@bende mataram@
Bagian 71
"Semenjak aku kenal Sangaji, kuikuti dia dari jauh. Diam-diam aku
menyelidiki keadaan dirinya dan kalian berdua. Maafkan perbuatanku itu.
Maklumlah, aku seorang buruan. Aku harus tahu dengan pasti, kalau di
belakang kejadian ini terjadi suatu permainan yang bersih jujur."
"Apa kamu berprasangka buruk padaku?" potong Jaga Saradenta yang mudah
tersing-gung.
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidung. "Tiap orang berhak menjaga
keselamatan diri. Bukankah kalian mencurigaiku pula seolah-olah aku ini
Pringgasakti? Karena penyelidikanku itu, tahulah aku kalau kalian adalah
guru-guru yang kukagumi. Kalian sangat jujur menurunkan semua ilmu kepada
si bocah. Aku tahu pula tentang kakak-angkat si bocah, rumahnya—ibunya dan
rumah kalian. Aku tahu juga, kalau kalian sedang berjaga-jaga diri terhadap
balas dendam si siluman Pringgasakti."
Menyinggung tentang balas-dendam Pringgasakti, Wirapati dan Jaga Saradenta
terkejut sampai berjingkrak. Serentak mereka bertanya, "Bagaimana kamu tahu
tentang permusuhan ini?"
Belum lagi Ki Tunjungbiru menjawab pertanyaan mereka berdua, terdengarlah
sebuah kereta berhenti di tepi jalan. Sebentar kemudian, muncullah si Sonny
di pekarangan rumah. Ia memanggil Sangaji dan tatkala melihat dia, segera
ia melambaikan tangannya.
Sangaji segan kepada gurunya. Tak berani ia menghampiri. Ia hanya
melambaikan tangannya dan memberi isyarat agar gadis Indo itu datang
memasuki rumah.
Sonny lantas saja memasuki rumah. Kedua matanya nampak merah, rupanya dia
habis menangis panjang.
"Sangaji... ayahku... ayahku menghendaki, agar aku kawin dengan Yan De
Groote..." Sehabis berkata begitu, air matanya meleleh bercucuran.
Sangaji tidak mendengarkan ucapan si Sonny. Ia berkata keras, "Sonny!
Cepatlah kamu pulang! Laporkan kepada ayahmu, kalau Mayor De Groote akan
berontak. Seandainya kamu bertemu dengan kakakku Willem sampaikan
kepadanya, kalau dia harus berhati-hati dan waspada jika berangkat beronda.
Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan menyerang pasukannya dan pasukan
ayahmu di luar kota."
Sonny De Hoop kaget. Bertanya gap-gap, "Benarkah itu?"
'Tentu saja benar!" sahut Sangaji meyakinkan. "Kami mengetahui persekutuan
Mayor De Groote. Cepat, ceritakan hal itu kepada ayahmu!"
Sonny tegak seperti tugu. Hatinya tegang, tetapi ia tertawa. Matanya
berseri-seri. "Baik! Akan kusampaikan hal itu kepada Ayah." Setelah berkata
begitu, dengan langkah ringan ia kembali ke jalan. Tak lama kemudian
terdengarlah kereta berkuda mulai bergerak dan lari de-ngan cepat.
Sangaji heran. Pikirnya—ayahnya mungkin dalam bahaya, mengapa dia begitu
girang? Ia mencoba menebak lubuk hati Sonny. Akhirnya ia terkejut, "Ah!
Jika ayahnya sampai bentrok dengan Mayor De Groote, bukankah dia tak bakal
kawin dengan Yan De Groote?" Mendapat pikiran demikian, dia pun ikut
bersyukur. Ia sayang kepada Sonny dan kepada Yan De Groote kesannya
bermusuhan semenjak masih menjadi anak tanggung.
Kedua gurunya dan Ki Tunjungbiru tak begitu memperhatikan kesibukan
hatinya. Mereka bertiga lagi tegang. Terdengar Ki Tunjungbiru berkata,
"Banten, Tangerang, Serang, Rangkas-bitung dan Pandeglang adalah daerah
pengembaraanku. Sudah barang tentu, aku tahu peristiwa pertempuran itu.
Ateng, Memet, Kosim dan Acep bisa diselamatkan, meskipun dua di antara
mereka menjadi cacat seumur hidup. Sayang, Hasan bisa ditewaskan iblis itu.
Mereka
bercerita tentang kalian. Walaupun mereka tak dapat menerangkan tentang
dirimu, tapi mereka cukup mengagumi. Dengan begitu mereka berusaha dengan
sekuat tenaga menggambarkan gerak-gerik kalian."
"Ah, si sembrono!" Jaga Saradenta meledak sambil menggempur meja. "Kalau
bualnya sampai kedengaran Pringgasakti..."
"Memang iblis itu telah mengetahui belaka tentang diri kalian berdua,"
potong Ki Tunjungbiru. "Hanya saja dia belum bertindak."
"Bagaimana kamu tahu, kalau dia telah mengetahui keadaan kami?" Jaga
Saradenta terkejut.
"Suatu kali, di dekat Gunung Puteri kulihat sebelas panji-panji segitiga
tertancap teratur di atas tanah. Panji-panji itu bergambar tengkorak dengan
tulang bersilang. Siapa lagi, kalau bukan panji-panji iblis Abu."
"Setiap laki-laki di seluruh Jawa Barat yang biasa berkelana mendaki gunung
dan menuruni jurang, kenal akan panji-panji itu. Kalian pasti belum tahu
dengan pasti, kalau mereka berdua berasal dari Sulawesi dan berdiam
semenjak menjadi pemuda tanggung di sebuah Dusun Cibesi. Mula-mula mereka
berdua adalah anak murid Kyai Hasan Bafagih. Mereka melanggar tata-tertib
perguruan dan menghilang tak keruan rimbanya. Semenjak itu, mereka terkenal
sebagai dua iblis yang amat liar. Mereka mengembara dari daerah ke daerah
dan membuat kekacauan dan hura-hara di mana saja mereka berada."
"Dan panji-panji itu, apa artinya?" sela Wirapati.
"Suatu tanda, kalau mereka sedang berlatih diri untuk melampiaskan dendam
tertentu. Bila mereka sedang berlatih, mereka menjauhi pergaulan. Dicarilah
tempat yang sunyi. Kemu-dian membuat garis arena sesuka hatinya dengan
tanda panji-panji. Barang siapa berani menghampiri apalagi memasuki daerah
arena latihannya, tak usah mengharapkan hidupnya lagi. Orang itu akan
ditangkap dan dijadikan boneka latihannya. Kalian pasti tahu tingkah-lakunya."
"Ya, tak usahlah itu diceritakan lagi. Iblis itu akan menghisap darahnya
atau menjadikan si korban itu sasaran latihannya."
"Benar," sahut Ki Tunjungbiru. Ia mendongak ke atap, kemudian meneruskan.
"Tertarik akan gerak-geriknya, berhari-hari aku mencoba mengintipnya.
Kulihat dia berdiri tegak di atas gundukan tanah mengarah ke kota Jakarta.
Tahulah aku dengan segera, kalau dia mau me-lampiaskan dendamnya ke
Jakarta. Hanya saja, dia nampak berbincang-bincang."
"Bagaimana kamu tahu?" Jaga Saradenta tak sabar lagi.
"Dia menggeram dan menggerung-gerung sepanjang malam dan sekali-kali dia
berteriak seakan-akan berbicara dengan roh si Abas. Katanya, Jxalau musuh
yang membunuh dirinya pasti bukan orang sembarangan. 'Beritahukan siapa
dia', katanya, berulang kali."
Mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati menggeridik
bulu kuduknya. Sangaji nampak menjadi gelisah, karena dialah yang terutama
merasa menjadi si pembunuh Pringga Aguna. Meskipun tidak disengaja, tapi
mana bisa si Iblis Abu diberi penjelasan.
"Sejak itu aku sering melihat dia berkasak-kusuk mengaduk kota Jakarta.
Pernah juga dia mengintip kalian berdua ketika sedang melatih Sangaji."
"Ah!"Jaga Saradenta dan Wirapati berteriak berbareng.
'Tapi percayalah kalau dia belum mendapat keyakinan tentang kesanggupan
kalian membunuh adiknya," kata Ki Tunjungbiru seakan-akan menghibur.
Mendadak ia menyambar per-gelangan Sangaji sambil berkata meneruskan, " Ya,
siapa mengira kalau iblis Abas yang sakti mati ditangan si bocah begini
lemah. Sekiranya aku tak mendapat keterangan dari Ateng, Me-med, Kosim dan
Acep mana bisa aku percaya.
Mereka semua jadi tegang sendiri. Jaga Saradenta mengelus-elus jenggotnya
yang sudah
menjadi putih susu. Pandangannya gelisah merenungi atap. Kemudian berkata
perlahan-lahan, menahan diri.
"Semuanya ini, akulah yang menyebabkan timbulnya gara-gara. Seandainya aku
tidak mencari perkara, tak bakal Wirapati dan Sangaji terperosok ke dalam
persoalan yang rumit."
"Janganlah berkata begitu. Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang bisa
disalahkan. Iblis itu memang pantas dibasmi. Selama dia masih bebas
berkeliaran di dunia ini, mana bisa orang-orang semacam kamu tidur nyenyak.
Hanya saja, hendaknya dendam kesumat yang ber-lebih-lebihan dirubah dan
diperlunak menjadi semacam kebajikan dan tugas utama bagi tiap laki-laki
sejati seperti dirimu," tungkas Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, "Aku
pun tak akan tinggal diam. Hanya saja aku harus berhati-hati. Aku percaya,
kalau si iblis itu takkan membiarkan dirinya tersiksa dalam suatu
teka-teki. Suatu kali dia akan mencari suatu kepastian untuk melampiaskan
dendam. Beberapa hari yang lalu. Kulihat panji-panji telah berada di
seki-tar kota Jakarta. Ini suatu tanda, kalau dia bakal bertindak."
Jaga Saradenta dan Wirapati terkejut sampai berjingkrak. Tapi belum lagi
mereka membuka mulut, Ki Tunjungbiru telah berkata lagi, "Baiklah,
kukatakan dengan terus terang. Bukan maksudku mau merendahkan kemampuan
diri sendiri atau kemampuan kalian berdua, tetapi dengan sebenarnya
kukabarkan kepada kalian berdua, kalau menilik latihannya—Pringgasakti maju
dengan pesat. Empat puluh tahun yang lalu, dia tidak sehebat ini. Gerak
geriknya sangat aneh dan sebat luar biasa. Rupanya dia hampir berhasil
mewarisi kepandaian gurunya yang kedua."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar