ini bolehkah aku mengatakan suatu permohonan?"
"Tentu, tentu!" sahut ayahnya cepat.
"Pertama-tama, maukah Ayah membentuk regu pemburu. Kedua, aku minta hadiah
sepucuk senapan berburu. Dan senapan itu akan kuhadiahkan kepada kawanku
Sangaji. Ternyata dia pandai menembak dengan tidak ada celanya."
Permohonan Sonny ini disambut dengan tepuk tangan riuh oleh kawan-kawannya.
Ternyata ayahnya mengabulkan permintaannya dan mengangkat Sangaji menjadi
salah seorang anggota regu pemburu. Sangaji merah padam karena segan dan
malu. Tetapi Sonny sebaliknya bergembira. Ia datang menghampiri dan
membawanya berdiri di depan kawan-kawannya. Kemudian dia mengajak
kawan-kawannya bernyanyi sebagai lagu kehormatan pelantikan itu.
Mau tak mau Sangaji harus membagi waktunya. Latihan-latihan gurunya yang
makin lama makin berat tak dapat ditekuni secara penuh, karena pada setiap
hari Minggu wajib ia berangkat berburu bersama keluarga Kapten de Hoop.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Mumpung rodo sepi
*🤫🤫 Mumpung rodo sepi aku tak crito diluk yo .......*.
Aku pas mlaku-mlaku esuk ki mau, aku ketemu wong numpak sepeda onthel tp
nggawe helm.
Wonge lagi kukur2 helm e....
Tak takoni, lho koq kukur2 helm pak... ?
Wonge jawab, gatel sirah ku...
Lha kok gak dibuka helm e?
Wonge jawab, lha memange nek bokongmu gatel trus mbok buka ta kathokmu?
*_Oh wong eeedan iki_... Terus tak tinggal ngalih*
😄😄😄🤣🤣🤣
Sing ngguyu rejekine akeh, sing mesem tok mugo2 larane ndang waras, yen
sing mrengut kiro-kiro jatah e blonjo kurang 🤭🤭
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Aku pas mlaku-mlaku esuk ki mau, aku ketemu wong numpak sepeda onthel tp
nggawe helm.
Wonge lagi kukur2 helm e....
Tak takoni, lho koq kukur2 helm pak... ?
Wonge jawab, gatel sirah ku...
Lha kok gak dibuka helm e?
Wonge jawab, lha memange nek bokongmu gatel trus mbok buka ta kathokmu?
*_Oh wong eeedan iki_... Terus tak tinggal ngalih*
😄😄😄🤣🤣🤣
Sing ngguyu rejekine akeh, sing mesem tok mugo2 larane ndang waras, yen
sing mrengut kiro-kiro jatah e blonjo kurang 🤭🤭
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
6.28.2019
@bende mataram@ Bagian 60

@bende mataram@
Bagian 60
Sekonyong-konyong ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata
membentak, "Hai! Apa yang telah terjadi di Yogyakarta?"
"Aman tenteram," sahut Surapati gugup. "Kau diutus siapa ke mari?"
"Aku anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau." "Diutus
apa?"
"Itu urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat
dengan rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran
Bumi Gede."
"Hm." Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, "Kau murid Hajar
Karangpandan yang tertua?"
Surapati tertawa perlahan. "Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan
Yogyakarta. Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada
Gusti Pangeran Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan.
Ini terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik
seperguruan Raden Mas Sanjaya."
"Apa kau bilang? Raden Mas Sanjaya?" Wirapati terkejut.
"Ya. Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya
dengan Raden Mas?"
Wirapati terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat
isteri Wayan Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh
si pemuda pula? Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak
ia menyambar lengan Surapati sambil membentak. "Kau berjungkir balik pula!"
Kena disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh
bergulingan di tanah. Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara
Wirapati bergelora, "Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga
Saradenta tetap menerima tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa
Sangaji. Dan kau bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu.
Bukankah kamu mau mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?"
Tak dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka,- ia
ketakutan. Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam,
tenaganya lantas saja menjadi, lumpuh. Angin sambarannya pun sudah bisa
menyakiti seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat
pergi dengan tersipu-sipu.
Wirapati terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata
seperti menyesali diri, "Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan
cilik itu... Apa boleh buat..."
"Mengapa menyesal?" sahut Jaga Saradenta. "Tindakanmu benar. Kalau kamu
tadi berdiam diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang
Sangaji..."
Wirapati mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina
orang. Selagi menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan.
Apalagi kalau dua tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa
dibayangkan siapa yang unggul dan kalah.
"Hm... Jaga Sadenta, apa pendapatmu?"
"Padang seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita
lampaui dan sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah
kena gertak?"
Waktu itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua
gurunya. Tahulah ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas
saja dia merasa dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua
gurunya.
Tiba-tiba berkatalah Wirapati, "Sangaji, marilah berbicara! Kautahu
sekarang, mengapa kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak
berarti kepadamu. Semata-mata karena kami berdua sudah terikat janji kepada
seorang perkasa nun jauh di timur bernama Hajar Karangpandan."
"Aku sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan
Ibu," potong Sangaji dengan suara rendah.
"Betul, tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang
apa boleh buat. Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami
menerangkan semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih
rajin menekuni pelajaran?"
Sangaji menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang
berkesan sedih, cemas dan menyesali dirinya.
"Sangaji!" terdengar Jaga Saradenta. "Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu
menerima semua kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan
terang-terangan dan di depan umum. Tidak hanya sekali dua kali, tapi
sering. Tapi tak perlu berkecil hati. Langit masih luas dan dunia masih
lebar. Menang atau kalah adalah jamak buat kesatria. Tegakkan dirimu.
Teguhkan hatimu. Dan kamu akan bisa bergerak maju..."
Hebat kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah
ia menduga, kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi
dirinya. Terbukti dengan kata-katanya yang sangat membesarkan hati dan tak
rela menyaksikan dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia
menegakkan kepala. Dengan mata berapi-api ia menjawab, "Guru! Aku akan
mengerahkan segenap tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan
ajaran-ajaran gawat kepadaku dan akupun sanggup memuaskan Guru."
"Hai! Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!" seru Jaga Saradenta.
"Tetapi ajaklah dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan
begitu kau takkan merasa tersiksa."
Kata-kata Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
@bende mataram@
Bagian 60
Sekonyong-konyong ia bangkit dan menyambar dada Surapati. Berkata
membentak, "Hai! Apa yang telah terjadi di Yogyakarta?"
"Aman tenteram," sahut Surapati gugup. "Kau diutus siapa ke mari?"
"Aku anak hamba Gusti Patih. Sudah barang tentu aku diutus beliau." "Diutus
apa?"
"Itu urusan pemimpin rombongan. Aku hanya dititahkan agar ikut berangkat
dengan rombongan. Kemudian aku dititipi surat guru ini lewat Gusti Pangeran
Bumi Gede."
"Hm." Jaga Saradenta mendongkol. Berkata membentak, "Kau murid Hajar
Karangpandan yang tertua?"
Surapati tertawa perlahan. "Aku anak Taruna-sumarta, hamba istana Kepatihan
Yogyakarta. Karena bernasib baik aku dititahkan Gusti Patih mengabdi pada
Gusti Pangeran Bumi Gede untuk berguru kepada Ki Hadjar Karangpandan.
Ini terjadi empat tahun yang lalu. Dengan begitu aku adalah adik
seperguruan Raden Mas Sanjaya."
"Apa kau bilang? Raden Mas Sanjaya?" Wirapati terkejut.
"Ya. Dia putera Gusti Pangeran Bumi Gede. Bukankah aku harus menyebutnya
dengan Raden Mas?"
Wirapati terhenyak. Hatinya lantas saja sibuk menduga-duga. Dulu ia melihat
isteri Wayan Suage dilarikan si pemuda. Apakah akhirnya diambil isteri oleh
si pemuda pula? Mendadak saja timbullah rasa kebenciannya. Sekali bergerak
ia menyambar lengan Surapati sambil membentak. "Kau berjungkir balik pula!"
Kena disambar Wirapati si pemuda terpental sepuluh langkah dan jatuh
bergulingan di tanah. Lama dia baru bisa merayap bangun. Terdengar suara
Wirapati bergelora, "Sampaikan kepada gurumu, kami Wirapati dan Jaga
Saradenta tetap menerima tantangan itu. Dua tahun lagi kami datang membawa
Sangaji. Dan kau bersyukurlah, karena aku hanya menjungkir-balikkan dirimu.
Bukankah kamu mau mencoba-coba Sangaji atas perintah Pangeran Bumi Gede?"
Tak dapat Surapati menyangkal tuduhan Wirapati. Selain benar belaka,- ia
ketakutan. Sambaran Wirapati bukan main kuatnya. Begitu ia kena terkam,
tenaganya lantas saja menjadi, lumpuh. Angin sambarannya pun sudah bisa
menyakiti seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia menahan diri dan cepat-cepat
pergi dengan tersipu-sipu.
Wirapati terdiam mengawasi Surapati pergi. Ia menghela napas dalam. Berkata
seperti menyesali diri, "Jaga Saradenta! Terpaksa aku memberi hajaran setan
cilik itu... Apa boleh buat..."
"Mengapa menyesal?" sahut Jaga Saradenta. "Tindakanmu benar. Kalau kamu
tadi berdiam diri, akulah yang akan mengambil tindakan. Cuma saja memang
Sangaji..."
Wirapati mengangguk. Hatinya mendongkol benar. Terang-terangan dia dihina
orang. Selagi menghadapi adik seperguruan Sanjaya, Sangaji bisa dirobohkan.
Apalagi kalau dua tahun nanti dia dihadapkan dengan Sanjaya. Sudahlah bisa
dibayangkan siapa yang unggul dan kalah.
"Hm... Jaga Sadenta, apa pendapatmu?"
"Padang seluas itu telah kita tempuh. Gunung-gunung, bukit-bukit telah kita
lampaui dan sungai-sungai telah kita seberangi ... masa sudah merasa kalah
kena gertak?"
Waktu itu Sangaji terganggu seperti tugu mendengarkan percakapan kedua
gurunya. Tahulah ia betapa besar rasa kecewa mereka terhadapnya. Lantas
saja dia merasa dirinya terlalu kerdil untuk bisa menerima semua ilmu kedua
gurunya.
Tiba-tiba berkatalah Wirapati, "Sangaji, marilah berbicara! Kautahu
sekarang, mengapa kami berdua bercapai lelah menurunkan beberapa ilmu tak
berarti kepadamu. Semata-mata karena kami berdua sudah terikat janji kepada
seorang perkasa nun jauh di timur bernama Hajar Karangpandan."
"Aku sudah tahu semenjak dua tahun yang lalu, ketika guru berbicara dengan
Ibu," potong Sangaji dengan suara rendah.
"Betul, tapi belum pernah sekali juga kami berbicara terus terang. Sekarang
apa boleh buat. Kamu sudah ketumbuk batu pada malam hari ini. Terpaksa kami
menerangkan semuanya. Setelah itu, maukah kamu mempergiat diri dan lebih
rajin menekuni pelajaran?"
Sangaji menundukkan kepala. Tak sanggup ia menerima kata-kata gurunya yang
berkesan sedih, cemas dan menyesali dirinya.
"Sangaji!" terdengar Jaga Saradenta. "Kau seorang laki-laki. Biarlah dirimu
menerima semua kenyataan. Akupun dulu pernah dikalahkan musuh dengan
terang-terangan dan di depan umum. Tidak hanya sekali dua kali, tapi
sering. Tapi tak perlu berkecil hati. Langit masih luas dan dunia masih
lebar. Menang atau kalah adalah jamak buat kesatria. Tegakkan dirimu.
Teguhkan hatimu. Dan kamu akan bisa bergerak maju..."
Hebat kata-kata Jaga Saradenta. Hatinya heran berbareng kagum. Tak pernah
ia menduga, kalau gurunya yang galak itu sebenarnya sangat menyayangi
dirinya. Terbukti dengan kata-katanya yang sangat membesarkan hati dan tak
rela menyaksikan dirinya bakal kena dicemoohkan orang. Tanpa disengaja ia
menegakkan kepala. Dengan mata berapi-api ia menjawab, "Guru! Aku akan
mengerahkan segenap tenagaku. Mudah-mudahan guru dapat menurunkan
ajaran-ajaran gawat kepadaku dan akupun sanggup memuaskan Guru."
"Hai! Janganlah kamu bekeija demi kepentinganku!" seru Jaga Saradenta.
"Tetapi ajaklah dirimu sendiri agar kamu bisa menanjak tinggi. Dengan
begitu kau takkan merasa tersiksa."
Kata-kata Jaga Saradenta benar belaka. Ia menundukkan kepala lagi.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
6.25.2019
Langganan:
Postingan (Atom)