@bende mataram@
Bagian 129
"Anak muda! Sebenarnya kau siapa? Siapa pula orang tuamu?"
"Aku datang dari jauh," jawab Sangaji. "Ayahku dulu bertempat tinggal di
sebuah desa di Jawa Tengah. Aku sendiri hidup di Jakarta dengan Ibu."
"Siapa nama ayahmu?" kata Mustapa seperti mendesak. "Dia orang berasal dari
Bali. Namanya Made Tantre."
"Siapa? Made Tantre?" ulang Mustapa. Dan tiba-tiba tubuhnya bergemetaran.
"Di mana ayahmu dulu pernah bertempat tinggal?"
"Di sebuah desa, Karangtinalang, namanya..."
"Oh!" Mustapa terkejut. Mendadak saja, kepalanya mendongak ke angkasa.
Kemudian seperti berbisik kepada dirinya sendiri, terdengar ia berbicara...
"Dewa Agung... Dewa Agung...
benarkah ini anakmu?"
Lantas saja tangannya yang sebelah menerkam pergelangan tangan Sangaji
erat-erat. Sangaji jadi keheran-heranan. la merasakan tangan Mustapa
bergemetaran. Tiba-tiba Mustapa mengalirkan air mata dan menetesi lengan.
Sangaji jadi menebak-nebak, "Hai... mengapa? Apakah aku mengingatkannya
kepada salah seorang anaknya yang sudah lama meninggal dunia?" Mendapat
pikiran demikian Sangaji kemudian berkata, "Paman masuk ke halaman
kadipaten lagi. Apakah ada sesuatu yang harus Paman lakukan? Biar tenagaku
masih ingusan, aku akan membantu Paman sebisa-bisaku..."
"Ibumu bernama Rukmini, bukan?" Mustapa seperti tak mendengarkan ucapannya.
"Dia masih berada di sampingmu atau... atau... sudah pulang ke asal?"
Kembali Sangaji keheran-heranan, sehingga balik bertanya.
'*'Apakah Paman kenal Ibu? Ibu kini berada di Jakarta. Jauh di barat sana..."
Hati Mustapa tergoncang keras. Ia menerkam tangan si bocah kian erat,
seolah-olah takut terlepas.
"Paman, biarlah aku membebat tangan Paman dulu," kata Sangaji.
Tetapi Mustapa tetap memegang tangan Sangaji erat-erat. Ia seperti seorang
yang tengah menemukan sesuatu yang berharga dan tidak ingin kehilangan
lagi. Terdengar ia berbisik penuh haru. "Ah bocah! Kamu telah menjadi
begini besar... begini besar..."
Ia menarik napas panjang dan berkata lagi. "Sekarang... biar langit ambruk
menimpa tubuh, apa yang kutakuti lagi. Bocah! Melihat dan meraba dirimu
lantas saja teringatlah aku kepada almarhum ayahmu... Ya, begini ini... ya
seumurmu ini, kami berdua mulai merantau meninggalkan Pulau Bali tanah
leluhurmu..."
Sangaji jadi semakin heran. "Paman kenal ayahku pula?"
"Ayahmu adalah saudara-angkatku," Mustapa memberi keterangan. "Kami berdua
telah mengangkat saudara sewaktu hendak berangkat merantau meninggalkan
kampung halaman. Semenjak itu ayahmu dan aku selalu bersama...
runtang-runtung bagaikan saudara sekandung tunggal rahim..."
Sehabis berkata demikian, ia lantas menangis sedih. Teringatlah dia kepada
nasib buruk yang merenggutkan. Itulah pula sebabnya, tak sanggup ia
meneruskan kata-katanya.
Tak tahunya sendiri, Sangaji ikut mengalirkan air mata. Memang, dia seorang
pemuda yang jujur sederhana. Hatinya polos dan penuh kemanusiaan. Sama
sekali tak diketahuinya, kalau
Mustapa sebenarnya adalah Wayan Suage sahabat almarhum ayahnya.
Waktu itu, Wayan Suage terpaksa ditinggalkan Wirapati karena hutan
tiba-tiba terbakar, la dalam keadaan pingsan. Tiba-tiba tubuhnya terasa
sangat panas seperti terselomoti bara. Itu disebabkan karena tumbangnya
pohon jati yang sedang terbakar hebat dan runtuh menimpa gerumbul belukar
tempat persembunyiannya. Tetapi ia tak berdaya. Darah yang mengucur ke
tanah sudah terlalu banyak. Meskipun Wirapati hampir berhasil menyumbat
lukanya dengan bebat potongan baju, namun tenaganya sebagian besar telah
hilang. Lagipula hatinya terlalu sedih memikirkan nasib keluarga dan
sahabatnya. Tiba-tiba saja, ia seperti teringat sesuatu. Terasa kedua
tangannya masih menggenggam erat-erat ketiga pusaka keramat hadiah Ki Hajar
Karang-pandan. Kemudian entah kekuatan darimana asalnya, sekonyong-konyong
pikirannya menjadi jernih. Suatu tenaga ajaib mendorong padanya, la
berontak. Direnggutkan semua dahan dan ranting yang melibat dirinya. Dengan
sekali renggut, bebaslah dia dan kemudian menggelinding bergulingan.
Udara kala itu panas bukan kepalang. Asap tebal menutupi seluruh
penglihatan dan api berjilatan sejadi-jadinya. la terus bergulingan tanpa
tujuan dengan menggenggam ketiga pusaka keramat. Dalam hati, ia mendengar
suara pelannya sendiri. "Biar bagaimanapun pusaka ini harus kusampaikan
kepada Sanjaya dan Sangaji. Harus kusampaikan...! Harus kusampaikan...!
Harus kusampaikan...!"
Tiba-tiba ia terperosok ke dalam tebing curam. Ketiga pusaka keramat yang
tergenggam erat-erat terbanting ke bawah. Dia sendiri lantas pula
terbanting ke bawah. Kepalanya terbentur batu dan tubuhnya tercebur ke
dalam sungai berlumpur. Itulah sungai berlumpur yang pernah diceburi
Wirapati pula, tatkala menghindarkan diri dari ancaman pohon tumbang yang
sedang terbakar menyala-nyala.
Entah sudah berapa hari ia tak sadarkan diri. Tatkala membuka mata, dirinya
sudah berada di atas dipan beralaskan tikar compang-camping. Seorang anak
perempuan berumur kira-kira lima tahun duduk di dekatnya seperti sedang
menjaganya. Tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki setengah umur
menghampiri. Laki-laki itu bersikap manis dan selanjutnya merawat dirinya
dengan rajin dan penuh perhatian.
Dua bulan lamanya ia terbaring di atas dipan. Selama itu ia telah
mengetahui dari sang penolong tentang dirinya. Ternyata kebakaran makin
lama makin meluas. Pemerintah segera mengerahkan pekerja-pekerja untuk
bergotong-royong mencegah kebakaran. Mula-mula kurang mendapat perhatian.
Tetapi setelah pemerintah menjanjikan bidang-bidang tanah hutan bekas kena
bakar, lainlah halnya. Orang lantas saja datang dari segenap penjuru hendak
menyumbangkan tenaga. Dengan demikian kebakaran bisa lekas terpadamkan.
Laki-laki penolong Wayan Suage adalah pula termasuk salah seorang pekerja
sukarela. Dia berasal dari Garut yang datang merantau ke Jawa Tengah hendak
mengadu nasib. Sedang si bocah perempuan itu adalah anaknya bernama Nuraini.
Satu tahun lagi ia merawat diri. la menyambung kakinya yang buntung dengan
bambu. Setelah biasa berjalan dengan kaki buntung, barulah ia merasa diri
telah sembuh benar. Kemudian ia mencoba mencari jejak isterinya dan
keluarga sahabatnya. Sudah barang tentu, usahanya sia-sia belaka.
Maklumlah, kala itu Rukmini dan Sangaji sudah berada di Jakarta. Sedang
isteri dan anaknya sudah pula digondol seorang pangeran di perbatasan timur
daerah kerajaan Yogyakarta.
Ia balik kembali ke rumah penolongnya. Ia merasa berhutang budi, maka
berjanjilah dia di dalam hati hendak membantu penghidupan sang penolong
sekuasa-kuasanya. Tatkala penolong itu mati karena sakit, ia merawat
Nuraini seperti anak kandungnya sendiri. Dan semenjak itu, ia mengajak
Nuraini merantau dari daerah ke daerah sambil berusaha memperoleh kabar
anak-isteri dan keluarga sahabatnya.
Hampir empat belas tahun dia terenggut dari bumi keluarganya dan selama
merantau usahanya
untuk memperoleh titik-titik berita tentang keluarga sahabat dan
anak-isterinya, sia-sia belaka.
Sekali-sekali dalam perantauannya, ingin ia lekas mati atau membunuh diri.
Untung, dia masih merasa bertanggung jawab terhadap kebahagiaan Nuraini
puteri penolongnya. Lagi pula, hatinya takkan lega sebelum bertemu dengan
anak-isteri serta keluarga Made Tantre. Mendadak saja—secara
kebetulan—sekarang ia bertemu dengan putera sahabatnya. Bagaimana ia tak
menjadi terharu? Karena itu ia terus menangis dan membiarkan diri menangis
sepuas-puas hati.
Selama itu, Sangaji masih saja berdiri tertegun. Tak tahu dia, apa yang
harus dilakukan selain ikut menyumbangkan air mata. Tiba-tiba teringatlah
dia kepada Titisari yang mungkin masih mengintip pembicaraan orang-orang
dari atap rumah. Teringat akan Titisari, perlahan-lahan ia mencoba menarik
tangannya. Tetapi genggaman Mustapa masih saja erat.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar