12.30.2016

Anakan hampala


Tulisan ini sebagai bukti bahwa kita butuh predator2 tingkat atas untuk tetap memperpanjang hobi kita. Semakin banyak predator malah bagus karena bisa mengendalikan ekosistem. He3. Tapi ini yang bilang orang bule. Entah orang disini punya teori lain.


Meteor


Mikro prentul


Indomi, tp lauknya enak


Jaman dulu beli jig beginian prosesnya panjang. Harus nitip orang ke Sing dulu. Dulu beach road apa aja ada. Entah nasibnya sekarang setelah orang bisa belanja online. Jig seukuran ini jos banget unt ngakalin talang2. Dengan senar diameter 0,18 (belum ada pe kyk jaman sekarang) ngeri2 sedap mikir putus ga putus ga. Kalo putus terus dan habis harus nunggu teman ke Sing lagi padahal belum tentu 3bulan sekali he3. Oya waktu itu 1 dolar sing cuma 4rb. 8rb rupiah cukup murah lah.


Monster gengis khan fish terlihat berkeliaran mencari mangsa.


Tengkleng yu tentrem yg legendaris ini bener2 susah nyarinya. Berada di tengah kampung. Bahkan mobil pun tidak bisa lewat masuk.


Ternyata seblak juga udah ada versi instant nya......


Double air terjun


Mendung di sore hari, mau hujan. Sepertinya sampai januari begini terus.


Memancing ikan cakul


Memancing ikan "cakul" atau wader biasa
Seperti biasanya hari Sabtu kami selalu menjadwalkan untuk memancing. Jadwal mincing kami berlima adalah sangat fleksible tergantung cuaca dan saran dari Sani. Memancing uceng bisa dilakukan kapan saja selama air tidak keruh.
Minggu ini kami memutuskan untuk memancing "wader biasa". Ikan biasa atau dikampungku disebut dengan wader biasa ada juga yang menamakan ikan "cakul" sesuai dengan namanya adalah ikan yang biasa didapatkan setiap saat, ukuran
ikan ini dengan panjang sekitar 10-15 cm. Ikan ini berwarna putih dan
bersisik halus, sejenis ikan pantau tetapi lebih besar dan lebar. Ikan ini
hidup di air tawar yang yang relative agak dalam biasanya di "kedung"
(bagian sungai yang punya kedalaman lebih) sehingga aliran sungainya nampak kurang deras. Ikan ini suka meloncat di "grojogan" (semacam air terjun kecil) yang terjadi karena adanya perbedaan yang signifikan dari ketinggian
aliran sungai. Ada 3 grojogan yang kita jumpai dikampungku. Satu di "kali Cengek" tepatnya dekat surau Pak Munib dan 2 lagi di "kali gedhe" yaitu di pleret. Pleret adalah pintu air yang membagi sungai dari mata air senjoyo menjadi 2 yaitu kali Cengek dan kali gedhe. Dengan adanya pintu air ini maka kali Cengek tidak pernah terkena banjir, jika terjadi banjir maka semua air banjir akan mengalir ke kali Gedhe. Temanku Adib yang suka membuat jebakan untuk mendapatkan ikan ini yaitu dengan menaruh keranjang yang didalamnya
dimasukkan rumput-rumputan. Keranjang ini ditaruh 10 cm diatas permukaan air disebelah air terjun. Ikan yang meloncat akan terjebak masuk kedalam keranjang dan nggak bisa keluar lagi karena terhalang oleh rumput yang berfungsi seperti jebakan. Dan setiap lima menit akan diangkat. Ternyata sudah ada 3-4 ikan yang terperangkap (hebat juga idenya). Kemudian tidak hanya satu keranjang ditaruh tetapi 2-3 keranjang per "grojogan". Hasilnya
lumayan tetapi cukup capek, karena harus mengelilingi 3 grojogan yang
jaraknya hampir 500m.Tetapi kami punya semboyan "tidak ada kepuasan yang hakiki untuk mendapatkan ikan kecuali dari memancing". Mulai dari persiapan walesan, umpan, getaran joran, dan sentakan begitu membekas dalam pikiran.
Sabtu sore kami telah mempersipakan alat alat yang perlu disiapkan untuk
memancing wader biasa yaitu:

- Joran khas untuk memancing ikan ini adalah "walesan" yaitu joran yang dibuat dari batang bambu yang sudah dibelah. Panjang bilah bambu yang akan dijadkan joran sekitar 180 – 230 cm. Pegangan joran dibuat
sebesar jempol tangan orang dewasa dan makin keatas makin kecil, untuk
"entul" (bagian teratas dari joran) dibuat sehalus mungkin dengan bagian bambu diluar yang disisakan, karena bagian ini tidak mudah patah dan sangat lentur dan juga tetap menggunakan ukuran jengkal tangan dengan hitungan:
"Blung", "Trucuk", "Caplok", "Jendel" secara berurutan, yang terakhir harus
"jendel". Yang paling ahli membuat Walesan ini adalah Sani

- Kenur khas untuk wader biasa yaitu rambut gadis kampung yang disambung dua.

- Mata kail khas untuk wader biasa yaitu kawat rem sepeda/sepeda motor yang sudah diurai dan diasah. Panjangnya kira-kira 12mm dibengkokkan dengan paku kecil (lebih besar sedikit dari mata kail uceng)

- Pemberat biasa kami sebut timbel yaitu gotri atau peluru senapan yang kita pipihkan. Satu gotri bisa dibagi menjadi 3 pemberat

- Umpan untuk wader biasa adalah "lothek". Ada 2 arti lothek di kampungku. Satu, lothek yang artinya sayur-sayuran yang dicampur sambel kacang atau semacam pecal. Dua, lothek untuk umpan ikan yaitu
semacam pelet yang dibuat dari singkong yang dibakar kemudian diambil dagingnya. Kenapa singkongnya harus dibakar? Karena kalau dibakar hasilnya lebih pulen dan lebih tahan lama dibandingkan bila direbus atau dikukus. Bahan lainnya adalah kunyit dan tempe bosok (tempe yang sengaja
dibusukkan). Di Salatiga ada lauk khas yang dibuat dari tempe yang sengaja dibusukkan. Namanya "sambel tumpang", lauk ini hanya ada di Salatiga dan sekitarnya. Bahan dasarnya adalah tempe bosok dicampur dengan daging tetelan,
cabe merah, santan, bawang merah, bawang putih dan pete. Campuran lainnya adalah "krupuk krecek" yaitu krupuk yang dibuat dari kulit sapi, dan jangan lupa tambahkan "krupuk karak" yaitu krupuk yang dibuat dari nasi. "Nasi liwet sambel tumpang" bisa kita jumpai disepanjang jalan sudirman dan lapangan Pancasila, rasanya ruarrrr biasa 'mak nyosss" dengan bau khasnya.

"Lothek" merupakan umpan khusus untuk wader biasa. Bahan bahannya tinggal kita giling halus, kemudian kita bungkus daun pisang. Supaya tidak cepat asam biasanya kita tutup dengan kain basah ketika memancing.

Cara memancing wader biasa yaitu kita pilih "kedung" yang aliran sungainya agak memutar. Kita cari tampat yang strategis karana kita akan duduk berjam-jam disini. Feeling kita sangat diperlukan karena wader biasa ini makannya sangat halus. Apabila sudah terasa getaran diujung joran maka akan kita sentak. Dan apabila sudah terasa wader biasa terangkat tidak perlu diputar seperti baling-baling helikopter karena kalau ikan ini terlepas sudah berada didaratan. Tetapi biasanya kami tiap memancing wader biasa ini
menggunakan sarung sebagai pengganti celana tujuannya ikan yang sudah nyangkut dikail langsung kita arahkan kekain sarung yang kita pakai sehingga bila ikan terlepas, maka akan terlepas disarung kita. Sarung yang kita pakai ketika duduk akan berfungsi seperti cekungan sehingga bisa berfungsi sebagai
tangguk. Untuk tempat ikannya biasanya bawa ember kecil yang dimasukkan air dan rerumputan. Kami tidak mengenal yang namanya pelampung, jadi kami selalu
memancing dengan cara glosor tetapi umpan tidak didasar air yaitu kita
kira-kira sendiri kurang lebih 10 – 20 cm dari dasar sungai dan kita
gerakkan mengikuti arus. Demikian terus berulang-ulang, sampai dimakan ikan.

Lokasi yang paling banyak dihuni oleh ikan biasa ini namanya "tenggongan" yaitu sebuah tikungan sungai yang airnya cukup dalam dan dikelilingi oleh hutan bambu (papringan). Daerah ini sangat terkenal karena selain banyak
dihuni berbagai jenis ikan, lokasi ini juga dihuni mahluk halus, kami
sekampung mempercayainya. Di "papringan" yang lokasinya mengelilingi kedhung ini banyak sekali bergelantungan berbagai ular. Kami percaya selama kami tidak mengganggu maka ular-ular ini tidak akan menggigit. Dan disinilah lubuk berbagai macam ikan. Kami berlima duduk agak berdekatan sambil mulut
kami komat-kamit berdo'a supaya tidak diganggu. Sebelum memasukkan kail ke sungai kami selalu minta ijin kepada "penghuni" sungai ini. "Mbah sing mbaurekso "tenggongan", kulo nyuwun ulame nggih mbah?" (Mbah yang menguasai "tenggongan", kami minta ikannya ya Mbah?" Semuanya ini diajarkan oleh Pakde Serur (tokoh supranatural di kampung kami) dan kebetulan dialah penggarap
sawah tepat disamping "tenggongan". Entah tahayul atau tidak, yang jelas
tiap orang yang memancing di 'tenggongan' selalu minta ijin terlebih dahulu.
Karena memang sering kejadian, anak-anak kesurupan setelah memancing disini.
Aku masih ingat nama anak yang "kesambet" atau kesurupan yaitu: Saipur dan Rosad, dan Pakde Serurlah yang menyembuhkan. Saipur & Rosad "kesambet" karena buang air kecil sembarangan.

Kami duduk beralaskan rumput yang tumbuh ditepi sungai. Kami bergantian mendapatkan ikan. Tiba tiba joranku tertarik agak keras, aku kaget dan kusentak, akhirnya putus dan jantungku berdegup kencang. Sani bilang umpanku dimakan ikan mangur, harusnya ngak boleh kaget dan tarik perlahan sampai ikan itu capek, kalau ikan sudah capek ditarik sampai ketepi sungai baru diambil pakai tangan. Aku harus mengganti rambut dan mata kail dengan tangan
yang masih gemetar.

Memancing ikan ini sangat mengasyikkan. Waktu tidak terasa dan biasanya kami membawa bekal untuk makan siang yaitu nasi kucing dengan lauk bakwan dan "tempe gembos" dari warung lek Jamil. Nasi kucing adalah nasi yang
"ditrempelang" atau dibungkus dengan daun pisang dengan lauk "kering tempe" dan kadang tahu/telur dadar yang dipotong-potong. Tempe gembos adalah tempe
yang dibuat dari ampas tahu yang digoreng dengan tepung. Harga tempe gembos ini separuh dari harga tempe dan tahu. Harga nasi kucing adalah 250 rupiah dan bakwan serta tempe gembos 25 rupiah. Seperti biasanya Sani yang mendapatkan ikan yang terbanyak. Aku hanya mendapatkan separuhnya. Selesai
mancing kami tidak langsung pulang, tetapi langsung "mbetheti" atau
membersihkan ikan yang kami dapatkan. Dari lima orang pemancing semua ikan dikumpulkan dan dibetheti bersama-sama. Waktu membersihkan ini cukup lama
dan karena dikerjakan bersama-sama maka tidak terasa. Selesai dibersihkan
Sani membagi ikan tersebut. Kami tidak pernah ada yang protes masalah
pembagian ini.