8.09.2015

Penghinaan


From: A.Syauqi Yahya



Penghinaan

http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/09/1852/penghinaan

MINGGU, 09 AGUSTUS 2015 | 00:28 WIB
Putu Setia

Presiden itu mirip pendeta. Yakni orang yang masih hidup tapi menyandang simbol. Presiden adalah simbol kepala negara yang harus dijaga kehormatannya. Bendera kebangsaan saja harus kita hormati dalam setiap apel tatkala dikibarkan ke atas tiang. Padahal wujud nyatanya hanyalah dua potong kain berwarna merah dan putih yang disambung. "Siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela...." demikian himne untuk menjaga kehormatan simbol itu.
Pendeta simbol dari orang suci penuntun umat dan dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Pendeta kalau dicaci dan dihina tak boleh marah-begitu teorinya. Ada keyakinan, setiap hinaan dan caci yang diterimanya, justru mengurangi dosanya. Dosa itu mental kepada sang pemaki. Akan halnya presiden, karena yang diurusi masalah duniawi, tentu wajar marah jika dihina. Ini bedanya. Namun ternyata Presiden Jokowi berperilaku pendeta, ia tenang saja dan menyebut, "Caci dan maki itu adalah makanan sehari-hari."
Apakah ada yang berani menghina pendeta? Tentu ada, meski tak banyak. Pendetanya mungkin senyum-senyum, tapi umatnya tak bisa terima. Sang penghina bisa mendapat ganjaran dari umat. Jangan-jangan presiden juga begitu. Meski hinaan menjadi "makanan sehari-hari", tetap ada yang tidak terima. Yakni sekelompok masyarakat yang percaya bahwa kehormatan presiden sebagai simbol kepala negara harus ditegakkan.
Persoalan sekarang, apakah menghina dan melakukan kritik, sama atau tidak? Ini yang perlu diperjelas. Apalagi kalau itu dijadikan rambu dalam undang-undang. Ternyata merumuskan ini dalam bahasa hukum sulit, meskipun dalam "bahasa rasa" juga tak kalah sulitnya karena ada pengaruh budaya yang tak sama.
Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang sekarang, pasal penghinaan kepada presiden masih ada. Ini dianggap langkah mundur karena pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi pada 2006. Tapi, konon pasal ini tak persis sama, karena pasal penghinaan itu dengan rambu-rambu delik aduan. Jika dulu dalam status delik umum, setiap aparat hukum, apakah itu polisi atau jaksa, siap memberangus siapa pun yang dianggap menghina presiden dengan rumusan yang juga bisa melar seperti karet. Versi sekarang menjadi delik aduan. Kalau presiden secara pribadi tidak mengadukan penghinaan itu ke polisi, ya, tak ada masalah. Tergantung presiden, apakah hinaan dijadikan "makanan sehari-hari" atau tidak.
Jika benar bahwa terjadi perubahan dari delik umum menjadi delik aduan, tentu berbeda dengan yang dulu. Tapi tetap akan ada masalah jika rumusan penghinaan itu tidak dirinci dengan jelas. Kita membutuhkan rumusan yang lebih pasti, yang mana penghinaan dan yang mana hanya sekadar kritik atau koreksi. Kalau itu tetap saja sulit dilakukan, alangkah bijaknya kalau pasal itu dihapuskan sama sekali.
Toh, masih ada pasal tentang pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan, juga sebagai delik aduan. Pasal ini tinggal dipertegas dengan tak membedakan apakah pejabat negara atau bukan. Dalam bahasa hukum sering disebut "barang siapa". Jadi, presiden itu termasuk "barang siapa", tak ada bedanya dengan petugas parkir atau hakim. Begitu merasa dicemarkan, "barang siapa" itu bisa mengadu ke polisi.
Cuma, simbol-simbol negara yang harus dihormati jadi kabur. Terkesan pula kita membiarkan ketidaksantunan makin subur, padahal memberi kritik bisa dilakukan dengan tidak mencaci atau menghina. Bukankah menghina dan mencaci itu juga memperlihatkan keburukan diri sendiri? Lagi pula, menghina kok tak capek-capeknya. *

8.05.2015

Boneka


Dari: "A.Syauqi Yahya"
> Boneka
>
> http://www.tempo.co/read/carianginKT/2015/08/02/1842/boneka
>
> SABTU, 01 AGUSTUS 2015 | 23:05 WIB
>
> Putu Setia
> @mpujayaprema
>
> Boneka itu disenangi anak-anak. Tetapi, jika dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak ini muncul calon boneka, itu buruk. Kalau calonnya boneka, menjadilah dia bupati atau gubernur boneka-kalau terpilih. Bagaimana kalau gubernur boneka itu naik pangkat menjadi presiden? Ini tak usah dibahas.
> Kenapa ada calon boneka? Mari kita usut. Calon kepala daerah harus didukung 20 persen suara hasil pemilu yang lalu. Itu calon dari partai atau gabungan partai. Ada calon independen, tapi syaratnya diperberat. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 9 Tahun 2015, calon independen di daerah yang berpenduduk 8-12 juta harus mengumpulkan dukungan minimal 7,5 persen. Dalam pilkada sebelumnya, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010, angka itu cuma 4 persen. Makin berkurang penduduknya, makin tinggi persentase dukungan. Misalnya, untuk daerah berpenduduk sampai 250 ribu, dukungan minimal 10 persen. Singkat kata, calon independen kurang diminati.
> Partai yang kini kadernya sedang menjabat, hampir seluruhnya dicalonkan kembali. Statusnya petahana. Meski prestasi petahana tak terlalu tampak, pengaruhnya sangat besar karena bisa menggerakkan birokrasi. Betul, Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi sudah mengeluarkan edaran agar pegawai negeri sipil netral. Ah, orang tahu itu cuma teori. Kalau petahana yang tak berprestasi saja sulit dilawan, apalagi petahana yang berprestasi, ditambah populer lagi. Contohnya Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Wakil Presiden Jusuf Kalla saja mengakui kehebatan Risma dan menyebut "sulit untuk dikalahkan".
> Tapi politik itu mengadopsi seni silat, tak ada pendekar yang tak bisa dikalahkan. Apa akal? Partai politik yang oposisi ambil sikap tidak mengeluarkan calon. Jadilah petahana itu calon tunggal. Kesannya calon tunggal itu di atas angin. Padahal celaka, karena berdasarkan aturan KPU Nomor 8 Tahun 2015, jika dalam pilkada serentak ini calonnya tunggal, pilkada di daerah itu diundur ke pilkada serentak 2017. Risiko bagi petahana besar karena dia akan digantikan oleh pelaksana tugas, lantaran masa jabatannya habis. Risma, misalnya, harus diganti pada 20 September nanti saat masa jabatannya habis. Jika pilkada diundur ke 2017, pengaruh Risma pada birokrasi diduga sudah berkurang, mungkin pula kepopulerannya menurun. Itu jurus silatnya.
> Lho, bonekanya di mana dong? Sabar. KPU punya aturan unik bin ajaib. Pendaftaran pilkada dibuat selama tiga hari (26-28 Juli). Namun, kalau cuma ada calon tunggal, KPU buat sosialisasi selama tiga hari (29-31 Juli), lalu dibuka pendaftaran susulan tiga hari (1-3 Agustus). Setelah itu baru verifikasi dan diputuskan, pilkada berlanjut atau diundur. Untuk apa sih sosialisasi lagi? Entah, mbok tanya KPU. Tapi di sinilah waktunya "musyawarah mufakat", partai yang (pura-pura) gagal mencari calon "diminta dengan sangat hormat" menampilkan calon asal-asalan. Barangkali disertai apa yang disebut "politik transaksional".
> Politik dengan "jurus silat tangan kosong" ini sudah terjadi di beberapa daerah. Tak mau menunggu masa sosialisasi dan pendaftaran susulan, hanya dalam hitungan menit sebelum ditutup, tiba-tiba calon tak jadi tunggal. Tentu terjadi "musyawarah". Sekarang, tinggal 12 daerah yang calonnya masih tunggal, termasuk pilkada Surabaya. Akankah besok lahir calon yang lain? Kita lihat saja. Pada masa Orde Baru, itu disebut "calon pendamping" yang sudah pasti kalah. Karena kita anti-Orde Baru, itu yang disebut calon boneka. Kasihan anak-anak, boneka jadi simbol negatif.
>