Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Blognya alumni SMPN 1 Magelang; berbagi kenangan; berbagi rasa dan berbagi cerita.... OPEN to all of alumnus.
2.28.2019
armadillo lizard
armadillo lizard #beardeddragon
Disimpan dari mybeardeddragon.info
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Disimpan dari mybeardeddragon.info
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
The end
The end
Green canyon in Indonesia
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Green canyon in Indonesia
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Asian Paradise-flycatcher (Terpsiphone paradisi)
Asian Paradise-flycatcher (Terpsiphone paradisi) @ Merapoh, Pahang,
Malaysia_20150611_0233
Today's Explore (30 July 2015).
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Malaysia_20150611_0233
Today's Explore (30 July 2015).
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
*NOGO SOSRO SABUK INTEN* *Jilid. : 367*
*Inspirasi Sore*,,,,,,,,,,,,,,,!!
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 367*
Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian
dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya.
Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk
bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua
kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat
keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya,
Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi
kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah.
Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat
kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia
terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi
Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya
sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh
luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Beberapa orang
kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi.
Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. "Pergi. Pergi. Tak seorang pun
dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi."
Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung
Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau
tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu
telah mampu mengalahkan Prabasemi. Arya Salaka masih berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti
membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi
semakin segar pula.
Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali
ke arena. dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. "Ki Ageng,
lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang
kedua seperti yang dijanjikan."
Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih
terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab
lantang. "Aku masih tetap berdiri disini sebelum Karebet diserahkan kepada
kami dengan segala akibatnya."
PARA prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa
Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam
rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk
melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat
dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan.
Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau
beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun
mereka tidak beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung
Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk
yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan
segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja
laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak
dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak
laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang.
Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan
diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak
menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena.
Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda.
Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.
Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali
terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang
yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua
mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak
beberapa saat lampau.
Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata
lantang. "Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila
ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari
Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon
Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka
nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang
telah membawa persoalan itu kemari."
Disekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit
Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke
arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya.
Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada disitu. Sedangkan ia masih
harus menjalani hukumannya.
Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar.
Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan
dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih
lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan
yang selama ini pernah dimilikinya.
Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. "Karebet.
Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri."
Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya
masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia
menyapa. "Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka."
Arya Salaka bergumam.
Jawabnya. "Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita
tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau
telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan
pengampunan atas kesalahanmu itu."
Karebet mengerutkan keningnya.
Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak
jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi
dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana. Apalagi
Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di
sekitarnya.
Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. "Nah, Karebet yang
perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau
membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?"
Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat
menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. "Kau telah memancing kekeruhan
dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah,
Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang."
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya
saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi
ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata.
"Terpaksa aku lakukan adi."
"Omong kosong" bantah Arya Salaka. "Ternyata kau sampai hati menjual adik
sepupumu itu?"
Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka.
Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus.
"Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu."
Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya
memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun
tiba-tiba berkata lantang. "Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak
menyenangkan ini."
Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa
menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet
pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya
maka ia pun membuka serangan pula.
MAKA terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing
mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya
dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang perkasa.
Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan
benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang
Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan
tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik
ke titik yang lain.
Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu
ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi
yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong
perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu
benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara. Sambar
menyambar, terkam menerkam.
Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah
surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan
cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang.
Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi.
Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang
bernada maut. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua
kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.
Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang
yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih
terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat.
"Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula".
Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena
kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya,
tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.
Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh
kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang
matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh.
Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur
itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula.
Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam
hatinya. "Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,"
desisnya. Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang.
"Hem," desahnya. "Seharusnya tuanlah yang maju ke arena."
"Pamanda Baginda tidak menunjuk aku," jawabnya. Kemudian katanya pula.
"Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?"
Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, "Tangan anak itu benar-benar
seberat batu hitam yang menggempur dadaku."
Arya Penangsang tersenyum. Katanya, "Aku tahu benar. Anak muda itu
mempergunakan Aji Sasra Birawa".
"He?," Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam
hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
"Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa," gumam Arya Penangsang.
Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam
baraknya sambil berpegangan dinding. "Persetan."
Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini
menjadi semakin kendor.
Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah
kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun
sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik. "Maafkan
aku adi."
Arya Salaka terkejut. "Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku
telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini."
"Adi," berbisik Karebet itu pula. "Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata
sebenarnya."
Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia
mendengar Karebet itu berkata. "Kali ini tak ada orang lain yang dapat
menolongku, selain adi Arya Salaka."
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*🍏🍏🍏
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 367*
Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian
dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya.
Betapa tubuhnya serasa kejang- kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk
bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua
kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat
keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya,
Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi
kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah.
Namun Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat
kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia
terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi
Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya
sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh
luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Beberapa orang
kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi.
Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak. "Pergi. Pergi. Tak seorang pun
dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi."
Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung
Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya.
Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau
tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu
telah mampu mengalahkan Prabasemi. Arya Salaka masih berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti
membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi
semakin segar pula.
Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali
ke arena. dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas. "Ki Ageng,
lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang
kedua seperti yang dijanjikan."
Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih
terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab
lantang. "Aku masih tetap berdiri disini sebelum Karebet diserahkan kepada
kami dengan segala akibatnya."
PARA prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa
Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam
rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk
melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat
dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan.
Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau
beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun
mereka tidak beserta Baginda. Yang ada disini hanyalah selain Tumenggung
Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk
yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan
segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja
laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak
dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak
laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang.
Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan
diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak
menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena.
Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda.
Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.
Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali
terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang
yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua
mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak
beberapa saat lampau.
Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata
lantang. "Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila
ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari
Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon
Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka
nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang
telah membawa persoalan itu kemari."
Disekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit
Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke
arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya.
Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada disitu. Sedangkan ia masih
harus menjalani hukumannya.
Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar.
Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan
dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih
lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan
yang selama ini pernah dimilikinya.
Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri. "Karebet.
Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri."
Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya
masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia
menyapa. "Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka."
Arya Salaka bergumam.
Jawabnya. "Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita
tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau
telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan
pengampunan atas kesalahanmu itu."
Karebet mengerutkan keningnya.
Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak
jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi
dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada disana. Apalagi
Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di
sekitarnya.
Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata. "Nah, Karebet yang
perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau
membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?"
Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat
menjawab, maka terdengar Arya berkata terus. "Kau telah memancing kekeruhan
dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah,
Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang."
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya
saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi
ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata.
"Terpaksa aku lakukan adi."
"Omong kosong" bantah Arya Salaka. "Ternyata kau sampai hati menjual adik
sepupumu itu?"
Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka.
Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus.
"Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu."
Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya
memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun
tiba-tiba berkata lantang. "Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak
menyenangkan ini."
Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa
menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet
pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya
maka ia pun membuka serangan pula.
MAKA terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing
mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya
dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang perkasa.
Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan
benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang
Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan
tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik
ke titik yang lain.
Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu
ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi
yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong
perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu
benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara. Sambar
menyambar, terkam menerkam.
Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah
surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan
cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang.
Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi.
Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang
bernada maut. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua
kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.
Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang
yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih
terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat.
"Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula".
Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena
kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya,
tiba-tiba saja Karebet telah berada dilingkungan mereka tanpa mereka ketahui.
Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh
kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang
matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh.
Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur
itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula.
Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam
hatinya. "Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,"
desisnya. Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang.
"Hem," desahnya. "Seharusnya tuanlah yang maju ke arena."
"Pamanda Baginda tidak menunjuk aku," jawabnya. Kemudian katanya pula.
"Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?"
Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya, "Tangan anak itu benar-benar
seberat batu hitam yang menggempur dadaku."
Arya Penangsang tersenyum. Katanya, "Aku tahu benar. Anak muda itu
mempergunakan Aji Sasra Birawa".
"He?," Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam
hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
"Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa," gumam Arya Penangsang.
Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam
baraknya sambil berpegangan dinding. "Persetan."
Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini
menjadi semakin kendor.
Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah
kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun
sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik. "Maafkan
aku adi."
Arya Salaka terkejut. "Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku
telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini."
"Adi," berbisik Karebet itu pula. "Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata
sebenarnya."
Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia
mendengar Karebet itu berkata. "Kali ini tak ada orang lain yang dapat
menolongku, selain adi Arya Salaka."
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*🍏🍏🍏
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Heboh Galian Proyek Ternyata Sarang Buaya
Heboh Galian Proyek Ternyata Sarang Buaya
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
2.27.2019
Kejadian mirip film apa memang film
Kejadian mirip film apa memang film
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Foto dari superhampala01
Sekedar mau tanya...sebenarnya mbah Yai Amin tuh keturunan mana sehh..??
Jangan jangan ntar pas kampanye di jogja dia ngaku masih keturunan kraton
dan berdarah biru...
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Jangan jangan ntar pas kampanye di jogja dia ngaku masih keturunan kraton
dan berdarah biru...
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Video dari superhampala01
Dua orang jokower sedang diskusi teknologi baru cara mengambil air aqua
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
2.26.2019
Castries, St. Lucia

Castries, St. Lucia | What would you do with 8 hours in St. Lucia? The
towering twin peaks of the Piton mountains are the island's primary
attraction. They're surrounded by beautiful rainforests, banana valleys,
revitalizing sulphur springs, and more natural beauty. Cruise with Royal
Caribbean to Castries to seek what makes St. Lucia unique.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Castries, St. Lucia | What would you do with 8 hours in St. Lucia? The
towering twin peaks of the Piton mountains are the island's primary
attraction. They're surrounded by beautiful rainforests, banana valleys,
revitalizing sulphur springs, and more natural beauty. Cruise with Royal
Caribbean to Castries to seek what makes St. Lucia unique.
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
*NOGO SOSRO SABUK INTEN* *Jilid. : 366*
*Inspirasi Siang*,,,,,,,,,,,,,,,!!
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 366*
"Baiklah," jawab Ki Ageng Pandan Alas. "Tetapi biarlah salah seorang dari
Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?"
"Aku bersedia pergi, " tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
"Bagus" sahut Ki Ageng Pandan Alas. "Marilah kita pergi dengan Bantaran."
Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan.
Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki
Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran
dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak.
Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit
Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang
dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam
arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan
berkumis tebal setebal kumisnya sendiri. Tetapi ini adalah urusan Banyubiru
sendiri.
Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang
akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding
itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah
Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki
Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil
berkata. "Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai."
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit
itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa
pula kepadanya.
"Silakan," jawab Ki Ageng Pandan Alas.
"Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung
Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili
Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?"
"Ya" sahut Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. "Kenapa bukan Karebet
sendiri maju ke gelanggang?" Paningron menarik alisnya. Jawabnya. "Perintah
Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya."
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama
Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat
Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?
"Persetan," berkata Prabasemi di dalam hatinya. "Aku harus menunjukkan
kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan."
Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ki Ageng Pandan Alas, apabila
tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda
di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding
akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan,
supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi.
Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh
tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena
menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing."
Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar
melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu
benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat
perkembangan keadaan.
"Baiklah" berkata Paningron.
"Perang tanding akan segera dimulai."
Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan
kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili
laskar masing-masing dalam perang tanding itu.
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera
mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka.
Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu
dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya.
Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa
orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.
Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan
keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi.
Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu.
Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu
benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan
ketakutan melihat dirinya.
"Hem" desahnya.
"Anak ini adalah anak yang sombong."
SEDANG Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh
kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih
tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus
mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya
pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin
lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.
Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan,
masih dengan tersenyum-senyum.
Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang
bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis. Ketika tangan
Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya
berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap
seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.
Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan
yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia
masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda.
Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya,
ayahnya atau Kebo Kanigara?
Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau
gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya
serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.
"Aku akan berjuang sekuat tenagaku," katanya didalam hati. Karena itu,
ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia
meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian
ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan
sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan.
Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia
benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur
selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka.
Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya
Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah. Wajah Wira Tamtama itu
menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di
sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas,
ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.
"Setan," desisnya.
Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang
pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar
segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan
dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal
sebelumnya.
Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh
seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat
ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai
seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia
menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar
bersama-sama.
Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke
samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan
yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali
ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus
melawan serangan itu.
Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan
lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun
ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka
benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya.
Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam
tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian
seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya. Prabasemi menyeringai.
Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun
alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama
sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang
dirasakannya. Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara
karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya
terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.
Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran
itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat
menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah
Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya.
"Gila," desahnya.
"Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali
bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja
terjadi."
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang dihadapan Baginda.
Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa
Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi.
Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena
itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah.
Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang
menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua
tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya
direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.
Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia
mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu.
Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan
Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir
panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain
bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan.
Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu.
Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat.
Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah
kekepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya
berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun
menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan
tertinggi yang dimilikinya. Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang
dahsyat.
Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah.
"Arya," namun suara itu tidak didengarnya. Benturan kedua Aji itu
benar-benar mengejutkannya.
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*🍎🍎🍎
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
*NOGO SOSRO SABUK INTEN*
*Jilid. : 366*
"Baiklah," jawab Ki Ageng Pandan Alas. "Tetapi biarlah salah seorang dari
Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?"
"Aku bersedia pergi, " tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
"Bagus" sahut Ki Ageng Pandan Alas. "Marilah kita pergi dengan Bantaran."
Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan.
Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki
Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran
dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak.
Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit
Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang
dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam
arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan
berkumis tebal setebal kumisnya sendiri. Tetapi ini adalah urusan Banyubiru
sendiri.
Ketika keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang
akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding
itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah
Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki
Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil
berkata. "Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai."
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit
itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa
pula kepadanya.
"Silakan," jawab Ki Ageng Pandan Alas.
"Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung
Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili
Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?"
"Ya" sahut Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong. "Kenapa bukan Karebet
sendiri maju ke gelanggang?" Paningron menarik alisnya. Jawabnya. "Perintah
Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya."
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama
Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat
Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?
"Persetan," berkata Prabasemi di dalam hatinya. "Aku harus menunjukkan
kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan."
Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya. "Ki Ageng Pandan Alas, apabila
tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda
di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding
akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan,
supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi.
Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh
tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena
menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing."
Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar
melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu
benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat
perkembangan keadaan.
"Baiklah" berkata Paningron.
"Perang tanding akan segera dimulai."
Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan
kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili
laskar masing-masing dalam perang tanding itu.
Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera
mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka.
Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu
dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya.
Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa
orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama.
Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan
keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi.
Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu.
Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu
benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan
ketakutan melihat dirinya.
"Hem" desahnya.
"Anak ini adalah anak yang sombong."
SEDANG Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh
kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih
tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus
mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya
pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin
lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu.
Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan,
masih dengan tersenyum-senyum.
Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang
bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis. Ketika tangan
Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya
berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap
seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan.
Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan
yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia
masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda.
Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya,
ayahnya atau Kebo Kanigara?
Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau
gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya
serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.
"Aku akan berjuang sekuat tenagaku," katanya didalam hati. Karena itu,
ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia
meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian
ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan
sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan.
Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia
benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur
selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka.
Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya
Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah. Wajah Wira Tamtama itu
menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di
sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas,
ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.
"Setan," desisnya.
Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang
pedang dilambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar
segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan
dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal
sebelumnya.
Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh
seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat
ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai
seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia
menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar
bersama-sama.
Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke
samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan
yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali
ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus
melawan serangan itu.
Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan
lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun
ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka
benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya.
Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam
tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian
seakan-akan merembet kesegenap tubuhnya. Prabasemi menyeringai.
Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun
alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama
sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang
dirasakannya. Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara
karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya
terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.
Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran
itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat
menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah
Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya.
"Gila," desahnya.
"Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali
bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja
terjadi."
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang dihadapan Baginda.
Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa
Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi.
Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena
itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah.
Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang
menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua
tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya
direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.
Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki
pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia
mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu.
Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan
Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir
panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain
bersilang didada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan.
Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu.
Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat.
Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah
kekepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya
berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun
menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan
tertinggi yang dimilikinya. Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang
dahsyat.
Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah.
"Arya," namun suara itu tidak didengarnya. Benturan kedua Aji itu
benar-benar mengejutkannya.
*Bersambung*,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
*(@Ww/tris)*🍎🍎🍎
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Pangolin
This is a pangolin. Majority of us will probably have never heard it, but
we should have. It's the world most heavily trafficked animal. This mammals
scales are made of keratin, the same as a rhinos horn or our own nails.
There are zero health benefits to it, but there are common false beliefs
there are. Regardless of the scientific facts, they continue to be hunted
and killed for their scales. It may seem like there's nothing we can do,
but even spreading awareness makes a difference. And there is so much more
we can do. Change is always possible, when we all fight for it. And for
these lives.
PC: @karmagawa
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
we should have. It's the world most heavily trafficked animal. This mammals
scales are made of keratin, the same as a rhinos horn or our own nails.
There are zero health benefits to it, but there are common false beliefs
there are. Regardless of the scientific facts, they continue to be hunted
and killed for their scales. It may seem like there's nothing we can do,
but even spreading awareness makes a difference. And there is so much more
we can do. Change is always possible, when we all fight for it. And for
these lives.
PC: @karmagawa
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Love your colors little dude! Disimpan oleh Aททα ~❀
Love your colors little dude!
Disimpan oleh Aททα ~❀
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Disimpan oleh Aททα ~❀
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Langganan:
Postingan (Atom)