7.08.2019

@bende mataram@ Bagian 73

@bende mataram@
Bagian 73


"Paman!" Tiba-tiba ia mendengar Wirapati berbicara. "Keadaan begini sunyi
senyap. Tanda-tanda dia tidak akan datang. Apa Paman yakin, kalau dia bakal
datang?"


Ki Tunjungbiru sengaja tidak meladeni. Ia berdiam diri menunggu kesan.
Benar juga, mendengar kata-kata Wirapati, Pringgasakti bergembira. Katanya
dalam hati, Syukur, mereka tak melihatku. Mudah-mudahan bulan itu
melindungi selembar nyawaku.


Sangaji sendiri kala itu sedang memusatkan perhatiannya kepada Sonny dan
perawakan si iblis. Perawakan Pringgasakti memang hampir tak berbeda dengan
perawakan tubuh Ki Tunjungbiru. Kepalanya gede, tubuhnya kekar, rambutnya
panjang dan gerak-geriknya gesit luar biasa.


Mendadak ia melihat si Sonny menggerakkan kepalanya, la bersyukur dalam
hati. Gerakan itu membuktikan, kalau dia masih hidup. Ia lantas memberi
isyarat dengan gerakan tangan, agar jangan bicara atau menunjukkan
tanda-tanda telah melihat padanya. Tetapi Sonny yang berhati polos tidak
mengerti isyarat itu. Begitu ia melihat isyarat Sangaji, lantas saja
berteriak : "Sangaji! Tolong aku!"


Mendengar teriakan Sonny, Sangaji jadi bingung. Gugup ia ingin mencegah,
"Ssst! Diam!" Tapi tanpa disadari sendiri, ia telah berbicara.


Terkejutnya Pringgasakti tak kalah dengan si bocah. Cepat ia menotok urat
nadi si gadis sampai jatuh pingsan. Kemudian ia bersiaga menghadapi
kemungkinan.


"Sangaji! Kamu bicara dengan siapa?" tegur Wirapati.


Sangaji agak gugup. Cepat ia berpikir. Kemudian menjawab mengada-ada, "Aku
mendengar pekik seorang perempuan. Paman Jaga Saradenta mau meloncat dan
aku mencegahnya."


Mendengar jawaban Sangaji, mau tak mau Jaga Saradenta terpaksa menyahut.


"Aku si orang tua memang sangat benci kepada iblis itu. Mendengar pekik
perempuan, teringatlah aku pada Jumirah."


"Ah, mengapa soal lama diungkat-ungkit kembali. Berilah kesempatan kepada
si iblis. Pabila dia mau memperbaiki kelakuannya, biarkanlah dia bisa
menikmati sisa hidupnya pada hari tua," kata Wirapati yang bermain sebagai
seseorang yang berwatak brahmana. Kemudian dengan suara memohon dia berkata
kepada Ki Tunjungbiru: "Paman Gagak Seta, apakah Pa-man mau


mengampuni si jahanam itu?"


Pringgasakti bukanlah seorang yang goblok. Begitu ia mendengar percakapan
itu, segera ia sadar. Pikirnya, Gagak Seta bukan orang sem-barangan. Jangan
lagi sudah mendengar suara orang—baru mendengar geser gerakan, sudahi-ah
cukup baginya untuk mengambil keputusan. Mengapa dia diam? Apa ini bukan
suatu permainan belaka untuk menghina diriku?


Mendapat pikiran demikian, segera ia menggerakkan tubuhnya mau menyerang.
Ki Tunjungbiru melihat gerakan itu. Sadariah dia, kalau Pringgasakti telah
menaruh curiga. Ia menjadi cemas. Bukan mengkhawatirkan keselamatan
pihaknya, tapi nyawa si gadis mungkin takkan tertolong.


Wirapati yang bermata tajam, segera mem-persiagakan diri. Ia masih berusaha
berkata mengada-ada, "Jaga Saradenta, apa benar kamu telah mewarisi seluruh
kepandaian almarhum Kyai Haji Lukman Hakim?"


Maksud Wirapati mau menggerakkan Pringgasakti. Tak tahunya, kata-kata itu
justru menyinggung kehormatan si penaik darah Jaga Saradenta. Dengan
menggeram, Jaga Saradenta menyahut, "Ilmu guruku kalau diukur setinggi
langit. Mana bisa aku mewarisi seluruhnya. Ba-rangkali aku hanya kebagian
sepersepuluh-nya ..."


Sampai di situ mendadak ia ingat sesuatu. Mau ia percaya, kalau Wirapati
tidak bermaksud menghina dirinya. Dia hanya ingin menyarankan padanya agar
memperlihatkan kepandaiannya. Mendapat bintik cahaya terang ini, pikirannya
jadi jernih kembali. Kemudian ia menghampiri sebuah bengkahan batu sebesar
perut kerbau. Batu itu telah dipecah menjadi enam bagian oleh Ki
Tunjungbiru dalam melakukan perang tipu-muslihat sebaik-baiknya. Dasar ia
seorang penaik darah yang susah menghapuskan kesan kata-kata yang menusuk.
Segera ia mendepak batu itu berhamburan dengan uring-uringan. Tapi gerakan
itu justru kebetulan sekali.


Pringgasakti yang mulai curiga, kaget menyaksikan gerakan Jaga Saradenta
yang ber-sungguh-sungguh. Batu sebesar perut kerbau kena dihamburkan dan
pecah menjadi enam potong. Inilah suatu tenaga gempuran yang luar biasa,
pikirnya. Mau tak mau hatinya gentar juga. Perlahan-lahan ia surut kembali
dan bersembunyi di belakang bongkahan batu.


"Paman!" kata Wirapati kepada Ki Tunjungbiru. "Paman telah mengenali ilmu
macam apa yang dimiliki almarhum Kyai Haji Lukman Hakim. Apakah gempuran
Jaga Saradenta tadi sudah mirip dengan gempuran gurunya?"


Ki Tunjungbiru tertawa riuh.


"Iblis yang kamu cari sudah berada di sekitar sini, mengapa kalian masih
bergurau?"


Ah! Pringgasakti terkejut bukan kepalang. Terang-terangan dia telah
melihatku, tapi bersikap berpura-pura. Inilah bahaya! Jangan-jangan dia
benar-benar Gagak Seta yang hendak memberi kesempatan hidup padaku. Kalau
kesempatan ini tidak kupergunakan, kapan lagi aku bisa lolos dari
pengejarannya. Berpikir demikian, lantas saja ia muncul dari balik batu dan
berkata dengan tenang, "Terima kasih atas kemurahan hati pendekar sakti
Gagak Seta. Akulah si jahanam Pringgasakti. Apakah Tuan yang membunuh adik
seperguruanku empat tahun yang lalu, biarlah perkara itu kuhabisi sampai di
sini saja ..."


Semua yang mendengar ucapan Pringgasakti terperanjat saking herannya. Sama
sekali mereka tak mengira, kalau Pringgasakti berani muncul dengan
terang-terangan. Tadinya mereka menduga, kalau dia akan kabur dengan diam-diam.


Pringgasakti berkata lagi, "Aku adalah seorang yang tidak ada gunanya,
karena tak memiliki kepandaian sedikitpun. Cuma melihat kemajuan anak murid
Haji Lukman Hakim, hatiku jadi tertarik. Benar-benar dia telah mewarisi
ilmu Haji Lukman Hakim yang dahsyat. Karena antara kami ada suatu ganjelan,
biarlah malam ini kucoba-coba menebus kesalahanku dahulu. Tuan pendekar
Gagak Seta, izinkanlah aku mencoba-coba mengadu tenaga dengan bakal suami
anak gadis Haji Lukman Hakirn."


Diingatkan kepada peristiwa yang menggarit hati, Jaga Saradenta menggeram.
Tak tahan lagi




ia mempertahankan kesabarannya. Pada saat itu ia sudah mengambil keputusan
hendak mengadu nyawa. Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan
mereka semua.


Sangaji melihat Sonny rebah di atas tanah. Tubuhnya tak berkutik.
Menyaksikan keadaan si gadis, ia menjadi khawatir. Sesungguhnya tali
perhubungan persahabatannya dengan Sonny sudah menjadi erat semenjak
bergaul kurang lebih empat tahun lamanya. Terasa dalam dirinya, kalau Sonny
merupakan bagian dari tubuhnya sendiri. Melihat Sonny sengsara, hatinya
memukul. Maka tanpa mempedulikan keperkasaan Pringgasakti, ia melompat maju
menyambar lawannya itu. Sudah barang tentu Pringgasakti tak tinggal diam.
Dengan cepat se-kali, ia menangkap pergelangan tangan si bocah.


Sangaji pernah minum getah pohon sakti Dewadaru. Tanpa disadari sendiri,
daging yang kena sentuh lantas saja bekerja. Tangkapan tangan Pringgasakti
kena dihisap, sehingga pada saat itu juga lenyaplah tenaga cengkeramannya.
Pringgasakti terkejut bukan kepalang, la mau mengulangi lagi, mendadak saja
Sangaji telah berhasil melemparkan Sonny ke arah gurunya, la penasaran.
Segera ia menambah tenaga dan meloncat menerkam. Kali ini dia tak menangkap
pergelangan tetapi tulang sikunya. Dan Sangaji jadi mati kutu.


"Siapa kau?" bentaknya.


Ki Tunjungbiru segera memberi tanda isyarat sambil menunjuk ke arah Jaga
Saradenta dan Wirapati. Karena isyarat itu, Sangaji segera menjawab, "Aku
Sangaji, murid Wirapati dan Jaga Saradenta."


Pringgasaksi berpikir bolak-balik, muridnya begini masih muda sudah dapat
meloloskan diri dari tangkapanku. Dagingnya bisa menghisap tenaga. Macam
ilmu apa ini? Baiklah aku menyingkir dari mereka ... Setelah itu ia
mendengus: "Hm! Terima kasih atas kemurahan hati kalian." Ia melepaskan
cengkeramannya dan kabur menuruni bukit.


Sangaji lantas lari menjauhkan diri. Ia memeriksa tangan dan sikunya.
Dibawah cahaya bulan, ia melihat bekas lima jari menyayat kulitnya.
Andaikata Pringgasakti tidak segan terhadap kesahnya sendiri, pastilah
dagingnya bisa dicengkera-man melesak ke dalam. Berpikir demikian bulu
romanya menggeridik. Mereka semua jadi berlega hati setelah melihat si
iblis kabur tanpa mengadakan periawanan. Ki Tunjungbiru segera menolong
menyadarkan si gadis. Kemudian dipapah dan ditidurkan di atas batu.


"Iblis itu bukan main hebatnya," Wirapati memuji, "la bisa bergerak dengan
gesit. Tang-kapannya lengket dan berbahaya. Seumpama sampai bertempur,
belum tentu di antara kita bisa selamat tanpa menderita luka parah. Pantas,
guruku memuji kesaktiannya. Ha... untung Ki Tunjungbiru mendapat akal bagus."


"Janganlah berkata begitu," tegur Ki Tunjungbiru. Ia nampak berduka.
Wirapati heran melihat Ki Tunjungbiru berduka.


"Apakah iblis itu melukaimu dengan diam-diam?" Tanya Wirapati minta penjelasan.


"Tidak. Tapi ada lagi yang kupikirkan," jawab Ki Tunjungbiru. "Aku
melupakan dua hal. Yang pertama, tanpa kupikir akibatnya, aku memalsukan
nama pendekar sakti Gagak Seta. Inilah bahaya. Kedua, dia terang-terangan
muncul di antara kita. Sudah barang tentu dia mengenal kita semua dengan
penciumannya yang tajam. Di kemudian hari, apabila dia mendapat keyakinan
kalau Gagak Seta tidak tahu menahu perkara ini, pasti akan kembali membalas
dendam. Sekiranya kita secara kebetulan bisa berkumpul, itulah untung.
Apabila tidak, dia bisa melampiaskan dendamnya seorang demi seorang. Bagi
kita yang tua-tua, nggak jadi soal. Selain nyawa kita yang sudah tua tidak
berharga, setidaknya kita mampu berjaga-jaga diri. Tapi bagi Sangaji akan
lain halnya. Mulai malam ini, ia justru akan mendapat ancaman langsung. Ah,
siapa mengira kalau akal tipu-musli-hat untuk mengikis habis kecurigaannya,
justru jatuh sebaliknya."


Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru, semuanya jadi terdiam. Tiba-tiba Jaga
Saradenta yang




masih uring-uringan, berkata nyaring, "Otong Damarwijaya, apa kerjamu di
sini? Mengapa tidak mempersatukan diri dengan kami? Wirapati dan aku dulu
belum saling mengenal. Kami masing-masing berasal dari suatu perguruan yang
berbeda. Tapi karena suatu panggilan yang sama, akhirnya kami berdua bisa
bersatu. Sekarang kita bertiga mempunyai pula kebajikan yang sama, apa
celanya mulai malam ini kita mempersatukan diri?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar