From: A.Syauqi Yahya
Metropolis
SENIN, 14 SEPTEMBER 2015
Ada sebuah kota fantasi yang terbelah. Tapi barangkali tak istimewa. Tiap kota besar selalu terbelah.
Di satu lapis, ruang hidup dibentuk penduduk yang kaya raya; di lapis lain, orang-orang yang miskin dan terpojok. Di satu sisi, ada bagian yang selalu ingin diperlihatkan, sebagai scene; di sisi lain, bagian yang hendak disembunyikan, obscene.
Metropolis, karya Fritz Lang yang termasyhur, menampilkan keterbelahan itu dengan gamblang--meskipun kota dalam film ini cuma sebuah fantasi tentang masa depan. Diproduksi pada 1927, film bisu ini bercerita tentang sebuah kota raya nun pada tahun 2026, yang berdiri dengan bangunan dan infrastruktur yang di mana pun di dunia waktu itu belum pernah ada.
Tapi pesan moralnya amat tua.
Di balik gedung-gedung megah yang menjulang ke langit dan jalan-jalan raya yang terbentang jauh di atas tanah, kekuasaan berada di tangan keras satu orang: Joh Fredersen. Ia bukan tokoh politik. Ia pemilik modal. Ia tampak sendirian, tanpa saingan, tanpa bergandengan tangan (atau berhadapan) dengan kekuasaan lain. Bahkan di layar putih itu, kita mendapatkan kesan sebuah kota besar yang amat lengang. Tak ada manusia berkerumun. Tak ada Negara. Fredersen Dewa Modal Yang Maha-Tunggal.
Tapi sejak film ini bermula kita tahu, ada yang mengerikan dan menyedihkan di balik itu: ribuan pekerja yang tak berwajah tampak menggerakkan seantero metropolis dari sebuah ruangan mesin di dunia bawah.
Mereka, seperti kemudian tampak dalam film Modern Times Charlie Chaplin, bekerja dengan murung di celah keperkasaan mesin. Mereka adalah barisan panjang yang berseragam dan berjalan kaku seperti boneka. Hidup mereka diarahkan waktu yang terukur persis. Dengan disiplin yang absolut. Tanpa senggang. Tanpa percakapan.
Film ini memang sebuah imajinasi tentang masa depan yang mencemaskan, sebuah dystopia. Bertahun-tahun setelah karya Fritz Lang, kita temukan kembali thema itu dalam film seperti Blade Runner dan Children of Men: masa depan adalah kegelapan. Kelak adalah neraka. Harapan dihabisi dengan anti-utopia.
Tapi tiap dystopia pada dasarnya sebuah kritik tentang hidup di hari ini. Tak ada masa depan yang tak disemai sekarang. Fritz Lang dan filmnya hidup sezaman dengan para pelukis Ekspresionis Jerman di masa Republik Weimar, setelah Perang Dunia I. Pada dua dasawarsa awal abad ke-20 itu, seniman-seniman ini menyaksikan ambruknya kehidupan justru di tengah optimisme sebuah kota modern.
Grosz, misalnya, melukis Berlin dalam Großstadt (1916-1917): dengan warna merah muram di angkasa, metropolis itu, Berlin, tampak sebagai ruang tanpa akhlak. Kanvas Grosz menampilkan secara karikatural orang-orang kaya dengan perut menggelembung; lelaki, berpakaian necis di sebuah kafe yang menatap perempuan yang duduk hampir telanjang; pria dengan wajah babi yang berciuman mulut dengan wanita bugil....
Seperti Metropolis Fritz Lang, ada bayang-bayang kesalihan di sini: uang adalah akar mala dan kekejian, kata Injil. Fritz Lang menampilkan alegori dari Alkitab tentang pelacur Babilonia dan angkuhnya menara Babil; Großstadt juga mengumandangkan kembali kecaman agama kepada tubuh dan syahwat--meskipun Grosz seorang komunis, dengan sikap antikapitalis yang sengit. Mungkin karena yang hendak diperlihatkannya sebenarnya sebuah kota yang ingin menyembunyikan bagian dirinya sendiri yang obscene.
Ia pernah mengatakan, ia sendiri seperti sosok-sosok yang digambarnya; di satu saat ia "orang kaya... yang memadati perutnya dengan makanan dan menenggak sampanye". Tapi di saat lain ia juga orang yang berdiri di luar pintu, diguyur hujan, mengemis. "Aku seakan-akan terbelah dua."
Persoalannya: apa yang akan terjadi dengan keterbelahan ini? Apa yang bisa dilakukan? Revolusi? Baik Fritz Lang maupun Grosz mengelak.
Grosz kemudian pindah ke Amerika, bosan dengan kanvasnya sendiri yang karikatural. Dalam Metropolis, konflik antara Fredersen, sang superkapitalis, dan para buruhnya yang tertindas tak diselesaikan dengan pemberontakan. Metropolis akhirnya hanya sebuah melodrama.
Sang Dewa Kapital yang digambarkan tak punya hati kemudian jadi insaf karena rasa sayang kepada anaknya yang tunggal, Freder. Seperti Sidharta Gautama, Freder dilindungi di istana agar tak pernah melihat penderitaan. Tapi suatu ketika ia bertemu dan jatuh cinta kepada Maria, perempuan muda pelindung si miskin. Seperti Gautama, Freder berubah. Ia memihak yang ditindas.
Tapi film ini diakhiri dengan jabat tangan. Yang semula sebuah dystopia berujung pada utopia. Dengan gampang.
Dalam banyak hal, Metropolis--yang pekan lalu diputar di Teater Jakarta, dengan iringan musik hidup dari Orkestra Babelsberg, sebagai awal festival German Season--adalah sebuah prestasi sinematik yang mengagumkan, yang mendahului masanya. Tapi ia juga sebuah cerita yang itu-itu saja: membawakan petuah tua.
Ajaran moral sering sangat menyederhanakan sejarah, seakan-akan hidup hanya dihuni ide-ide yang sudah jadi. Tapi Metropolis cocok dengan itu: karya ini megah tapi tampak lebih mengutamakan gambar bidang-bidang yang tertib, ketimbang apa yang tak terduga-duga dalam manusia. Di awal film, orang-orang yang di bawah itu ditertibkan Fredersen dan kekuasaannya. Di akhir film, mereka ditertibkan Maria dan kemuliaannya.
Si lemah tetap tak berwajah, tak bernama. Jangan-jangan mereka tak dianggap hidup, hanya jembel dalam sebuah kota yang terbelah.
Tak mengherankan bahwa Partai Nazi bertepuk tangan untuk Metropolis.
Goenawan Mohamad
http://www.tempo.co/read/caping/2015/09/14/130012/metropolis
--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar