*Inspirasi Siang*,,,,,,,,,,,,,,,!!
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 366*
"Baiklah," jawab Ki Ageng Pandan Alas. "Tetapi biarlah salah seorang dari
Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?"
"Aku bersedia pergi, " tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
"Bagus" sahut Ki Ageng Pandan Alas. "Marilah kita pergi dengan Bantaran."
Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan.
Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki
Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran
dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak.
Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit
Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang
dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam
arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan
berkumis tebal setebal kumisnya sendiri. Tetapi ini adalah urusan Banyubiru
sendiri.
Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang
akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding
itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah
Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki
Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil
berkata. "Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai."
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit
itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa
pula kepadanya.
"Silakan," jawab Ki Ageng Pandan Alas.
"Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung
Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili
Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?"
"Ya" sahut Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. "Kenapa bukan Karebet
sendiri maju ke gelanggang?" Paningron menarik alisnya. Jawabnya. "Perintah
Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya."
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama
Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat
Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?
"Persetan," berkata Prabasemi di dalam hatinya. "Aku harus menunjukkan
kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan."
Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ki Ageng Pandan Alas, apabila
tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda
di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding
akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan,
supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi.
Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh
tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena
menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing."
Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar
melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu
benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat
perkembangan keadaan.
"Baiklah" berkata Paningron.
"Perang tanding akan segera dimulai."
Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan
kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili
laskar masing-masing dalam perang tanding itu.
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera
mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka.
Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu
dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya.
Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa
orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.
Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan
keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi.
Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu.
Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu
benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan
ketakutan melihat dirinya.
"Hem" desahnya.
"Anak ini adalah anak yang sombong."
SEDANG Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh
kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih
tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus
mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya
pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin
lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.
Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan,
masih dengan tersenyum-senyum.
Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang
bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis. Ketika tangan
Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya
berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap
seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.
Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan
yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia
masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda.
Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya,
ayahnya atau Kebo Kanigara?
Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau
gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya
serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.
"Aku akan berjuang sekuat tenagaku," katanya didalam hati. Karena itu,
ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia
meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian
ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan
sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan.
Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia
benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur
selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka.
Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya
Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah. Wajah Wira Tamtama itu
menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di
sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas,
ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.
"Setan," desisnya.
Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang
pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar
segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan
dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal
sebelumnya.
Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh
seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat
ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai
seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia
menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar
bersama-sama.
Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke
samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan
yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali
ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus
melawan serangan itu.
Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan
lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun
ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka
benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya.
Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam
tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian
seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya. Prabasemi menyeringai.
Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun
alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama
sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang
dirasakannya. Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara
karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya
terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.
Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran
itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat
menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah
Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya.
"Gila," desahnya.
"Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali
bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja
terjadi."
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang dihadapan Baginda.
Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa
Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi.
Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena
itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah.
Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang
menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua
tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya
direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.
Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia
mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu.
Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan
Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir
panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain
bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan.
Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu.
Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat.
Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah
kekepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya
berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun
menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan
tertinggi yang dimilikinya. Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang
dahsyat.
Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah.
"Arya," namun suara itu tidak didengarnya. Benturan kedua Aji itu
benar-benar mengejutkannya.
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*ððð
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar