@bende mataram@
Bagian 76
Kedua pasukan itu bertemu di suatu lapangan, kemudian saling bergabung.
Sangaji de-ngan cepat menghampiri sambil berteriak sekuat-kuatnya.
"Kapten De Hoop! Kapten Willem Erbefeld! Ambilah jalan lain! Mayor De
Groote meng-hadang kalian di seberang sana!"
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld yang sedang saling memberi hormat
me-noleh bersamaan kemudian berkata berbareng minta penjelasan.
"Ada apa?"
"Ada bahaya," sahut Sangaji terengah-engah sambil meloncat dari punggung
kudanya. Kemudian ia mengabarkan berita yang telah di dengar Ki Tunjungbiru
kemarin lusa.
Dengan sangsi Kapten De Hoop merenungi tutur kata bocah tanggung ini.
Pikirnya, antara aku dan Groote, memang seringkali berselisih paham. Tapi
beberapa minggu yang lalu ia telah membicarakan perangkapan jodoh antara
Sonny dan Jan De Groote. Masakan dia mem-punyai niat jahat? Atau mempunyai
tujuan lain? Ah! Dia memang bermusuhan dengan Willem. Apakah perangkap
jodoh dengan anaknya dan anakku dimaksudkan untuk mencari bantuan? ... Tapi
tak mungkin ia sejahat itu? Bukankah kemarin sore dia berangkat berpatroli
bersama-sama? Sama sekali tiada tanda-tanda dia hendak berontak.
Sangaji mendapat firasat, kalau Kapten De Hoop menyangsikan keterangannya.
Ia men-coba meyakinkan sebisa-bisanya. Dikatakan, kalau dia tadi melihat
batalyon Mayor De Groote.
"Apa katamu?" Kapten De Hoop menegas. Ia mulai berpikir keras. Lalu berkata
kepada Willem Erbefeld, "Apa kamu tahu dengan pasti, kalau batalyonnya ada
di Krawang?"
Kapten Willem Erbefeld berbimbang-bimbang. Ia tak menjawab pertanyaan
Kapten De Hoop, tapi minta ketegasan kepada Sangaji.
"Adik yang baik, apa kamu mendengar dan melihat sendiri rencana
pemberontakan Mayor De Groote?"
"Tidak. Rencana pemberontakan itu hanya kudengar dari salah seorang guruku
seperti yang kukatakan tadi. Tapi tadi aku melihat pasukannya berada di
sekitar sana. Kalau kakak sangsi, cobalah kirim beberapa orang penyelidik
untuk membuktikan kebenarannya.
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld tahu dengan pasti kalau batalion
Mayor De Groote berada di Krawang. Kalau sekarang tiba-tiba berada di
sekitar Bogor ada dua ke-mungkinan. Pertama, mungkin sedang mengadakan
latihan berperang. Kedua, sedang bertugas beronda."Kapten Willem," akhirnya
Kapten De Hoop memutuskan. "Meskipun aku belum yakin, rasanya apa salahnya
mengirimkan beberapa orang untuk menyelidiki."
"Bersikap hati-hati lebih baik," sahut Kapten Willem Erbefeld. "Aku kenal
perangai adik-angkatku. Dia takkan bakal berjalan semalam suntuk kalau
tidak ada alasan yang kuat. Lagi pula, kenapa Mayor De Groote kemarin sore
berangkat ke Bogor bersama kita?"
"Ah!" Kapten De Hoop terkejut, ia berangkat ke Bogor dengan dalih hendak
memberi laporan dinas. Tapi rasanya ..."
Kapten De Hoop adalah seorang perwira yang bersikap hati-hati. Segera ia
mengirim-kan dua orang penyelidik. Kemudian memberi perintah kepada
pasukannya agar bersiaga. Kapten Willem Erbefeld sendiri dengan cepat
mengirimkan dua orang utusan untuk memanggil Pasukan Keamanan Kota dengan
mengambil jalan menyeberang hutan. Ia menaruh kepercayaan besar kepada
Sangaji. Lagi pula ia merasa bermusuhan langsung terhadap Mayor De Groote.
"Sangaji!" katanya berwibawa. "Hendaklah kamu selalu ingat dalam lubuk
hatimu. Bahwasanya,
kedudukan, pangkat, harta dan perempuan cantik bisa membutakan kewarasan
otak. Siapa mengira, kalau peristiwa pengangkatanku menjadi Komandan
Keamanan Kota jadi begini berlarut-larut? Tapi baik aku dan kamu adalah
laki-laki. Kalau kamu terpaksa berkelahi atau dipaksa keadaan untuk
berkelahi, berkelahilah secara jantan. Sekiranya mati, biarlah mati seperti
laki-laki."
Hebat kata-kata Kapten Willem Erbefeld itu bagi hati si bocah tanggung.
Selama itu, belum pernah kakak-angkatnya berkata seperti sekarang. Si bocah
tanggung menundukkan kepala dan kata-kata bernapas keperwiraan itu merasuk
dalam tubuhnya. Kata-kata ini pulalah yang menentukan sejarah hidupnya
Sangaji di kemudian hari.
Dua orang penyelidik yang dikirim Kapten De Hoop, tak lama kemudian melapor
kepada Kapten De Hoop.
"Mereka sedang menuju ke mari."
Mendengar laporan itu, Kapten De Hoop tidak sangsi lagi. Garang ia berkata
kepada Letnan Van Vuuren yang berada di sampingnya, "Jelas, ini gerakkan
yang mencurigakan. Daerah Bogor adalah daerah perondaan kita. Mengapa
memasuki daerah perondaan kita tanpa memberi tahu. Siapkan! Sampaikan
perintah kepada Kapten Willem Erbefeld: pasukannya kuperintahkan bersiaga
di atas tebing bukit."
Kapten De Hoop nampak garang benar. Perintahnya tegas tiada ragu-ragu lagi.
Ia me-rasa, gerak pasukan Mayor De Groote tidaklah wajar. Segera ia
memerintahkan seluruh pa-sukan gabungan mendaki bukit. Setelah itu, satu
peleton tentara penyerbu diperintahkan meneruskan perjalanan.
Seluruh pasukan bekerja dengan cepat. Yang berada di atas bukit segera
menggali lubang-lubang perlindungan. Batu-batu ditumpuk dan disusun menjadi
benteng pertahanan. Sedangkan pasukan yang harus berjalan mencari
keyakinan, terus saja bergerak dengan aba-aba tertentu. Kapten Willem
Erbefeld berjalan di belakang peleton itu seolah-olah pengawalnya. Sangaji
berada di sampingnya dan selalu diawasi; bersiaga hendak diperlindunginya
sebaik-baiknya apabila keadaan dalam bahaya.
Tak lama kemudian dari arah utara nampaklah debu mengepul ke udara. Tiga
kelompok pasukan berseragam muncul di balik debu dengan suara berisik dan
berderapan. Kapten Willem Erbefeld adalah seorang militer dalam darah
dagingnya. Segera ia dapat menebak gerak-gerik pasukan yang datang itu. la
memberi aba-aba kepada peletonnya agar mem-percepat jalannya. Diperintahkan
agar bersikap menyambut kedatangan mereka. Apabila benar-benar mereka
bermaksud menghadang, panji-panji pasukan hendaklah dibawa lari.
Belum lagi peletonnya bertemu dengan pasukan pendatang itu, terdengarlah
sudah le-tusan senjata berulang kali. Kemudian sorak-sorai mengguntur di
udara. Mereka benar-benar bermaksud menyerang.
Peleton Kapten Willem Erbefeld terpaksa balik kembali. Tapi mereka kena
terkurung rapat, sehingga susah membebaskan diri. Dan tiga orang di antara
mereka jatuh terkulai dari atas kudanya.
"Adik yang baik, yuk, kita sambut mereka!" Willem Erbefeld berteriak.
Kudanya dikeprak dan melesat maju. Sangaji segera mengejar. Cepat larinya
kuda Sangaji. Ia mendahului Willem Erbefeld sepuluh lompatan di depan.
"Adik yang baik! Terimalah senapanku!" teriak Willem Erbefeld dan terus
melontarkan senapannya. Begitu senapannya dapat diterima Sangaji, ia lalu
menyambar senapan salah seorang serdadu yang datang berpapasan.
Sangaji terus saja menembak tiga kali berturut-turut. Tiga orang pengejar
peleton Willem Erbefeld jatuh terjungkal dari atas kudanya. Dalam hal
menembak mahir, Willem Erbefeld jauh lebih pandai daripada Sangaji. Memang
dia guru Sangaji dalam tata menembak senapan.
Sambil memberi aba-aba kepada peletonnya yang lari berserabutan, ia
melepaskan tembakan lima kali berturut-turut. Tembakannya tepat mengenai
sasaran dan sekaligus tergulinglah lima orang lawannya.
Kepala peleton yang telah mendapat perlindungan, dengan cepat mengatur
anak-buah-nya dan balik kembali mengadakan serangan balasan. Tetapi mereka
kalah jumlah. Segera mereka kena desak dan terpaksa lari mengundurkan diri
ke bukit-bukit.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar