8.14.2019

@bende mataram@ Bagian 130

@bende mataram@
Bagian 130


"Sangaji! Kamu bernama Sangaji bukan?" bisik Mustapa tiba-tiba. Sangaji
mengangguk kosong.


"Mulai sekarang panggilah aku Paman Suage. Aku Wayan Suage sahabat almarhum
ayahmu..."


Kembali Sangaji mengangguk kosong. Maklumlah, ingatannya waktu itu melayang
penuh-penuh kepada Titisari.


"Kau tadi bilang hendak mencari obat. Apakah sudah kaudapatkan?"


"Sudah," jawab Sangaji. "Hanya saja... aku masih perlu menengok sahabatku."
"Siapakah sahabatmu? Sekarang di mana dia?"


Sangaji hendak memberi keterangan. Mendadak teringatlah dia, kalau
sahabatnya seorang gadis. Apa kata Wayan Suage terhadap dirinya, jika
mendengar dia sedang ber jalan bersama dengan seorang gadis di larut malam
menjelang fajar hari? Bila Wayan Suage menduga yang bukan-bukan, agaknya
tidaklah terlalu salah. Karena itu ia tergugu.


Untung Wayan Suage tiada mengurus lebih jauh, karena tiba-tiba pula ia
teringat kepada urusannya sendiri hendak melihat Raden Ayu Bumi Gede.


"Baiklah," katanya, "Tengoklah sahabatmu dulu dan jaga dirimu baik-baik."


Sangaji kini malahan tercengang mendengar ucapan si orang tua. Tetapi ia
girang. Dengan begitu, tak usahlah dia berkepanjangan memberi penjelasan
tentang siapa sahabatnya itu.


"Aku nanti akan mencari Paman."


Wayan Suage merenungi dirinya. Lama ia berdiam diri, kemudian berkata
seperti memutuskan, "Tak usah. Belum tentu aku pulang ke penginapan."


Sangaji adalah seorang pemuda yang berotak sederhana. Mendengar jawaban
Wayan Suage, tak ada keinginannya untuk mengetahui sebab-musabab orang tua
itu berkata demikian, la tak mau pula menduga-duga, mengapa Wayan Suage
yang sudah dapat membebaskan diri mendadak saja balik kembali ke kadipaten.


Setelah berpisah, Sangaji terus mengarah ke halaman induk gedung. Mendadak
saja sebelum kakinya menginjak batas halaman, ia melihat sesosok tubuh
berkelebat menghampiri dirinya.


"Siapa?" tegur orang itu. Belum lagi Sangaji menjawab orang itu terus
menyerang.


Sangaji cepat-cepat menggerakkan tangan dan segera menangkis. Berbareng
dengan gerakan itu, ia terkejut. Di tengah cerah bulan, ia mengenali wajah
Sanjaya si pangeran muda.


Sanjaya terbangun dari tempat tidurnya, tatkala pintu kamarnya diketuk
ketiga pengiring ibunya. Begitu menerima laporan, cepat ia mengenakan
pakaian dan bergegas ke luar halaman, la memasuki kamar ibunya untuk
mendapat penjelasan lebih lanjut. Setelah mendengar berita bagaimana
Mustapa dan Nuraini membebaskan diri dari kamar tahanan bukan main
terkejutnya. Hm... Ibu! Kau tak tahu urusan besar! Hatimu terlalu lemah!
Sekiranya mereka




masih terkurung, Ibu akan membebaskan juga. Tapi sekarang...? Jika guru
mendengar perbuatanku ini, bagaimana aku harus membela diri? pikirnya.


Cepat sekali ia melesat ke halaman. Niatnya ingin mengejar larinya Mustapa
dan Nuraini. Di luar dugaan, ia bertemu dengan Sangaji. Sekarang, rasa
sesalnya ditumpahkan kepada pemuda itu. la hendak minta ganti kerugian
tambah bunganya. Maka ia menyerang dengan dahsyat dan berbahaya.


Sangaji sebaliknya berusaha meloloskan diri. Ingin sekali ia cepat-cepat
mengisiki Titisari. Kemudian kabur dari kadipaten. Itulah sebabnya, ia
berkelahi dengan tata-menge-lakkan diri.


Tetapi Sanjaya terus melibasnya, sehingga ia tak bisa mendapat kesempatan.
Bahkan ruang geraknya makin lama jadi makin sempit. Mau tak mau, ia memaksa
diri untuk mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Dengan demikian,
pertempuran antara kedua pemuda itu jauh lebih seru daripada tadi siang di
tengah gelanggang.


Dalam pada itu pertandingan adu kepandaian di ruang kadipaten antara
Titisari dan Cocak


Hijau mendekati puncak-puncak penyelesaian. Manyarsewu mengira, kalau Cocak
Hijau akan bisa merebut kemenangan dengan mudah. Sekalipun si gadis cukup
lincah dan gesit. Tak tahunya, tiba-tiba Titisari memperlihatkan tata ilmu
berkelahi aneh yang mengejutkan.


Gadis itu mengeluarkan sapu tangan pembungkus sisa daging goreng pemberian
Sangaji. Sambil bergerak lincah mengelakkan diri, ia mengebutkan sapu
tangan. Sisa daging yang dibungkusnya rapi, terpelanting dan melesat
menyambar cawan arak. Yang lain mengarah mata lawan.


Cocak Hijau jadi kelabakan. Ingin ia menghindari serangan Titisari yang
mengarah cawannya. Tetapi segumpal daging lainnya akan mendarat ke matanya.
Sebaliknya jika membiarkan matanya kena serang, cawannya kena gempur. Dalam
kerepotannya, ternyata ia bisa mengatasi dengan suatu kehebatan
mengagumkan. Dengan sekali gerak ia mengendapkan diri sambil menghindarkan
cawan dari serangan gumpalan daging. Tetapi kemudian terjadilah, suatu
serangan lain di luar dugaan.


Sekonyong-konyong Titisari menyerang dengan mengembangkan sapu-tangannya
seolah-olah hendak menangkap kepala.


Dengan begitu, Cocak Hijau dihujani serangan berantai tiga macam
berturut-turut. Dua macam serangan kena dielakkan. Kini menghadapi serangan
ketiga. Benar-benar sapu tangan mengarah kepalanya. Cepat kakinya menyapu,
mendadak saja serangan sapu-ta-ngan itu ternyata suatu tipuan belaka.
Titisari membiarkan sapu-tangannya kabur tak ter-kendalikan. Berbareng
dengan itu, serangannya yang sungguh-sungguh tiba. Kedua tangannya menyodok
dan menggaplok dari arah bertentangan. Masih pula diiringi dengan tendangan
mengarah dada.


Karena serangan berantai itu dilakukan begitu cepat dan tanpa selang, Cocak
Hijau meskipun gagah akhirnya gugup juga. Tak sempat lagi ia menangkis
dengan kaki, maka terpaksa ia menangkis. Titisari tak mau menyia-nyiakan
kesempatan itu. Sengaja ia mengadu tenaga dan membenturkan tangannya.
Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam
cawan kena ditumpahkan. Cepat ia melesat mundur sambil berseru,"Tolong,
bersihkan lantai!"


Merah padam muka Cocak Hijau mendengar ejekan Titisari. Lambat-laun berubah
bermuram durja karena menahan rasa malu berbareng mendongkol.


Walaupun tangannya merasa sakit kena getaran tenaga, tetapi arak dalam
cawan kena ditumpahkan. Cepat-cepat ia melesat mundur sambil berseru.


"Kau licin, Nona. Ayo, bertanding lagi," ia menantang.


Titisari tersenyum sambil mundur selangkah. "Eli—apakah seorang tua akan
melanggar janji?" "Hm," dengus Cocak Hijau. Tapi benar-benar ia merasa mati
kutu. Sebaliknya Manyarsewu




yang sudah bersahabat dengan Cocak Hijau menjadi penasaran. Dasar wataknya
berangasan, lantas saja dia berteriak nyaring. "Bangsat cilik! Kau licin
seperti belut. Siapa sebenarnya gurumu? Suruh dia keluar!"


"Saat ini Beliau tidak ada di sini. Tenang-tenangkan hatimu, esok biarlah
kukisiki. Tapi jangan kamu mencoba lari ngacir!" Titisari tertawa panjang.
Sekonyong-konyong ia me-ngungkurkan semua yang hadir dan hendak berlalu.
"Selamat tinggal. Sekarang, biarlah aku pergi menemui guru."


Tetapi mana bisa Manyarsewu diperlakukan demikian. Entah bagaimana gaya
gerakannya, tiba-tiba saja tubuhnya telah melesat dan menghadang di ambang
pintu seperti malaikat pencabut nyawa.


Titisari terperanjat menyaksikan kehebatan Manyarsewu. Sama sekali tak
diduganya, kalau orang seumur dia bisa bergerak secepat itu. Sadar akan
bahaya, cepat-cepat ia menguasai diri. Pikirannya disuruhnya bekerja lagi,
sampai dahinya mengkerut.


"Mau apa kau menghadangku?" ia minta penjelasan dengan tenang. Terang—ia
berlagak menguasai suatu ketenangan luar biasa.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar