@bende mataram@
Bagian 260
"Baiklah!" sahut Kebo Bangah dengan tertawa panjang. "Kalau aku terpaksa
bertem-pur melawan Gagak Seta, terang sekali aku bakal keok."
Gagak Seta melompat keluar gelanggang sambil tertawa riuh pula. Kemudian
sambil meludahi tanah, "Kebo Bangkotan dari serandil ini, memang besar
mulutnya. Masakan aku tak tahu, seluruh tubuhmu penuh lumuran bisa. Lain
mulutnya lain hatinya. Kau sendiri sadar, bahwa dirimu sangat termasyur di
seluruh jagat. Kini ngoceh, kau bakal keok melawan aku. Nah, artinya kau
yakin bakal menang. Heh! Hm... aku si jembel tak karuan juntrungnya,
masakan aku bisa mempercayai mulutmu..."
"Bagus! Jika begitu, terpaksa aku harus melayani kepandaianmu lagi, saudara
Gagak Seta!" Kebo Bangah menantang.
"Itulah jalan yang paling bagus!" sahut Ga-gak Seta, dan terus saja dia
bersiaga mema-suki pertempuran untuk mencari keputusan.
"Sudahlah! Adipati Surengpati melerai de-ngan tertawa. "Aku siluman tua,
benar-benar merasa bahwa kalian berdua sengaja mema-' merkan ilmu
kepandaian kalian dihadapanku.
Gagak Seta tertawa lebar berkata, "Kau pantas menegor aku, saudara
Surengpati. Sebenarnya, aku sengaja menemui engkau untuk melamar putrimu
dan bukan berniat mengadu ilmu dengan bangkotan Kebo edan!"
"Bukankah aku telah mengumumkan hen-dak menguji kedua pemuda itu dengan
tiga syarat?" sahut Adipati Surengpati. "Siapa yang lulus, dialah yang
bakal menjadi menantuku. Tetapi siapa yang jatuh, akupun takkan membiarkan
dia kecewa dan menyesal."
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Gagak Seta heran. "Hai! Apakah itu?
Apakah engkau masih mempunyai seorang putri lagi?"
"Sekarang, belum," kata Adipati Surengpati dengan tertawa."Seumpama aku
harus kawin lagi dengan terburu-buru, rasanya pun akan kasep juga. Maksudku
takkan membiarkan kecewa dan menyesal ialah bahwasannya kasar-kasar aku
mempunyai beberapa macam kepandaian, seperti: ilmu perbintangan, ilmu
mantram, ilmu sejarah, ilmu bumi, ilmu ketabiban ilmu pedang, ilmu
kepalan... dan apabila tidak mencela, dia kuperkenankan memilih salah satu
macam ilmu kepandaian untuk kuajarkan sampai mahir."
Adipati Surengpati, terkenal sebagai seorang bangsawan yang serba bisa.
Gagak Seta mengetahui tentang hal itu. Maka dia berpikir, baiklah!
Andaikata muridku kalah, dia pun bisa menambah ilmu kepandaian. Di kemudian
hari akan banyak gunanya menghadapi perjuangan hidup.
Melihat Gagak Seta berdiam diri, Kebo Bangah segera menyahut dengan suara
nyaring. "Baiklah! Kalau begitu keputusan saudara Surengpati, akupun harus
menerima dengan dada terbuka. Sebenarnya, saudara Surengpati sudah menerima
lamaran keme-nakanku. Tetapi memandang saudara Gagak Seta, biarlah kedua
bocah ini diuji. Kurasa hal ini tidak akan menerbitkan suatu pertikaian
berlarut-larut dikemudian hari, sehingga tiada memecahkan kerukunan kita."
Setelah berkata demikian. Ia menoleh kepada sang Dewaresi. "Sebentar lagi,
engkau bakal diuji melawan kepandaian Sangaji. Seumpama engkau tak dapat
memenangkan, itulah suatu tanda bahwa dirimu tiada gunanya hidup di-jagat
ini. Karena itu, janganlah engkau menyesalkan siapa saja. Malahan engkaupun
harus ikut menyatakan syukur kepada sainganmu. Sebaliknya apabila
dikemudian hari engkau ternyata menimbulkan suatu perkara yang
bukan-bukan... Hm... bukan saja kedua pamanmu bakal menghadapimu, tetapi akupun
tak gampang-gampang mengampuni dirimu."
Gagak Seta tertawa tergelak-gelak. Menya-hut, "Eh kerbau buduk. Kau pandai
juga berdoa tak keruan macamnya. Agaknya engkau sudah merasa pasti bahwa
keme-nakanmu bakal menang. Sampai-sampai di depan kita kau sudah
mengumumkan sangsi hukumannya. Bukankah maksudmu hendak mendesak kita
berdua. Agar membatalkan saja niat saudara Surengpati akan menguji
kemenakanmu... karena kau yakin muridku bakal keok, sehingga tiada gunanya
untuk diadu segala."
Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, jika engkau telah mengetahui
mak-sudku. Nah, saudara Surengpati! Hayo sebutkan tiga syarat ujianmu untuk
memilih calon menantumu!"
25 MENENTUKAN PILIHAN
DI DALAM hati Adipati Surengpati sudah memperoleh keputusan hendak
menyerahkan gadisnya kepada sang Dewaresi yang tampan dan mempunyai
kedudukan. Karena itu, tiga syarat yang akan dikemukakan harus bisa
dimenangkan calon menantu pilihannya. Tetapi selagi ia memeras otak hendak
memilih tiga sarat ujiannya, mendadak Gagak Seta berkata nyaring, "Saudara
surengpati! Kau hendak menentukan pilihan calon menantumu dengan tiga
syarat, itulah baik. Tapi dengarlah! Kita ini adalah golongan tukang pukul,
kepalan dan adu tendangan. Karena itu, tiga syarat yang hendak kau
kemukakan harus mengenai ilmu tenaga. Seumpama engkau lantas mengajukan
ilmu menggambar, ilmu sastra, ilmu sejarah, ilmu ketabilan, ilmu bumi, ilmu
irama lagu atau ilmu alam terlebih-lebih mengenai ilmu mantra dan racun
maka aku dan muridku dengan ini menyatakan kalah dan mengaku keyok. Karena
itu daripada menanggung malu lebih baik kami berdua meninggalkan panggung
ujianmu."
"Saudara Gagak Seta. Janganlah terburu-buru mengaku kalah!" sahut Adipati
Sureng-pati cepat. "Kutanggung, bahwa tiga syarat yang hendak kukemukakan
pasti ada hubungannya dengan ilmu jasmaniah. Yang pertama-tama mengenai adu
tenaga ilmu kepandaian..."
"Itulah tak dapat," potong Kebo Bangah menggugat."Kemenakanku sedang
terluka. Bagaimana bisa mengadu tenaga jasmani."
"Hal itu sudah tentu kuketahui," kata Adipati Surengpati dengan tertawa.
"Akupun tak kan membiarkan kedua calon menantuku akan mengadu kepalan dan
tendangan di hadapanku. Bukankah dikemudian hari akan merusak tali
kerukunan kita?"
"Lantas apakah maksudmu hendak mengujinya dengan mengadu tenaga jasmani?"
Kebo Bangah heran.
"Kujamin lagi, bahwa mereka berdua tak kan kuadu berkelahi."
"Bagus! Bagus!" Kebo Bangah girang kemu-dian menebak-nebak. "Apakah
maksudmu, engkau sendiri hendak menguji tenaga jas-mani calon menantumu?"
"Itupun bukan," sahut Adipati Surengpati penuh teka-teki. "Dengan cara
demikian, susahlah untuk dipertanggungjawabkan. Bukankah diwaktu aku
menggerakkan tenaga bisa mengatur daya berat dan daya ringan menurut
kemauanku sendiri? Saudara Kebo Bangah dan saudara Gagak Seta! Tadi telah
kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, betapa tinggi ilmu kepandaian
kalian sampai berkelahi dua ribu jurus masih belum juga memperoleh
keputusan siapakah di antara kalian berdua yang lebih unggul. Karena itu,
kini baiklah kalian menguji tenaga jasmaniah sang Dewaresi dan Sangaji.
Agar aku mem-peroleh seorang menantu yang tangguh."
Mendengar ujar Adipati Surengpati, Gagak Seta tertawa. Terus berkata, "Cara
begitu, tiada buruknya. Mari! Mari kita jodohkan!" Sehabis berkata
demikian, lantas saja dia menghampiri sang Dewaresi.
"Tunggu dulu!" Adipati Surengpati buru-buru menyanggah.
"Kalian berdua harus tunduk pada suatu aturan tertentu. Pertama-tama, sang
Dewaresi sedang luka, pastilah dia tak bisa menghimpun tenaga untuk melawan
pukulan saudara
Gagak Seta. Begitu juga, Sangaji masih anak kemarin sore. Jika saudara Kebo
Bangah ter-lalu menggunakan tenaga, masakan dia masih bisa mempertahankan
nyawanya. Karena itu yang diuji bukanlah tenaga jasmaninya, tapi ilmu
kepandaian tenaga jasmani. Kedua, cara menguji kalian tidak boleh menginjak
bumi. Kalian berempat harus memanjat pohon itu. Saudara Gagak Seta dan sang
Dewaresi di atas pohon sebelah utara. Dan Saudara Kebo Bangah dan Sangaji
di atas pohon sebelah timur. Siapa di antara kedua calon menantuku jatuh
terlebih dahulu, dialah yang kalah. Dan yang ketiga, siapa yang melukai
anak yang harus diuji, dialah yang kalah.
Gagak Seta heran mendengar bunyi pera-turannya.
"Jadi apabila aku melukai kemenakan Kebo Bangkotan, maka aku dianggap
kalah?" "Ya... itulah maksudku," jawab Adipati Surengpati.
"Kamu berdua berilmu sangat tinggi, apabila tiada diatur semacam ini,
sekali turun tangan apakah nyawa kedua anak muda bisa dipertahankan.
Saudara Gagak Seta! Apabila engkau membuat lecet saja kulitnya Dewaresi,
kau kuanggap kalah! Demikian dengan saudara Kebo Bangah!"
Gagak Seta menggaruk-garuk kepalanya. Tetapi ia tertawa juga. Akhirnya
berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Adipati Surengpati benar-benar seorang siluman bangkotan. Semua
keputusannya sangat aneh bin ajaib. Benar-benar cocok dengan sebutannya.
Cobalah pikir, hai Kebo Bandotan! Masakan melukai lawan sedikit saja,
dianggap kalah? Aturan begini adalah aturan yang paling aneh semenjak zaman
pur-bakala! Tetapi baiklah, mari kita tetapi peraturannya...!"
Dalam pada itu Adipati Surengpati telah mengibaskan tanggan. Keempat orang
itu segera memanjat dua pohon gundul yang berada di atas bukit. Gagak Seta
dan sang Dewaresi di sebelah utara dan Kebo Bangah dan Sangaji di sebelah
timur. Seperti diketahui, kedua pohon itu gundul tiada daunnya selembar
pun. Karena itu, keempat orang itu dapat diamat-amati setiap gerak-geriknya
dengan jelas.
Tatkala mereka berempat sudah berada di atas pohon. Adipati Surengpati
berpikir seje-nak, la tahu, sang Dewaresi lebih pandai dari pada Sangaji.
Meskipun terluka, tapi otaknya cerdas. Pastilah dia emoh mengadu tenaga.
Sebaliknya, hanya mengadu keringanan tubuhnya dengan meloncat-loncat
menghin-dari. Dengan demikian bisa mengulur waktu.
Kemudian berseru panjang, "Hai dengarkan! Asal aku menghitung satu-dua-tiga
mulailah bertempur! Dewaresi dan Sangaji apabila kamu jatuh terlebih
dahulu, aku akan menganggapmu kalah!
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, Titisari berpikir keras untuk membantu
Sangaji dengan diam-diam. Tetapi melihat Kebo Bangah seorang pendekar
berilmu sangat tinggi, ia jadi bingung. Betapapun juga, tak dapat ia
menghalang-halangi keperkasaan pendekar sakti itu.
Tak lama kemudian terdengarlah suara Adipati Surengpati, "Dengar! Aku
menghitung! Satu...
dua... tiga...!"
Maka bergeraklah keempat orang itu di atas pohon gundul. Mereka bergerak
sangat cepat dan lincah bagai bayangan di atas permukaan air.
Titisari menahan napas, mengkhawatirkan Sangaji. Pandangnya hampir tak
berkedip. Dilihatnya, Sangaji dapat bergerak dengan gesit dan tangkas
bahkan bisa melampaui belasan jurus. Diam-diam ia heran dan tak terkecuali
Adipati Surengpati yang mengira kepandaian Sangaji biasa saja.
...Aneh! Mengapa ia belum bisa dijatuhkan? Adipati Surengpati sibuk
menduga-duga.
Kebo Bangah sendiri heran berbareng gelisah menghadapi perlawanan Sangaji
mau tak mau terpaksalah dia menggunakan tena-ganya. Namun ia tak dapat
mengumbar kehendaknya sendiri, karena takut melukai. Karena itu ia berpikir
keras mencari akal untuk menjatuhkan. Dengan tiba-tiba saja ia menyapu
Sangaji dengan kedua kakinya bergantian. Apabila gagal, ia mengulangi lagi
dan mengulangi sambil mengibaskan tangan pula.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar