@bende mataram@
Bagian 72
"Siapa gurunya?" Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
"Sehabis Perang Giyanti, ia memperdalam ilmunya kepada Adipati Karimun Jawa
Sureng-pati, gelarnya Jangkrik Bongol. Surengpati adalah orang yang luar
biasa. Umurnya sekarang belum melebihi 45 tahun. Tetapi mempunyai ilmu
malaikat yang tak terkalahkan. Dia adalah guru Pringgasakti dan Pringga
Aguna. Mungkin juga Patih Pringgalaya adalah muridnya juga. la termasuk
salah seorang tujuh tokoh pendekar sakti pada saat ini. Pertama, Kyai Kasan
Kesambi. Kedua, Pangeran Mangkubumi 1. Ketiga, Surengpati. Keempat, Kyai
Haji Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bongah dan ketujuh,
Raden Mas Said. Diantara ketujuh pendekar sakti itu, tiga orang telah
meninggal dunia. Kini tinggal empat orang. Yakni, Kyai Kasan Kesambi,
Surengpati, Gagak Seta dan Kebo Bongah. Kalau Pringgosakti benar-benar
telah dapat mewarisi kepandaian Adipati Surengpati, bisa dibayangkan
kehebatannya. Ia seperti harimau bersayap."
Jaga Saradenta dan Wirapati terhenyak. Mereka mengakui kebenarannya
pertimbangan Ki Tunjungbiru.
"Bagaimana mula-mula si iblis itu bisa berguru pada Adipati Surengpati."
Wirapati minta penjelasan.
"Menurut kisah yang kudengar begini," sahut Ki Tunjungbiru. "Suatu kali
Pringga Aguna dan Pringgasakti pernah bertempur dengan Surengpati. Mereka
berdua bisa dikalahkan. Dasar mereka licin dan pandai mengambil hati,
mendadak saja mereka bisa berguru kepada Adipati yang sakti itu. Mereka
berdua dibawa ke Karimun Jawa. Di kepulauan itu, mereka diasuh dan dididik.
Tak lama kemudian terdengarlah berita, kalau mereka minggat dari Karimun
Jawa dengan mencuri kitab pusaka Adipati Surengpati."
"Jika demikian, Adipati Surengpati takkan membiarkan dia hidup tanpa
membayar utangnya."
"Itu pasti. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah muridnya. Grusan muridnya
adalah urusan dalam rumah tangga. Apabila kita yang menyingkirkan dia, mana
bisa Adipati Surengpati tinggal diam. Dan jika Adipati Surengpati sampai
memasuki persoalan ini, mana bisa kita tidur dengan aman tenteram. Urusan
bisa jadi runyam dan berbahaya...."
Wirapati dan Jaga Saradenta terdiam kembali untuk kesekian kalinya. Mereka
pernah
mendengar kepandaian Adipati Surengpati yang mendapat gelar Jangkrik Bongol
karena keangkeran-nya. Tapi mereka belum mau percaya. Bahkan mereka menuduh
dalam hati, kalau Ki Tunjungbiru berbicara terlalu berlebihan dengan maksud
untuk meredakan nyala dendam kesumat. Tetapi aneh, nampaknya Ki Tunjungbiru
takut kepada majikan kepulauan Karimun Jawa itu.
"Habisnya, apa kita menyerah tanpa perlawanan?" dengus Jaga Saradenta.
"Semenjak aku kesompok gerak-gerik iblis itu, aku telah mencari jalan
keluar sebaik-baiknya. Itupun, sekiranya kalian berdua setuju."
"Silakan berbicara," kata Jaga Saradenta.
"Harap kalian tidak mentertawakan. Ini adalah ucapan seorang pengecut."
"Janganlah berkata begitu. Otong Damarwi-jaya bukan seorang yang licik."
"Terima kasih, kalau nama Otong Damarwija-ya termasuk pula deretan orang
yang sedikit mempunyai nama," kata Ki Tunjungbiru merendahkan diri. "Cuma
saja, kali ini bunyinya tidaklah setegar orang sangka."
"Bicaralah!"
"Urusan pertama yang harus kita kikis habis ialah, agar si iblis tidak lagi
menaruh curiga. Kedua, mencari akal muslihat supaya dia kabur dari
Jakarta," setelah itu Ki Tunjungbiru menguraikan tipu-muslihatnya. Dia akan
bermain sandiwara sebagai Gagak Seta, seorang pendekar sakti yang hidup
mengembara di seluruh pelosok tanah air. Mereka berdua tetap bermain
sebagai Wirapati dan Jaga Saradenta. Hanya saja mereka wajib bedaku hormat
kepadanya sebagai seorang tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatannya.
Sebenarnya Wirapati dan Jaga Saradenta tak sudi mengalah terhadap
Pringgasakti maupun Ki Tunjungbiru, tetapi mereka terpaksa menurut agar tak
menyinggung kehormatan tetamunya.
Demikianlah—pada malam hari itu setelah bersantap, mereka berangkat menuju
ke jurusan Cibinong. Ki Tunjungbiru dan Sangaji berjalan di depan. Wirapati
dan Jaga Saradenta berjalan di belakang. Pada masa itu, dusun sekitar
Cibinong masih merupakan tanah pegunungan berdinding tegak tinggi. Jurang
yang berada di seberang jalan sangat curam dan penuh dengan batu-batu padas.
Wirapati dan Jaga Saradenta menyaksikan, cara Ki Tunjungbiru dan Sangaji
mendaki bukit. Diam-diam mereka gembira menyaksikan kemampuan muridnya.
Dengan tangkas Sangaji melompat dari batu ke batu. Kadang-kadang dengan
sebat menyambar akar pohon liar untuk dibuatnya tangga merangkaki tebing.
Ki Tunjungbiru dapat bergerak dengan sebat dan mudah. Maka tahulah mereka,
kalau tenaganya tidak bisa menyamai kesanggupan Ki Hajar Karangpandan.
Pantas dia dapat melawan Ki Hajar Karangpandan selama lima hari lima ma-lam.
Wirapati dapat merangkaki tebing itu dengan mudah. Hanya Jaga Saradenta
yang sudah berusia lanjut nampak mengangsur napasnya. Ki Tunjungbiru dan
Sangaji segera mengulurkan tangannya hendak membantu mengangkat tubuhnya.
Tetapi Jaga Saradenta seorang laki-laki yang bertabiat angkuh. Tak sudi ia
menerima bantuan itu. Meskipun tenaganya jauh berkurang daripada dulu, ia
memaksa diri juga. Akhirnya berhasil juga. Tetapi keringatnya nampak
membasahi seluruh punggungnya, meskipun demikian ia bersikap tak pedulian.
Tiba di atas bukit, mereka melihat suatu lapangan agak luas dengan tanda
panji-panji tengkorak tertancap seperti garis. Sekarang mereka percaya
benar, kalau Ki Tunjungbiru bicara jujur. Jika dia bersikap agak segan pada
Pringgasakti, pasti juga ada alasannya.
Mereka berempat kemudian duduk di atas batu dan merundingkan jalannya tipu
muslihat semasak-masaknya.
Mereka memikirkan pula, andaikata tipu-mus-lihat itu ternyata nanti gagal.
Setelah mendapat
persetujuan, mereka segera mempersiapkan diri. Tetapi sampai hampir tengah
malam, yang ditunggu tak kunjung datang.
"Eh, mengapa dia belum juga datang?" dengus Jaga Saradenta uring-uringan.
"Apa dia sudah mampus di tengah jalan?" "Sst... lihat di jauh sana!" bisik
Wirapati. Waktu itu langit cerah. Sekalipun bukan waktu bulan purnama, tapi
kecerahan langit cukup menerangi sekitar lapangan. Jaga Saradenta
mengarahkan pandang ke dataran tanah di seberang bukit. Ia melihat setitik
gumpalan hitam. Itulah tubuh Pringgasakti yang bergerak sangat cepat dan
gesit. Di bawah sinarnya bulan yang remang-remang, iblis itu melesat
seperti anak panah. Dalam waktu beberapa detik, ia telah tiba di kaki
bukit. Lantas saja dia mendaki dengan tangkas dan ringan. Ia tak
mempergunakan tenaga kaki, tapi cukup dengan mengayunkan kedua lengannya
bagai seekor burung mengibaskan sayapnya.
Jaga Saradenta tercengang-cengang menyaksikan ketangkasannya. Diam-diam ia
me-noleh ke Wirapati dan Ki Tunjungbiru yang nampak tegang. Mestinya
wajahnyapun tegang pula.
Setibanya di atas lapangan, Pringgasakti berdiri tegak sambil mendongakkan
kepala. Di punggungnya ternyata ada sesosok tubuh yang diikat erat pada
pinggangnya. Orang itu entah sudah menjadi mayat atau masih hidup.
Tiba-tiba saja, Sangaji hampir memekik. Dengan cepat ia mengenal siapakah
orang yang berada di punggung Pringgasakti. Pakaian orang itu berkibaran di
udara. Dia seorang perempuan. Itulah Sonny De Hoop. Cepat Ki Tunjungbiru
mendekap mulutnya, kemudian berkata nyaring.
"Eh bocah! Aku si tua Gagak Seta biasa berkelana menuruti kata hatiku
sendiri, kali ini terpaksa aku mendengarkan ocehanmu. Benar-benar iblis Abu
masih saja berkeliaran di sini. Kalau malam ini aku bisa beruntung bertemu
dengan tampangnya, biarlah kusuruhnya menyusul adiknya ke neraka. Apa dia
belum sadar, kalau akulah yang menyodok perut Abas sampai kecoblos?"
Pringgasakti kaget mendengar suara Ki Tunjungbiru dan suara bocah. Ia
memasang kuping. Ketika mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, ia semakin
kaget. Cepat ia meloncat ke samping dan bersembunyi di belakang batu.
Wirapati dan Jaga Saradenta melihat gerak-gerik Pringgasakti yang bersikap
jeri tatkala mendengar disebutnya nama Gagak Seta. Dalam hati, mereka
tertawa. Hanya Sangaji seorang yang hatinya goncang tak karuan. Maklumlah,
ia memikirkan keadaan Sonny temannya yang disayangi.
"Bocah! Kapan kamu melihat panji-panji iblis ini?" kata Ki Tanjungbiru yang
bermain sandiwara sebagai Gagak Seta.
Sangaji lantas saja teringat akan peranannya. Dengan mengatasi hatinya yang
berkebat-kebit dia menjawab, "Tiga empat hari yang lalu, sewaktu aku
berburu dengan keluarga Kapten DeHoop."
"Cuh!" Ki Tanjungbiru meludah ke tanah. "Mari kita tunggu sampai dia
datang. Mana kedua gurumu? Kalau aku nanti menghajar iblis itu jangan ikut
campur seperti dulu."
Pringgasakti diam tak berani berkutik. Sebagai murid Adipati Surengpati, ia
kenal akan nama itu. Gurunya sering mengatakan, kalau pada jaman itu Gagak
Seta termasuk seorang tokoh sakti yang kelima. Orang itu berkelana seperti
angin. Dalam masa lima tahun, belum tentu dapat diketemukan di mana dia
berada. Dia adalah musuh penjahat-penjahat dan pembasmi musuh-musuh rakyat.
Tangannya ampuh seperti guntur dan gerakan tubuhnya gesit secepat kilat.
"Paman!" sahut Wirapati. "Apa dulu aku mengganggu Paman? Aku hanya melihat
Paman dalam jarak sepuluh langkah, ketika Paman membekuk iblis Pringga Aguna."
"Ha. Justru kamu melihat perkelahian itu, aku berkhawatir pada
keselamatanmu. Kalau Abu
menaruh curiga padamu, kau bisa celaka."
Wirapati tertawa panjang. "Paman! Pringgasakti kabarnya memang seorang
penjahat. Tapi dengan aku, tidak ada utang-piutang. Dengan kehilangan adik
seperguruannya, cukuplah sudah menindih gelora hatinya. Dia pasti berduka.
Apa itu bukan suatu hukuman?"
Ki Tunjungbiru tertawa riuh sambil melepaskan ilmu gunturnya. Pringgasakti
terkejut. Pikirnya, benar-benar Gagak Seta bukan nama kosong. Suaranya
begini bergemuruh seolah-olah guntur menyibakkan mega hitam. Hatinya kian ciut.
"Wirapati!" kata Ki Tunjungbiru dengan suara berwibawa. "Pantes gurumu Kyai
Kasan Kesambi memuji kesabaranmu. Bagaimana keadaan gurumu?"
"Dia baik-baik saja, Paman. Aku justru dikirimkan ke Jakarta untuk mengurus
pendidikan si bocah. Inilah gara-gara Hajar Karangpandan yang mengajak
mempertandingkan anak didiknya dengan kepandaian si bocah."
Demikian mereka bermain sandiwara. Hanya Jaga Saradenta yang masih
membungkam, takut dikenal suaranya. Maklumlah, pada masa mudanya, dia
pernah bertempur melawan iblis itu memperebutkan Jumirah anak gadis
almarhum Kyai Haji Lukman Hakim.
Permainan sandiwara itu menggetarkan hati Pringgasakti, sampai dia sibuk
menduga-duga, Gagak Seta ada di sini. Celaka. Terang-terangan dialah yang
mengaku membunuh Abas, bagaimana aku bisa menuntut balas. Kalau aku sampai
terlihat, mana bisa aku hidup lebih lama lagi?
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar