7.09.2019

@bende mataram@ Bagian 75

@bende mataram@
Bagian 75


SELAGI Ki Tunjungbiru berbicara, Sonny nampak menggeliat. Perlahan-lahan
gadis itu mulai sadar kembali. Pendengarannya telah pula dapat menangkap
suara orang berbicara. Segera ia bangkit dan duduk dengan terpekur di atas
batu. Tak lama kemudian dia sudah sadar benar-benar. Ia mencari Sangaji.
Saat bertemu pandang, "Sangaji, ayahku sama sekali tak mempercayai
omonganku. Dia malah pergi beronda dengan Mayor De Groote. Mereka menuju ke
Bogor..." Sangaji terkejut.


"Kenapa ayatimu tidak percaya kepadamu?"


"Waktu kukabarkan, kalau Mayor De Groote telah mengadakan perserikatan
hendak mengambil alih kedudukan ayah dan kakak angkatmu, dia tertawa
terbahak-bahak. Ayah bilang karena aku tak sudi kawin dengan anak Mayor


De Groote lantas aku dituduh mengada-ada. Sudah kukatakan padanya, kalau
berita ini berasal darimu, tapi ayah bahkan tak percaya. Dia bilang, kalau
kamu tukang ngomong. Kau nanti akan diadukan kepada kakak-angkatmu Kapten
Willem agar mendapat dampratan darinya.* Karena kesal, aku berusaha
mencarimu. Tapi di tengah jalan aku dibekuk oleh seorang laki-laki entah
siapa. Aku digendongnya dan dia bilang mau membawaku pergi menemuimu. Ai,
benar juga omongannya. Kukira, dia laki-laki biadab."


Sonny belum sadar akan bahaya yang mengancam nyawanya. Jaga Saradenta
lantas saja mengomel dalam hati, huuu ... coba kita tak berada di sini,
kamu sudah jadi bangkai....


"Kapan ayahmu berangkat beronda dengan Mayor De Groote?" Sangaji menegas.


"Sejak senja hari tadi. Ayah membawa sepasukan kuda pilihan. Mayor De
Groote hanya seorang diri."


"Kau salah omong tadi," Sangaji menyesali.


"Salah omong? Bukankah aku hanya menyampaikan berita apa yang kaukatakan?"
Sonny menggugat.


"Kau menambahi berita, kalau Mayor De Groote hendak mengambil alih
kedudukan ayahmu dan kakak-angkatku. Sebenarnya kamu harus bilang, kalau
Mayor De Groote mungkin akan berontak. Mungkin ayahmu akan waspada kalau
pergi beronda. Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan menyergap pasukan
ayahmu."


"Eh, mengapa berpura-pura tak tahu masalahnya?" Sonny tak mau disalahkan.
"Ayah dan kakak-angkatmu bulan depan akan naik pangkat menjadi Mayor.
Kenaikan pangkat itu sudahlah cukup membakar hati Mayor De Groote. Kalau
Mayor De Groote berhasil merebut kembali jabatannya yang dahulu, ... mana
bisa ayah dan kakak-angkatmu naik pangkat?" sehabis berkata demikian, Sonny
lantas menangis. Dan Sangaji jadi kebingungan. Inilah yang


pertama kali ia menghadapi soal rumit.


Memang semenjak tahun 1789 Kompeni menghadapi suatu kesulitan luar biasa.
Pada tahun itu, rugi 74 miliun rupiah. Dalam tahun 1791 rugi lagi 96 miliun
rupiah. Willem V— Pengurus Agung Kompeni di negeri Belanda— segera
mengadakan perbaikan-perbaikan. Sampai tahun 1800 dia mengangkat Willem
Arnold Alting sebagai Gubernur Jendral dan ditugaskan membentuk
komisaris-komisaris Jendral dan perbaikan-perbaikan menyeliiruh. Gubernur
Jendral itu gagal. Willem V kemudian memecat Willem Arnold Alting dan
mengangkat Pieter Ger V Overstraten sebagai gantinya. Setelah itu P Vuyst.
VOC lantas dibu-barkan pada tanggal 31 Desember 1799. Semua milik dan utang
VOC diambil alih oleh negara berdasarkan Gndang-undang Dasar Bataafse
Republiek. Tetapi keadaan organisasi kompeni korat-karit.
Fitnahan-fitnahan, korupsi, main sogok dan indisipliner dalam kalangan
militer merajalela seolah-olah tak teratasi lagi. Pemimpin-pemimpin militer
berani bertindak demi ambisinya masing-masing. Karena itu kerapkali terjadi
peletusan senjata yang banyak membawa korban jiwa.


"Sangaji!" tiba-tiba Wirapati berkata menengahi. "Pulanglah dahulu!
Beritahukan hal itu kepada kakakmu Willem. Kalau perlu susullah ayah Sonny
dengan menunggang kudamu Willem. Kuda itu dapat berlari cepat dan kuat.
Kalau Tuhan merestui, kamu bisa menyusul dan menyelamatkan ayah Sonny!"


Tak perlu diulangi lagi, Sangaji lantas saja lari menuruni bukit. Ia
berlari sekuat tenaga. Itulah pula pengalamannya yang pertama kali
berlari-larian cepat dalam jarak jauh. Sekarang dia merasa heran. Getah
pohon sakti Dewadaru banyak menolong dirinya. Ia tak merasa capai, bahkan
seluruh tubuhnya terasa segar-bugar.


Sesampainya di tangsi, ia minta keterangan kepada penjaga tentang
kakak-angkatnya. Penjaga memberi tahu, kalau Willem Erbefeld membawa satu
peleton pasukan berkuda pergi berpatroli.


"Ke mana?" tanyanya gugup.


"Mungkin ke Tangerang. Mungkin pula ke Bogor. Mungkin ke Krawang. Apa
pedulimu?" "Ada pemberontakan."


"Pemberontakan?" ulang Kepala Penjaga keheranan. Ia merenungi si bocah.
Kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap lucu berita pemberontakan
itu. Teman-temannya dalam penjagaan ikut tertawa pula.


Terpaksalah Sangaji membungkam mulut dengan tersipu-sipu. Segera ia
mengambil kudanya dan terus melesat keluar tangsi. Penjaga-penjaga tertawa
riuh bergegaran dan menyoraki dari belakang. Tapi Sangaji tak mempedulikan.


Willem ternyata seekor kuda jempolan. Ia lari kencang tak takut kecapaian.
Selang dua jam, ia baru memperlambat larinya. Setelah beristirahat
sebentar, kaburlah dia kembali seperti anak panah yang terlepas dari gandewa.


Satu jam kemudian, Sangaji telah memasuki wilayah Bogor. Matahari telah
melongok di ufuk timur. Gdara segar bugar dan suasana pagi riang ria. Ia
mendengar suara terompet serdadu. Tak lama kemudian, nampaklah beberapa
tenda perkemahan dengan tenda panji-panji pasukan. Sepintas lintas tahulah
Sangaji, kalau dalam tenda-tenda perkemahan itu, adalah serdadu-serdadu
pasukan Mayor De Groote yang jumlahnya hampir satu batalyon. Mereka nampak
bersiaga.


Sangaji lantas saja mengeluh dalam hati terang sekali pasukan Kapten De
Hoop telah melewati perkemahan itu, jauh sebelum mereka berkemah. Ini
berarti bahwa pasukan itu akan menghadang pasukan Kapten De Hoop. Berpikir
demikian ia keprak kudanya dan melesat secepat-cepatnya. Dua orang serdadu
berusaha menghadangnya. Ia tak perduli. Terus saja ia menerjang dan kabur
tanpa menoleh.


Kira-kira menjelang jam delapan, nampaklah sepasukan tentara berkuda datang
dari arah selatan. Tak lama lagi tersembullah pasukan tentara berkuda dari
arah barat. Masing-masing




pasukan itu membawa panji-panji pasukan. Dengan segera Sangaji mengenal
siapa pemimpinnya. Yang datang dari arah selatan adalah pasukan Kapten De
Hoop. Yang datang dari arah barat adalah pasukan Kapten Willem Erbefeld.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar