@bende mataram@
Bagian 80
Maksud kedua guru Sangaji itu, menggirangkan hati Rukmini. Sekaligus
teringatlah dia kepada kampung halamannya, keadaan rumah-tangganya dahulu
dan kebahagiaannya. Tak terasa air matanya menetesi kedua belah pipinya.
Melihat Rukmini meneteskan air mata, Wirapati dan Jaga Saradenta diam
terharu. Sedang Sangaji terus saja memeluk ibunya.
Keesokan harinya, Rukmini—Wirapati dan Jaga Saradenta datang menemui Mayor
Willem Erbefeld. Mereka menyampaikan maksudnya. Diterangkan dan diyakinkan
betapa penting dan
perlunya Sangaji pergi ke Jawa Tengah untuk membereskan persoalan keluarga.
Sehabis menyelesaikan soal itu, barulah dia menikah dengan Sonny.
Mayor Willem Erbefeld bersedia membicarakan soal itu. Keluarga Mayor De
Hoop tidak berkeberatan. Apabila lamanya kepergiannya Sangaji dari Jakarta
ditaksir hanya satu tahun.
"Pergilah!" kata Mayor De Hoop kepada Sangaji. "Bawalah sekalian kepala
pembunuh ayahmu! Untuk melaksanakan pekerjaan itu, berapa orang kaubutuhkan
sebagai pengiring dan pengawal?"
"Aku hanya pergi dengan kedua guruku. Tak usah membawa-bawa teman berjalan
yang lain," jawab Sangaji.
Mayor De Hoop menyetujui dan ia menyediakan perbekalan cukup. Sangaji
diberi se-kantung uang berisi seribu ringgit, suatu jumlah yang jarang
dimiliki seorang pedagang kaya.
Pada hari ketiga, Sangaji berpamit dari kakak-angkatnya Mayor Willem
Erbefeld. Kakak-angkatnya selain menyertakan kuda si Willem memberinya pula
bekal sekantung uang dan sepasang pakaian tebal dan mahal. Kemudian
mengantarkan dia berpamitan ke ibunya yang segera memeluk dengan tangis
tersekat-sekat.
Kira-kira pukul sembilan pagi, Sangaji berangkat dengan kedua gurunya.
Mereka menunggang kuda. Ternyata Mayor Willem Erbefeld membelikan dua ekor
kuda bagi kedua guru Sangaji. Selain itu menyediakan pula bekal perjalanan.
Belum lagi mereka berada lima kilometer dari batas kota, tiba-tiba
terlihatlah dua ekor lutung berkalung emas. Itulah kedua ekor lutung
kepunyaan Sonny hadiah dari Ki Tun-jungbiru. Dan tak lama kemudian
muncullah si gadis, dengan menunggang kuda.
Sonny datang menghadang bakal suaminya, tetapi ia tiba-tiba tak pandai
berbicara seperti biasanya. Wajahnya memerah dadu.
"Adik yang baik," kata Mayor Willem Erbefeld kepada Sangaji. "Berbicaralah
dengan bakal isterimu. Aku takkan mendengarkan barang sepatah katapun."
Terang maksud Mayor Erbefeld hendak bergurau.
Tapi begitu Sangaji mendengar kata-kata bakal isterinya, darahnya tersirap
dan hatinya menjadi ciut.
Sonny mendengar gurau Mayor Willem Erbefeld, tetapi masih saja dia belum
dapat berbicara. Seorang perempuan memang makhluk perasa. Dulu dia begitu
bebas, karena belum ada suatu ikatan rasa tertentu. Tetapi begitu sudah
terjalin suatu rasa yang lain daripada yang dulu, lekas saja menjadi
canggung dan merasa diri menjadi manusia lain.
Mayor Willem Erbefeld benar-benar bersikap tak mau mendengarkan pembicaraan
mereka, la berjalan terus menjajari kedua guru Sangaji.
Karena sikapnya, Sonny agak bisa bernapas. Timbullah keberaniannya.
"Sangaji... kau harus cepat-cepat pulang ..."
Sangaji tertegun. Jantungnya berdegupan menyesakkan rongga dadanya. Karena
itu ia hanya mengangguk.
"Kau tak mau berbicara?" tanya si gadis memaksa.
Terpaksa Sangaji membuka mulut. Ujarnya sesak, "Apakah kamu mempunyai kesan
lagi?" Sonny menggelengkan kepala. Melihat Sonny tiada hendak berkata lagi,
Sangaji datang mendekat. Ia menekam pergelangan tangan Sonny, kemudian
mengeprak kudanya yang segera lari menyusul kedua gurunya. Sonny jadi
terlongoh-longoh. Tadinya ia mengira akan mendapat ciuman hangat seperti
adat Barat, tak tahunya Sangaji begitu dingin tidak memberi kesan apa-apa.
Sikapnya biasa saja seperti teman. Sama sekali tidak ada perubahan. Ia
mendongkol, kecewa dan bingung. Saking tak tahunya apa yang harus
dilakukan, ia mencari jalan pelepasan gejolak hatinya dengan menghajar
kudanya kalang kabut. Keruan saja,
kudanya yang kena hajar tanpa mengerti perkaranya, kaget bercampur
kesakitan sampai lari berjingkrakan.
Sangaji sendiri telah dapat menyusul gurunya. Mereka meneruskan perjalanan
mengarah ke Timur. Sampai di dekat Krawang, Mayor Willem Erbefeld
mengucapkan selamat berpisah dan balik ke Jakarta.
Sebentar saja perjalanan mereka telah mencapai padang belantara yang penuh
semak-belukar. Wirapati dan Jaga Saradenta nampak bergembira. Maklumlah,
setelah merantau se-lama dua belas tahun, mereka kini bakal kembali ke
kampung halamannya. Masing-masing mempunyai kenang-kenangan dan
kerinduannya, jabatan dan isterinya. Suaranya berkobar-kobar. Sedangkan
Wirapati terkenang kepada guru dan saudara-seperguruannya. Setelah itu,
mereka membicarakan riwayat perjalanan dan perasaannya masing-masing,
tatkala harus berangkat mencari Rukmini dan Sangaji. Alangkah pahit!
Sangaji mempunyai perhatian lain. Sambil mendengarkan pembicaraan gurunya,
dilepaskan penglihatannya seluas-luas mungkin dan sekali-kali minta
keterangan tentang semua yang menarik perhatiannya.
Kadang-kadang ia menjepit perut si Willem, sehingga kuda itu kabur
mendahului kedua gurunya. Kemudian berhenti di jauh sana sambil
memperhatikan kesan alam yang telah dilalui. Alangkah tegar hatinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar