@bende mataram@
Bagian 78
Seketika itu juga, Mayor De Groote mendapat kesan buruk terhadap Kapten De
Hoop. Menurut gejolak hatinya, lantas saja ia menyalahgunakan kedudukannya.
Dan terjadilah peristiwa pertempuran di pagi hari yang terang -benderang.
"Kapten De Hoop!" katanya menggertak. "Kamu adalah seorang perwira lama.
Dengan saksimu pula, aku adalah seorang Komandan Keamanan Kota yang
seringkali menumpas pemberontakan-pemberontakan demi menertibkan
tata-tertib militer. Lima tahun yang lalu aku pernah menumpas suatu
pemberontakan di samping Gubernur Jendral P Vuyst. Siapakah anjing
pemberontak itu?"
Kapten De Hoop mengerenyitkan dahi. Ia heran atas kata-kata Mayor De Groote
yang begitu terlepas tanpa pertimbangan. Memang Mayor De Groote tak
mengindahkan segala, dan bersikap tak mempedulikan macam perhubungannya
dengan Kapten De Hoop. Dasar Kapten De Hoop seorang perwira yang cerdas dan
pandai melihat gelagat, begitu memperoleh kesan buruk lantas saja dapat
menentukan sikap. Jawabnya lantang, "Kalau yang kaumaksudkan anjing itu
adalah pemimpin pemberontak, maka dia bernama Willem Erbefeld."
"Bagus!" sahut Mayor De Groote girang. "Sekarang aku minta keterangan yang
benar. Anjing pemberontak Willem Erbefeld akan dilantik menjadi Komandan
Keamanan Kota dan naik pangkat jadi Mayor, benarkah itu?"
"Betul."
"Kapten De Hoop! Komandan Keamanan Kota selamanya dipegang oleh seorang
per-wira yang berkewajiban menumpas pemberontak. Kini akan dijabat oleh
seorang bekas pemberontak. Bagaimana menurut pendapat-mu?"
"Aku seorang militer. Urusan penetapan, pengesyahan atau kenaikan pangkat
adalah urusan pemerintah. Kau tahu, bukan?"
"Kapten De Hoop bukan anak kemarin sore. Kapten De Hoop berhak memberi
pertim-bangan atas pengangkatan dan pasti akan didengar pemerintah.
Terang-terangan anjing Willem adalah bekas seorang pemimpin pemberontak,
mengapa Kapten De Hoop membungkam? Apakah sudah menerima sogokan?"
Tak peduli siapa yang mengucapkan istilah sogokan itu, lantas saja seluruh
serdadu ter-tawa koor. Kapten De Hoop mendongkol.
Akhirnya kehilangan kesabarannya. Lalu membentak:
"Mayor De Groote! Grusan pengangkatan, penetapan dan pengesyahan Kapten
Willem Erbefeld sebagai Komandan Keamanan Kota adalah urusan pemerintah.
Kalau kau mau menentang mulut, bicaralah langsung kepada pemerintah. Kalau
kau mempunyai ganjelan hati terhadap Kapten Willem Erbefeld selesaikanlah
secara jantan. Jangan membawa-bawa urusan ganjelan hati ke dalam
tata-dinas. Memang siapa yang tak mengetahui, peristiwa perang tanding
antara Mayor De Groote dan Kapten Willem Erbefeld lima tahun yang lalu di
depan mata Gubernur Jendral P Vuyst? Siapa pula yang mengetahui akhir
perang tanding itu. Jawablah Mayor De Groote, siapakah dia yang buntung
lengannya kena sabetan pedang Kapten Willem Erbefeld?"
Sangaji bergelisah dan cemas mendengar nama kakak-angkatnya dibuat
bulan-bulanan. Keadaan menjadi tegang dan menyesakkan. Kalau sampai terjadi
pertempuran, kedua belah
pihak pasti menderita korban. Ia kenal pula watak kakak-angkatnya Willem
Erbefeld. Kakak-angkatnya yang berwatak jantan, takkan membiarkan Kapten De
Hoop diejek demikian rupa oleh Mayor De Groote perkara dirinya. Tanpa
mempedulikan akibatnya, dia tentu akan tampil ke depan dan menyelesaikan
urusan pribadinya dengan seorang diri pula. Ini bahaya, karena Mayor De
Groote kini membawa jumlah serdadu hampir satu batalyon penuh.
Selagi ia gelisah, nampaklah di kaki bukit seorang pemuda menunggang kuda
dengan lagak angkuh. Pemuda itu mengenakan pakaian preman yang cukup
mentereng. Ia menge-nakan topi model Meksiko. Tangannya me-nyengkelit
pedang dan sepucuk pistol tergantung pula di pinggangnya. Dialah Yan De
Groote calon suami Sonny De Hoop.
Melihat Yan De Groote, hati Sangaji lantas saja menjadi panas. Dasar dia
bermusuhan dengan pemuda Belanda itu, lagi pula mendapat kabar hendak
mengawini Sonny De Hoop. Meskipun belum mempunyai sebutir angan-angan
hendak menjadi suami Sonny, tapi hatinya tak rela kawannya yang disayangi
itu jatuh ke dalam pelukan Yan De Groote. Oleh gelora hati, Willem lalu
dikeprak dan lari melesat mengarah ke pemuda Belanda itu. Sangaji
mengenakan pakaian preman, maka serdadu-serdadu Mayor De Groote tak memikir
jauh. Mereka mengira, kalau anak Bumiputera itu hendak melakukan sesuatu di
luar urusan ketegangan militer.
Hebat larinya si Willem. Beberapa detik saja, ia telah menghampiri
sasarannya. Yan De Groote kaget. Segera ia mengenal penunggangnya. Tanpa
bilang suatu apa ia menyambut kuda serbuan Sangaji dengan sabetan pedang.
Sangaji cukup berwaspada. Cepat ia mengendapkan kepala dan sabetan pedang
Yan De Groote berkesiur lewat atas kepalanya. Dengan tangkas ia mengulur
tangan kanannya dan menangkap pergelangan kiri Yan De Groote sambil memijit
urat-nadinya. Ia menggunakan tipu tangkapan Wirapati dan Yan De Groote
lantas saja mati kutu.
Pemuda Belanda itu masih berusaha berontak dengan mengandalkan kekekaran
tu-buhnya. Sangaji tak sudi mengadu tenaga jasmani. Ia menarik tubuh
lawannya kencang-kencang. Karena tarikan tenaga kuda, Yan De Groote kena
terangkat dari pelananya dan ter-katung-katung di sisi perut. Ia mencoba
berontak dengan muka pringisan. Tapi terkaman ta-ngan Sangaji kuat bagaikan
tanggam besi.
Sangaji bertindak cepat. Ia mendengar gerakan tentara dan aba-aba parau
dari kaki bu-kit. Itulah suara aba-aba Mayor De Groote yang memberi
perintah, "Tembak!"
Cepat ia bentur perut kudanya dan lari balik ke bukit dengan menggondol Yan
De Groote.
Tiba-tiba terdengarlah peluru berdesingan di sekitar kepalanya. Karena
ingin cepat-cepat berlindung, tanpa berpikir lagi ia mengangkat tubuh Yan
De Groote untuk dibuatnya perisai. Dan celakalah nasib pemuda Belanda itu.
Ia kena berondong tembakan serdadu-serdadu ayahnya sendiri. Tanpa bersuara
lagi, napasnya terbang entah ke mana dengan darah berlumuran membasahi
tubuhnya.
Sangaji melemparkan tubuhnya ke tanah dan ia kabur secepat-cepatnya. Dalam
pada itu Kapten Willem Erbefeld tak tinggal diam. Begitu mendengar aba-aba
Mayor De Groote, segera ia beraksi. Dengan keahliannya ia menembak
berturut-turut untuk melindungi Sangaji. Anak-buahnyapun tak tinggal diam.
Mereka mulai menembak. Dan pertempuran segera terjadi dari tempat ke tempat.
Kapten De Hoop menghampiri Sangaji dan memuji keberaniannya. Katanya,
"Dengan tertembaknya Yan De Groote, ayahnya akan berkelahi dengan setengah
mati atau dengan pi-kiran gelap."
Ucapan Kapten De Hoop sedikitpun tak salah. Begitu Mayor De Groote melihat
anaknya kena berondongan tembakan, ia menjadi kalap. Lantas saja ia
menghampiri mayat anaknya dan diciumi seperti orang gila.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar