@bende mataram@
Bagian 81
Tujuh hari lamanya mereka berjalan. Pada malam hari mereka menginap di
losmen-los-men. Sekiranya tidak ada, mereka bertiduran di alam terbuka.
Inipun merupakan suatu pengalaman baru yang menyenangkan hati Sangaji. Rasa
petualangannya lantas saja membersit dari hati. Pada hari kedelapan
sampailah mereka di perbatasan kesultanan Cirebon. Waktu itu tengah hari
telah terlampaui. Sangaji mengkaburkan kudanya terus-menerus. Kedua gurunya
mengawaskan dari belakang.
"Di luar dugaanku, kuda itu benar-benar kuda jempolan," dengus Jaga
Saradenta. Wirapati tertawa senang mendengar Jaga Saradenta memuji kuda
Sangaji.
"Aku lantas ingat kepada cerita-cerita kuno tentang primbon kuda," ujarnya
lagi. "Bahwasanya kuda-kuda itu mempunyai ciri-ciri yang baik dan tidak.
Diapun akan menyeret pula nasib majikannya. Kautahu tentang itu?"
"Tak pernah aku mempunyai kuda," sahut Wirapati. "Ah! Itulah kekuranganmu."
Jaga Saradenta merasa menang. "Kalau begitu kau tak pernah mendengar cerita
tentang kuda. Pada jaman dahulu raja akan memperebutkan kuda jempolan. Dia
berani mengorbankan semuanya, kalau perlu. Kadang kala pecahlah suatu
perang besar hanya perkara kuda bagus."
"Masa begitu goblok?" potong Wirapati. "Apakah harga nyawa seekor kuda
lebih ber-harga daripada nyawa manusia?"
"Hm, dengarkan. Aku pernah mendengar cerita perkara kuda dari seorang
sahabatku bangsa Tionghoa. Dia Lotya di Banyumas. Dia bisa mendongeng dan
menunjukkan bukunya tentang perang besar memperebutkan kuda-kuda jempolan
di negeri Tiongkok. Buku itu, kalau tak salah namanya Hikayat Jaman Han.
Diceritakan tentang seorang kaisar bernama Han Bu Tee yang pada suatu kali
mengirimkan Jendral Besarnya bernama Lie Kong untuk memperebutkan kuda raja
negeri Ferghana. Jendral itu membawa pasukan puluhan ribu orang banyaknya.
Mereka bisa dihancurkan dan dibinasakan. Baru setelah mendapat
bala-bantuan, maka tercapailah angan-angan Kaisar Han Bu Tee untuk memiliki
kuda Ferghana yang jem-polan."
"Itu gila! Kalau memang cerita itu benar-benar kejadian, maka Kaisar Han Bu
Tee akan bersedia tidur bersama kuda."
"Hooo...! Nanti dulu! Soalnya lantas saja berubah menjadi masalah
kehormatan bangsa." "Itulah yang benar. Jadi bukannya berperang perkara
merebut kuda."
"Tapi mula-mula perkara kuda," Jaga Saradenta mengotot.
"Menurut buku itu, Kaisar Han Bu Tee mengirimkan utusan kepada raja
Ferghana untuk minta seekor kuda. Permintaannya ditolak, lantas saja
timbullah suatu peperangan besar yang membinasakan puluhan ribu manusia."
"Apakah kira-kira masalah permintaan kuda itu, bukan suatu dalih belaka
untuk suatu alasan berperang?"
Didebat begitu Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Kemudian mencoba
meng-atasi. "Tapi memang sejarah dunia ini banyak mengisahkan hal-hal yang
tak masuk akal. Kuda jempolan kurasa patut direbut dengan perang. Kalau
dipikir, banyak cerita-cerita yang mengisahkan tentang hancurnya suatu
kerajaan hanya karena gara-gara seorang perempuan. Haaa ... seseorang yang
tahu apa arti kuda, kerapkali menilai seekor kuda jauh lebih berharga
daripada seorang perempuan. Kau percaya tidak?"
Selagi Wirapati hendak menyahut, tiba-tiba terlihatlah serombongan
penunggang kuda yang mengenakan pakaian serba putih. Rombongan itu terdiri
dari enam orang pemuda tampan. Pakaiannya bersih dan gerak-geriknya
tangkas. Mereka datang dari arah Selatan, terus memotong jalan dan mengarah
ke Timur.
Sangaji yang berada jauh di depan memberhentikan kudanya. Kelihatan ia
sedang me-ngawaskan mereka dengan penuh perhatian. Sampai mereka
melewatinya, masih saja dia berdiam diri. Ia menunggu kedatangan kedua
gurunya. Lalu berteriak, "Guru! Mereka me-ngenakan pakaian putih. Kulit
mereka kuning lembut. Mereka mengerling padaku dan mem-perhatikan kudaku."
"Buat apa mereka memperhatikan kudamu? Yang diawasi itu kantung uangmu!"
sahut Wirapati tajam.
"Belum tentu!" Jaga Saradenta menungkas. "Kalau mereka ahli kuda, bukan
mustahil mereka ngiler melihat kuda Sangaji. Siapa tak kenal kehebatan kuda
pahlawan Arabia Hamzah? Sekiranya kuda Amir Hamzah masih hidup sampai kini,
kurasa dunia akan berpe-rang terus-menerus untuk memiliki kuda itu."
Wirapati melengos. Ia menjepit perut kudanya dan mengkaburkan
sekencang-ken-cangnya. Sangaji heran melihat kelakuan gurunya. Segera ia
mengejar dengan diikuti Jaga Saradenta. Mereka bertiga jadinya seperti lagi
beriomba dalam pacuan kuda. Debu berhamburan di udara menutupi alam
sekitarnya. Meskipun demikian, mereka seakan-akan tak mempedulikan. Mereka
terus melarikan kudanya hingga hampir matahari tenggelam.
Tatkala senja rembang tiba, mereka berhenti di dalam sebuah rumah makan
yang luma-yan besarnya. Segera mereka memilih tempat dan memesan makanan.
Mereka minta tolong pada salah seorang pembantu rumah makan untuk
mencarikan rumput dan serbuk kasar. Tak lama kemudian, terdengarlah kuda
berde-rapan. Enam orang pemuda berpakaian putih datang ke rumah makan itu.
Mereka bukan rombongan yang pertama tadi, tapi merupakan rombongan kedua.
Sangaji heran melihat mereka begitu tampan dan bergerak sangat lincah.
Mereka me-ngenakan ikat kepala berwarna ungu dan duduk bersama di pojok
sebelah kanan. Pikir Sangaji, Mereka merupakan rombongan yang teratur. Apa
ada pemimpinnya? Tatkala hendak minta keterangan tentang siapa mereka,
terdengar Wirapati berkata kepada Jaga Saradenta dengan suara lantang
menyegarkan pendengaran, "Kau tadi bilang perkara kuda Amir Hamzah. Kenapa
kauanggap kuda jempolan?"
"Ah! Kamu mau berdebat lagi perkara kuda?" Jaga Saradenta tertawa
berkakakkan. Sambil menunjuk kuda Sangaji ia berkata meyakinkan. "Lihat
Willem! Apakah kuda itu bukan kuda bagus? Delapan hari dia dilarikan si
bocah edan-edanan, tapi masih nampak segar-bugar seolah-olah tidak mengenal
lelah. Coba, kalau aku bukan orang tua si bocah, pasti akan kurampas.
Begitu pula, kuda Amir Hamzah terkenal sebagai kuda jempolan. Kuda itu
bernama Kalisahak. Menurut cerita, dia dahulu milik Nabi Iskak. Dengan cara
gaib, Amir Hamzah dan Gmar bisa mendapatkan selagi mereka berdua
bermain-main memanjat pohon di tengah hutan. Kuda Kalisahak bisa berlari
secepat kilat. Dia tak takut hujan, guntur, sungai, rawa-rawa, hujan panah
dan api. Selain itu, dia bisa melindungi majikannya. Di kala Amir Hamzah
menderita luka parah sewaktu perang dengan Raja Kaos, Kalisahak membawa dia
lari ke luar gelanggang. Dia terus lari dan lari, siang dan malam tiada
hentinya sampai mencapai sebuah dusun yang aman tenteram. Di dusun itulah
Kalisahak menyerahkan majikannya kepada seorang penduduk agar mendapat
rawatan. Dia sendiri tetap berdiri di samping majikannya sampai majikannya
sembuh. Apakah itu bukan kuda jempolan?"
Sangaji tertarik pada cerita gurunya. Sewaktu mengerlingkan mata kepada
enam pe-muda berpakaian putih, dilihatnya mereka menaruh perhatian pula.
"Kalisahak mati karena usia tua," Jaga Saradenta meneruskan. "Bukan mati
karena sen-jata lawan seperti dikabarkan."
"Bagaimana cerita itu?" Wirapati minta penjelasan.
"Itu terjadi dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kalisahak kena bidikan
panah lawan dan kena sabetan pedang. Dia jatuh terjengkang. Amir Hamzah
melindungi mayatnya sambil menangis meraung-raung. Kemudian Kalisahak
dikubur dengan upacara kerajaan."
"Eh, kedengarannya cerita ini yang lebih mengasyikkan daripada mati tua.
Matinya lebih terhormat dan patut menjadi kenangan orang."
Jaga Saradenta diam seperti lagi mempertimbangkan. Ia menyenak napas seraya
men-jawab, "Sesukalah."
"Sesukalah bagaimana?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar