7.11.2019

@bende mataram@ Bagian 79

@bende mataram@
Bagian 79


Kapten De Hoop segera memberi perintah berhenti menembak. Dia menjadi
iba-hati melihat




nasib Mayor De Groote yang buruk. Tetapi tentara Mayor De Groote tak
mengindahkan perintahnya. Mereka terus memberondong tembakan, maka
terpaksalah pertempuran dilanjutkan.


Menjelang tengah hari bala-bantuan dari kota tiba. Mereka memasuki
pertempuran dan sebentar saja dapat mengatasi. Maklumlah, batalyon Mayor De
Groote kehilangan tujuan dan pimpinan lagi. Mereka hanya menembak
berserabutan karena wajib menembak semata-mata.


Mayor De Groote kena tangkap dan hendak diajukan ke depan pengadilan
militer dengan ancaman hukuman mati. Dia menjadi sangat menderita. Matinya
si Yan di luar perhitungan dan dugaannya, sudahlah merupakan pukulan hebat
baginya. Kini ditambah dengan kesengsaraan diri pribadi. Ia yang biasa
hidup mewah dan berangan-angan tinggi, tak kuasa menanggung derita. Dalam
tahanan ia sakit keras. Sebelum hukuman dijatuhkan, malaikat keburu datang.
Ia mati kena tekanan darah tinggi.


Semenjak peristiwa itu, Sangaji naik derajat. Omongannya kini sudah bukan
dianggap omongan bocah. Orang-orang tangsi sudah memasukkan dirinya ke
dalam kelas dewasa. Memang ia sudah nampak dewasa. Umurnya kini hampir
mencapai 19 tahun. Kapten Willem Erbefeld yang kini sudah naik pangkat
menjadi Mayor dan memangku jabatan Komandan Keamanan Kota makin sayang
padanya. Ia seolah-olah bersiaga untuk memanjakan. Dengan Kapten De Hoop
yang naik pangkat menjadi Mayor pula, bersahabat erat. Seringkali mereka
membicarakan urusan pribadi, untuk membuktikan telah terjalinnya suatu
persahabatan sejati. Dan kalau Mayor De Hoop menggoda kepadanya, mengapa
tidak kawin-kawin, ia selalu menjawab: "Nanti setelah adikku menemukan
jodohnya."


Pada bulan Juni 1804, Mayor De Hoop mengadakan pesta ulang tahun. Banyak ia
mengundang teman-teman sekerja. Mayor Willem Erbefeld dan Sangaji tak
ketinggalan. Semua yang datang mengenakan pakaian sebagus-bagusnya, karena
tuan rumah akan mengharap demikian. Bagi tata-santun pergaulan, itulah
suatu lambang turut memanjatkan pujian pada Tuhan agar Mayor De Hoop selalu
menemukan kesenangan-kesenangan baru, semangat baru dan kebahagiaan baru.


Sonny De Hoop si gadis jelita, genit dan menggairahkan mengenakan pakaian
seindah-indahnya. Ia bahkan bersolek sehingga kehadirannya dalam pesta itu
menambah semarak belaka. Dengan pandang berseri-seri ia menyambut
kedatangan Sangaji dan terus saja dibawa menyendiri serta diajak berbicara.
Sangaji seorang pemuda yang tak dapat berbicara banyak, maka dia hanya
bersikap mengamini dan menambah bumbu-bumbu pembicaraan sekuasa-kuasanya.


Pesta dimulai pada jam tujuh malam. Musik mulai asyik dengan lagu-lagu
Barat dan mars militer. Kadang kala diseling lagu irama keroncong
peninggalan serdadu-serdadu bangsa Portugis pada abad XVI. Pada jam sepuluh
malam, suasana pesta lebih meresapkan dan longgar. Mereka yang hadir merasa
diperkenankan bergerak sesuka hatinya.


Mayor De Hoop mulai bisa meninggalkan tetamu-tetamunya. Ia berjalan
menikmati alam didampingi Mayor Willem Erbefeld. Dua orang itu berbicara
begitu asyik dan berahasia. Nampaknya mendapat suatu persesuaian pendapat
dan persetujuan. Mereka tertawa dengan wajah berseri-seri. Mendadak saja
Mayor De Hoop menghampiri Sangaji, "Sangaji! Sekiranya kakak-angkatmu kawin
apakah kamu merasa dirugikan?"


Pertanyaan itu sama sekali tak terduga-duga sampai Sangaji bergemetaran.
Melihat pandang Mayor De Hoop penuh keseriusan, hatinya menjadi agak
lapang. Kemudian menjawab,


"Mengapa aku merasa dirugikan?"


"Bagus. Jika demikian kamu akan senang kalau kakak-angkatmu kawin." "Tentu."


"Bagus!" Mayor De Hoop menaikkan suaranya. "Jika demikian kamu mengharapkan
kakak-


angkatmu mendapat jodoh."


"Tentu, Mayor. Dan calon isterinya harus yang secantik-cantiknya. Berbudi
agung dan menurut pilihan hati kakak angkatku."


"Itu sudah pasti. Hanya saja, kakak angkatmu ini belum bersedia kawin,
karena memi-kirkan kamu."


"Mengapa karena aku?" Sangaji ternganga-nganga.


Mayor De Hoop tidak memberi penjelasan. Dia hanya tertawa terbahak-bahak
sambil mengerling kepada Mayor Willem Erbefeld. Sangaji jadi sibuk. Ia
memandang kepada Mayor Willem Erbefeld pula dengan pandang menebak-nebak.
Mayor Willem Erbefeld kelihatan tersenyum lebar sampai giginya yang putih
membuat garis panjang.


"Mari anakku," tiba-tiba Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji. "Untuk
kebahagiaannya kamu bersedia melakukan segalanya, bukan?"


Sangaji mengangguk dengan kepala penuh teka-teki.


"Kakakmupun bersedia melakukan segalanya demi kebahagiaanmu pula," Mayor De
Hoop meneruskan. "Mari, sekarang kita berbuat sesuatu yang menggembirakan
semua. Bagi kakakmu, bagiku, bagi Sonny dan bagimu."


Sehabis berkata begitu, Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji dan tangan
Sonny. Mereka berdua diajaknya berderap memasuki serambi depan. Para tetamu
kemudian dipersilakan mendengarkan suatu pengumuman. Lalu berkatalah Mayor
De Hoop, "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian juga sekalian teman-teman
anakku Sonny. Malam ini selain untuk memperingati hari ulang tahunku yang
ke-47, aku akan membuat pesta ini menjadi pesta yang meriah. Malam ini aku
membuat suatu pengumuman. Lihatlah tuan-tuan sekalian. Di sini kanan-kiriku
berdirilah seorang gadis dan seorang pemuda, masing-masing bernama Sonny De
Hoop dan Sangaji Willem Erbefeld. Dengan persetujuan dan wali si pemuda,
aku akan membuat mereka berbahagia sehingga di kemudian hari tidak bakal
menyesali aku si orangtua. Malam ini, Sonny


De Hoop kuserahkan dengan seluruh kelapangan dadaku kepada pemuda Sangaji.
Jadi pesta ulang tahunku ini, mulai jam sepuluh malam berubah menjadi pesta
pertunangan antara Sonny De Hoop dan Sangaji Willem Erbefeld. Apa kata
tuan-tuan sekalian?"


Semua hadirin bersorak riuh dan berebutan memberi selamat kepada Sangaji.
Mereka berseru-seru gembira dan ada pula yang berlompat-lompatan menyatakan
persetujuannya. "Huraaa! Ini baru cocok, sama-sama keluarga Mayor ..."


Sonny De Hoop yang berhati polos dan memang beradat darah Belanda,
menyatakan kegembiraannya secara terus-terang. Lantas saja dia memeluk si
anak muda. Sebaliknya, si anak muda tak berkutik. Tubuhnya seperti terpaku
dan mulutnya terkunci.


Ia memang senang dan sayang pada Sonny. Tapi bukan karena dia mempunyai
hati. Dalam perasaannya Sonny adalah teman sepermainan. Meskipun umurnya
terpaut dua tahun (Sonny malam itu berumur 21 tahun) ia merasa dirinya
lebih cenderung sebagai pelindung. Maklumlah, itulah pengucapan hati
laki-laki sebenarnya. Sama sekali ia belum pernah memikirkan perkara
cinta-kasih atau permainan asmara. Mendadak saja, saat itu ia seakanakan
seekor ikan tertungkap dalam tempurung. Keruan saja, hatinya menjadi kaget.
Darahnya serasa nyaris berhenti. Apa lagi mendengar pembicaraan orang-orang
yang sibuk membicarakan jodohnya dengan si genit Sonny.


Orang-orang tak mempedulikan gejolak hatinya. Mereka bahkan tertawa
bergegaran melihat dia berdiri terlongoh-longoh. Mereka mengira, hati
Sangaji terlalu terharu kejatuhan wahyu. Maklumlah, pada masa itu tak
gampang-gampang seorang keturunan Bumiputera bisa dipertunangkan dengan
anak seorang Belanda. Apa lagi begitu resmi dan membersit dari hati nurani
orangtua penuh keikhlasan.




Setelah pesta bubar, Sangaji tidak pulang ke tangsi, tetapi pergi menemui
ibunya. Segera ia menuturkan pengalamannya di rumah Mayor De Hoop. Ia
membawa pulang pula hadiah-hadiah dari para tetamu, hadiah dari Mayor
Willem Erbefeld, Mayor De Hoop dan cincin bermata berlian dari Sonny.


Rukmini terdiam, diapun bingung mendengar peristiwa itu. Otaknya yang
sederhana tak dapat mencari keputusan yang baik.


"Coba, carilah kedua gurumu. Undanglah mereka ke mari," akhirnya dia
berkata kepada anaknya.


Wirapati dan Jaga Saradenta lalu datang. Tatkala mendengar berita tentang
pertunangan Sangaji dengan Sonny, mereka mengucapkan selamat dan nampaknya
bergembira. Bukankah hal itu berarti, muridnya mendapat penghargaan dari
keluarga bangsa Belanda?


Rukmini tak dapat berkata banyak, la mere-nung-renung seolah-olah ada yang
menyesakkan dada. Beberapa waktu kemudian, barulah ia berkata, 'Tuan
Wirapati dan Tuan Jaga Saradenta. Bolehkan aku berbicara barang sepa-tah
dua patah kata?"


Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut. Buru-buru mereka berseru berbareng,
"Eh—mengapa pakai peradatan segala? Apa yang akan kaukatakan?"


"Aku sangat berterima kasih dan berutang budi pada tuan sekalian. Karena
jasa tuan berdua, anakku menjadi seorang anak yang ada gunanya.
Sampai-sampai kini dia dihargai oleh keluarga bangsa Belanda. Budi itu tak
dapat kubalas, meskipun aku bersedia menebus dengan seluruh jiwaku. Hanya
sekarang ada masalah sulit yang tak dapat kupecahkan. Otakku begini
sederhana dan begini tumpul. Tolong, tuan-tuan pecahkan masalah ini!"


Rukmini kemudian menuturkan kembali riwayat perjalanannya yang sengsara.
Ditekan-kan betapa hatinya merasa hancur, apa bila teringat akan sejarah
keretakan kebahagiaan rumah tangganya.


"Bapaknya mati terbunuh oleh si tangan kejam pemuda yang datang menyerbu.
Apakah hal itu dibiarkan saja tanpa balas? Kini dia di-pertunangkan dengan
anak gadis seorang bangsa Belanda, apakah tidak berarti hancurnya kewajiban
menuntut dendam bapaknya?"


Wirapati kemudian menjawab,-"Mbakyu, perkara pembunuhan ayah Sangaji mana
bisa dibiarkan tanpa balas? Sekarang telah kami ketahui dengan terang,
siapakah si pembunuh ayahnya. Hanya tinggal menunggu waktu. Tentang
pertunangan Sangaji dengan Sonny bukan halangannya. Bahkan, jika kami
sewaktu-waktu meninggalkan Jakarta, kehidupan Mbakyu akan terjamin."


"Dia sudah dipertunangkan. Apakah bisa pergi meninggalkan Jakarta?" potong
Rukmini.


"Pertunangan bukanlah pernikahan atau gantung nikah," sahut Wirapati
tersenyum. Rukmini belum mengetahui tata-cara orang Barat perihal
pertunangan. Maklumlah, pada masa itu masalah pertunangan tak dikenal
bangsa Bumiputera.


Rukmini heran mendengar ujar Wirapati. Akhirnya setelah diberi penjelasan,
legalah hatinya. Baru dia bisa tertawa.


"Tahun ini adalah tahun penghabisan. Masa pertandingan telah tiba seperti
yang telah kita janjikan dua belas tahun yang lalu," kata Wirapati lagi.
"Bulan ini kami berdua bermaksud membawa Sangaji ke Jawa Tengah."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar